Mira jangan melamun. Ini di gunung, bahaya," Riki menyadarkan Mira.
"Tapi, jelas-jelas tadi gua lihat Ayah ada di sana," ia menunjuk ke arah semak-semak."Udah Mir. Kita jalan lagi aja. Itu pasti cuma halusinasi lu," kataku. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah pendakian, Mira minta istirahat dulu sejenak. Napasnya terengah-engah, wajahnya sangat berkeringat. Aku duduk di atas batu besar sambil menikmati pemandangan yang menyejukkan. Ada batang-batang pohon besar dan suara burung bersahutan dengan monyet. Gunung Pulosari memang mejadi habitat nyaman bagi koloni monyet. Di sepanjang perjalanan tadi, aku selalu melihat monyet bergelantungan di dahan pohon. Selesai istirahat, Riki mengajak kami kembali melanjutkan perjalanan. Ia membagikan tongkat kayu yang baru saja ia buat sendiri. Tongkat itu berguna untuk membantu pendakian."Kira-kira berapa jam lagi kita sampai ke Curug Putri?" tanyaku.
"Udah deketNek jalan pulang ke arah mana ya?” aku bertanya dengan sangat hati-hati.Ia menyeringai seolah ingin mengatakan sesuatu. Tangannya menunjuk ke arah Timur sambil tersenyum ramah. Tapi, tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sangat ketakutan saat melihat bola api melayang di langit.“O... ocos, ocos,” katanya terbata-bata.Dia sangat panik. Nenek itu lalu melihat lagi ke arahku. Kali ini dia mendekat. Langkahnya berat karena punggungnya menggendong kayu bakar.“I... ikut. i... ikut. Itu ocos,” dia selalu terbata-bata.Mungkin karena sudah tua, jadi dia mengalami gangguan dalam berbicara. Nenek itu menarik lenganku. Sepertinya dia mau membawaku ke suatu tempat. Sesekali dia mendongak ke langit melihat bola api yang terus mengikutiku.“Kita mau ke mana, Nek.”“Em... sana. Ke... sana. Rumah...,” katanya sambil menepuk dadanya sendiri.Aku tahu mungkin aku akan dibawa
Aku bersembunyi di balik batu yang berlumut. Masih dapat kulihat cahaya senter mereka berayun-ayun dari kejauhan. Langkah mereka semakin mendekat. Aku berlari lagi untuk menjauh dari mereka.“Itu dia!” teriak salah satu anak buah Pak Jaro.Kaki kananku tersangkut akar pohon. Aku terjungkal ke semak-semak. Aku tidak sanggup lagi berlari. Mereka semakin mendekat ke arahku. Wajah Pak Jaro mulai terlihat. Aku merangkak untuk menjauh. Mereka malah tertawa melihat penderitaanku.Seorang lelaki berbadan tambun mendekat. Ia mengikat kedua kaki dan tanganku. Lelaki satu lagi menyiapkan sebatang kayu lalu memasukkannya di antara pergelangan tangan dan kakiku. Mereka berdua menggotong tubuhku dalam posisi terbalik seperti babi hasil buruan. Entah aku akan dibawa ke mana.“Ampuni aku Pak Jaro, jangan bunuh aku.”“Kalau aku tidak menumbalkanmu. Bola api itu yang akan membunuh orang banyak,” Pak Jaro menunjuk ke
Sekitar jam tujuh pagi, Uswah siuman. Kami diperlakukan dengan sangat baik oleh warga kampung. Banyak dari mereka yang menjenguk dan memberi kami makanan. Bahkan, kami tidak diperbolehkan untuk mengendarai motor. Salah satu petugas desa mengantar kami ke rumah masing-masing. Sementara motorku diangkut pakai mobil pikap.Di hari yang sama, Gunung Pulosari longsor. Pemerintah daerah kemudian menutup secara resmi jalur pendakian ke gunung itu. Om Bobi, yang tak lain adalah Om-nya Mira sangat marah kepadaku. Bahkan, dia membawa perkara ini ke pengadilan. Ia menganggapku lalai menjaga Mira.Untung saja aku bebas dari tuntutan karena aku termasuk korban yang ikut hilang dalam pendakian. Tidak ada bukti kuat kalau aku menyakiti, bahkan membiarkan Mira celaka. Om Bobi yang keras kepala malah berniat mendaki Pulosari untuk mencari Mira. Dia tidak rela kehilangan orang yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.Setelah kejadian di gunung, aku mengalami trauma. Aku
HARI KE-1Hari ini menjadi waktu paling berat bagi suamiku, Angga. Dia harus kehilangan Ayahnya, setelah 15 tahun silam Ibunya juga meninggal. Sebagai istri, aku pun ikut pulang ke kampung halamannya di Kalimantan.Perjalanan ke rumah orang tua Angga tidaklah singkat, setelah tiba di Bandar Udara Supadio Pontianak, kami masih harus menggunakan mobil untuk menuju sebuah kota kecil di daerah Kalimantan Barat yang memakan waktu 4 jam.Setibanya di sana, aku bisa melihat banyak bendera putih dikibarkan sepanjang jalan. Bendera ini memang menandakan bahwa baru saja ada seseorang yang meninggal, sehingga kerabat atau tetangga tahu dan bisa berpamitan untuk kali terakhir.“Oh iya ini kenapa rumah kamu juga ramai?” Tanyaku heran karena melihat banyak orang, memenuhi teras.“Kan acaranya di rumah.”“Di rumah?” Tanyaku masih bingung. “Kok nggak di rumah duka aja?”“Di sini belum ada Rumah Duka.&rd
Kali ini, kita akan membahas sedikit tentang satu mahluk yang bisa dibilang salah satu urban legend di Indonesia, yaitu tuyul.Ini sekadar berbagi cerita aja, silakan diambil hikmahnya kalo ada.Kayaknya sudah enggak ada yang enggak tau tuyul, hampir semua orang di Indonesia sudah tahu. Jadi saya enggak perlu lagi menjelaskan apa itu tuyul ya.Intinya, tuyul adalah mahluk gaib yang bentuknya anak kecil, gundul, kerjaannya mencuri uang, dan sering kali memiliki tuan.Banyak mitos mengenai tuyul, gue enggak tau pasti itu beneran mitos atau malah fakta. Satu yang pasti, pendapat kebanyakan orang akan bilang kalau tuyul ada tuannya, sang tuan inilah yang memelihara si tuyul, si tuan ini juga yang memerintahkan dan menyuruh tuyul untuk mencuri uang.Tujuannya apa? Ya untuk memperkaya diri.~Ciri-ciri orang yang memelihara tuyul bagaimana sih Brii?Ah, sayq enggak tahu pastinya.Tapi ada beberapa orang yang bilang,
Kisah horor ini berlatar pada pertengah tahun 2017, sebuah kisah pengalan pribadi yang mungkin menurut saya ini horor akan tetapi biasa saja pada sebagian orang.Pada saat itu setelah beberapa bulan menganggur karena habis kontrak dari perusahaan yang berada di sebuah kecamatan di kabupaten Bekasi pikiran sedang buntu karena mencari kerja begitu susahnya.Lembar demi lembar amplop surat lamaran terkirim namun tak kunjung jua mendapat balasan dari perusahaan yang diinginkan. Frustasi tentu saja, terlebih biaya hidup di ibukota yang mahal membuat tabungan semakin menipis karena kebutuhan.Aku yang sebagai anak perantau mengalami keadaan seperti ini tentu menyulitkan, yang di pikirkanku hanya terus berusaha mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan. Sampai akhirnya pulang kampung menjadi pilihan opsi terakhir yang sulit namun hanya itu yang harus dilakukan karena tak kunjung mendapat pekerjaan.Saya pun memutuskan pulang ke kampung halaman menaiki mobil di di
Kami pun kembali bekerja dalam suasana was-was dan kengerian yang dirasa. Tak terasa waktu sudah menunjukan jam 4 pagi, kami pun menyudahi pekerjaan dan bersiap untuk pulang.Seharian saya habiskan dengan tidur dan istirahat. Sore menjelang para pekerja lain nampak merasa was-was dengan insiden semalam, mereka yang takut meminta kepada pak Mus untuk mengambil jatah bekerja pada siang hari.Akhirnya pak Mus mengumpulkan kami semua untuk briefing seputar pekerjaan. Briefing dibuka dengan kabar baik dari kondisi Able yang sudah membaik, mungkin hanya beberapa hari lagi Able bisa kembali bekerja.Pak Mus juga tidak memaksakan keinginan kata pekerjanya, maka dibuatlah 2 shift jam kerja untuk kami. Shift siang dan malam dan saya memilih untuk mengambil shift malam karena memang tidak tahan jika terlalu lama terkena panas matahari.Anggota pun dipecah dalam beberapa tim, saya bersama Roni sepakat mengambil shift malam. Setelah lepas jam 9 malam saya bergegas untuk absen
Seperti sepasang mata berwarna merah menyala. Bergerak mendekat seperti sedang berjalan sedirian, terus bergerak sementara objek lain di sekitarnya diam mematung.Mahluk apa itu?Di tengah hutan belantara ini gw sendiran, ketakutan.***Kisah yang akan gw ceritakan ini terjadi di kisaran tahun 2005, gw mengalaminya bersama Rai.Kejadian ini yang sepertinya menjadi titik balik atau apalah istilahnya, karena setelahnya gw jadi mulai menerima keadaan yang sering “bertabrakan” dengan frekuensi dengan “sisi lain”.***Sekitar tahun 2005, kalo gak salah masa liburan di tahun-tahun awal kuliah.Waktu itu berniat untuk mudik ke kampung halaman di Cilegon, dan rencananya di perjalanan pulang nantinya, gw akan mampir ke Bogor untuk menjemput Rai yang kebetulan libur kuliah juga, sekalian mudik bareng.Singkat kata, kami akhirnya sudah di dalam kendaraan menuju pulang. Seperti biasa, gw duduk di belakang kemudi, Rai bertugas