Andrew Lewis melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalam mobil. Pertemuan singkatnya dengan wanita di Sydney Opera House memancing segudang pertanyaan dalam benaknya. Andrew Lewis merasakan sensasi berbeda ketika berada di dekat wanita itu. Sensasinya sulit untuk dia ungkapkan dengan kata selain rasa nyaman, nyaman, dan nyaman.
Andrew Lewis memandang sepinya malam melalui pantulan kaca mobil. Mengetatkan long coat yang selalu melekat ditubuhnya tanpa peduli waktu. Pikiran Andrew Lewis berjalan tanpa arah. Andrew Lewis memang terlahir berbeda dari saudara kembarnya. Tubuhnya lemah dan bahkan nyaris mati. Kuasa Tuhan yang masih mengizinkannya hidup. Kemudian hal aneh pun terjadi. Suhu dan tekanan darahnya menurun. Tubuh mungilnya menggigil tidak terkendali. Di saat itulah Andrew Lewis harus menerima kenyataan jika dia kehilangan kemampuan merasakan panas tubuhnya sendiri. Andrew Lewis tidak akan bisa hidup seperti manusia normal. Tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya mengalami pergantian musim. Andrew Lewis tidak akan pernah tahu sampai kapan pun.
Kemudian wanita itu muncul—menabrak punggungnya tanpa sengaja dan memberi sengatan hingga sensasi berbeda disekujur tubuh. Andrew Lewis bahkan tidak bisa menahan dirinya untuk mendekati wanita itu. Selama bertahun-tahun, Andrew Lewis mengunjungi tempat-tempat di belahan dunia demi mencari jawaban atas permasalahannya, tapi baru kali ini dia mendapatkan titik terangnya. Andrew Lewis sama sekali tidak mengerti. Wanita itu, jelas ada sesuatu yang tidak biasa yang dimiliki olehnya.
“Apakah ada hal yang mengganggu pikiran Anda, Tuan Lewis?”
Pertanyaan Alex memecah lamunan Andrew Lewis. Pria itu memantau segala gelagat tuannya dari balik kaca spion depan. “Tolong maafkan saya jika terlampau lancang, Tuan,” kata Alex lagi.
“Nope. Tidak apa-apa, Lex.” Andrew Lewis membalasnya tanpa mengalihkan pandang pada suasana Phillip Street di malam hari.
“Lex, apa kau tahu siapa wanita berwajah Asia yang terakhir kali berbincang denganku?”
Alex terbiasa tidak langsung menjawab ketika Andrew Lewis bertanya. Pria itu akan menggunakan waktunya beberapa detik untuk berpikir sebelum kalimat akurat terlontar dari mulutnya.
“Kalau nona Anna yang Tuan maksud, dia adalah partner dari tuan Chris Rowell. Salah satu dari sepuluh dosen penerima beasiswa di bawah naungan Anda.”
Beasiswa?
Andrew Lewis mengetuk bibirnya dengan ujung jemari. Ada rencana yang tiba-tiba muncul dan tentu akan melibatkan kuasanya. Sudut bibir Andrew Lewis tertarik ke atas. “Kalau begitu, segera selidiki ada hubungan apa antara wanita itu dengan Chris Rowell.”
“Baik, Tuan Lewis.”
***
Andrew Lewis mengerjapkan matanya berulang kali ketika Andreas memeluk tubuhnya begitu erat. Pria berwajah sama dengan Andrew Lewis itu hanya tersenyum getir menatap ke arahnya.
“Sedang apa kau di sini?” tanyanya kaget.
“Kau membuatku takut, Andrew. Kau tidak menyahut saat kupanggil. Kukira kau tidak akan terbangun lagi,” kata Andreas menjelaskan.
Bukan sesuatu yang aneh lagi kalau setiap pagi suhu tubuhnya akan merosot dengan drastis. Andrew Lewis tahu akan hal itu. Dia bahkan selalu siap kalau sesuatu yang buruk terjadi pada dirinya.
“Kalau memang aku harus mati, bukankah itu lebih baik daripada harus hidup tersiksa dengan kondisi tubuh seperti ini?”
“Jangan berkata seperti itu, Andrew. Bersabarlah sedikit lagi. Aku pasti akan menemukan obat yang kau cari selama ini.”
Andrew Lewis beranjak dari ranjang, menyambar cardigan tebal serta syal yang selalu siap sedia di dekatnya. Perpaduan celana pendek dan kaos tanpa lengan yang dikenakan Andreas hari ini menimbulkan rasa iri hatinya. Setidaknya bukan pakaian khas suku Eskimo yang tidak pernah mengenal seperti apa rasanya berkeringat karena sengatan matahari.
“Kau tahu aku sedang melakukan beberapa riset mencari penawarnya. Memang hasilnya belum kelihatan, tapi kau harus punya keyakinan kalau risetku ini akan berhasil.” Andreas mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu lantas berdiri menjajari Andrew Lewis dan menepuk pundaknya. “Selagi kau tidak menyerah, maka aku tidak akan pernah lelah mencarinya.”
“Klise …” timpal Andrew Lewis tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari arah jendela besar di depannya. Kemudian dia berbalik, menantang tatapan saudara kembarnya yang tidak terima karena perkataannya barusan.
“Kau tersinggung?” Andrew Lewis menarik sudut bibirnya ke atas. “Apalah artinya kau mengoleksi gelar di belakang namamu jika menolong saudaramu saja kau tidak bisa. Tidak perlu berbelit-belit, Andreas. Cukup katakan kalau sudah tidak ada harapan lagi. As simple as that.”
“Andrew ….” Andreas kembali menepuk pundak saudaranya.
“Kau yang terlahir sempurna tidak akan mengerti rasanya berada diposisiku. Kau menikmati hidupmu sementara aku harus menunggu hari kematianku. Kau tidak perlu takut aku nekat menghabisi nyawaku sendiri karena frustrasi. Aku tidak sebodoh itu.”
Andrew Lewis tidak pernah mengeluh. Namun, pagi ini dia sengaja menumpahkan segala kekecewaannya, kemarahannya hingga batas toleransinya. Andrew Lewis mendadak merasa lelah karena mengharapkan keajaiban datang namun hanya dalam batas angannya saja
Alex—sekretaris handal sekaligus tangan kanan Andew Lewis muncul di tengah-tengah percakapan mereka. Wajah Andrew Lewis seketika berubah saat Alex datang membawa beberapa map di tangannya. Atmosfer yang berada di sekitar mendadak berubah. Dengan segera Andrew Lewis duduk di kursi kerjanya, mengecek dokumen yang diletakkan di atas meja oleh Alex sebelum ditandatangani.
“Ada lagi?”
“Tidak ada, Tuan. Ini yang terakhir,” jawab Alex.
Andrew Lewis melipat kedua tangannya di dàdà tanpa sedikit pun mengurangi wibawanya.
“Lalu, apa kau sudah menemukan yang kuminta semalam?”
Alex mengangguk. “Ya, Tuan. Saya baru saja mendapatkan informasinya pagi ini.”
“Kalau begitu katakan.”
Dengan masih melipat kedua tangannya, Andrew Lewis menyimak semua yang dikatakan oleh Alex. Informasi yang Alex peroleh cukup menjawab rasa penasarannya.
“Jadi, maksudmu Anna dan Chris Rowell tidak memiliki hubungan darah?” kata Andrew Lewis tiba-tiba menyela.
“Benar, Tuan. Chris Rowell tinggal di panti asuhan sebelum diadopsi oleh keluarga nona Anna. Dia bahkan tidak memakai nama belakang yang sama dengan nona Anna karena suatu alasan. Menurut kabar, nama belakangnya sengaja diambil dari tempatnya berasal.”
“Begita banyak nama panti asuhan yang berputar di kepalaku, tapi nama Rowell hampir tidak pernah kudengar,” timpal Andrew Lewis masih bertahan di posisinya. “Lalu, apakah mereka berdua masih tinggal bersama?”
“Ketika berusia enam belas tahun, Chris Rowell tiba-tiba keluar dari rumah tanpa alasan.”
“Kenapa? Mereka bertengkar?”
“Pubertas.” Andreas tiba-tiba menyela hingga membuat Andrew Lewis beralih menatap ke saudara kembarnya.
“Kita berdua juga pernah mengalaminya. Hormon testosteron seorang pria sedang bergejolak diusia itu. Tidak hanya dalam batasan ketertarikannya pada lawan jenis, tapi lebih dari itu dan itu mengerikan. Jelas-jelas dia ingin berbuat sesuatu yang membuatnya penasaran terutama ketika berada di dekat objek fantasinya.”
“Fantasi? Maksudmu dia berfantasi pada Anna?”
Andreas kembali mengangguk. “Mungkin lebih dari itu karena kenyataannya masturbasi saja tidaklah cukup memuaskan hasratnya.”
Kemudian Andrew Lewis beralih kembali pada Alex. “Lalu, apalagi yang kau dapatkan, Lex?”
“Nona Anna bekerja sebagai barista di kedai kopi di bawah naungan Anda, Tuan.”
Andrew Lewis melebarkan matanya. Kebetulan macam apa ini?
“Ok, kau boleh pergi.”
Informasi terakhir yang diberikan Alex berhasil membuatnya termenung. Andrew Lewis memutar otaknya cepat. Satu kesimpulan berhasil dia rangkumkan di dalam otaknya. Jika ingin bertemu kembali serta mendapatkan jawaban, dirinya harus segera menemui wanita itu. Andrew Lewis bisa saja menemuinya sekarang juga, tapi tidak. Dia butuh persiapan yang matang. Walau bagaimanapun reputasi Andrew Lewis sebagai orang paling berpengaruh di jagat raya roda perekonomian harus tetap pria itu jaga.
“Sepertinya aku melewatkan berita menarik.” Andreas tiba-tiba saja berjalan mendekati kembarannya. Pria itu kemudian menaruh bokongnya dipinggiran meja. “Well, siapa itu Anna?” lanjutnya.
“Hanya wanita random yang kutemui semalam di Sydney Opera House,” jawab Andrew Lewis datar.
“Kau menghabiskan waktumu hanya untuk seorang wanita random?” Sebelah alis Andreas terangkat. “Aku bukan orang bodoh yang bisa kau kelabuhi semudah itu, Andrew.”
Andrew Lewis bersandar pada punggung kursi kebesarannya. “Anna hanya sebatas wanita random yang kutemui di sana, Andreas, paling tidak untuk saat ini.”
“Oh ya?” Andreas mulai antusias. “Sehebat apa wanita ini sampai membuatmu tertarik hingga mengerahkan semua kuasamu demi mencari informasinya? Bahkan Alex pun ikut terlibat.”
Andrew Lewis menangkupkan kedua telapak tangannya bersamaan. Andreas benar. Jika dipikir dari segi mana pun tetap saja tidak masuk akal.
“Intuisiku berkata kalau wanita ini adalah jawaban yang selama ini kucari. Namun, aku harus memastikan dulu siapa saja yang berada dilingkarannya sebelum upayaku mendekatinya.”
“Sampai sejauh itu?” Andreas kembali menegaskan.
Andrew Lewis hanya mengangguk sembari menarik sudut bibirnya.
Email yang berisi kalau naskah yang dikirimkan Anna beberapa hari lalu akhirnya datang juga. Anna tentu merasa senang sekaligus khawatir. Senang karena recehan dolar akan mengalir sebentar lagi, khawatir karena Anna sendiri masih belum sepenuhnya yakin apakah dirinya sanggup atau tidak menulis adegan erotis nantinya. Referensi saja masih belum Anna dapatkan, bagaimana dia menulisnya? Biar bagaimanapun Anna sungguh berterima kasih sekali karena telah diberikan kesempatan mencoba, mengasah kemampuan yang telah sejak lama dia tekuni. Oh Anna, sudah saatnya kau keluar dari zona ternyamanmu. Anna menyimpan kembali ponsel ke dalam saku apron yang dikenakannya. Sore itu suasana kedai tidak terlalu ramai. Pelanggan yang berdatangan hanya bergantian silih berganti tidak seperti biasanya. Samantha mematung menatap tayangan yang ditampilkan layar televisi. Dia mengerjap sesaat diikuti dengan satu tangannya yang menopang dagu. Mendadak Samantha berdecak—membuat Anna penasaran sekaligus terkejut
Anna tahu seluas apa koneksi pria di depannya. Anna juga tahu sebesar apa kekuasaannya di jagat perekonomian. Namun, yang paling tidak Anna ketahui adalah alasan dibalik perbuatan yang pria itu lakukan untuk keluarganya. Anna hanyalah wanita asing bagi pria itu dan begitu pula sebaliknya. Anna masih berusaha mencerna serta memahami situasi yang terjadi saat ini. Dia berdiri membelakangi dua manusia tepat di belakangnya dengan tangan berpegang erat pada ujung meja sambil berpikir. Anna memaksa otaknya berpikir cepat, secepat yang dirinya bisa. “Bisa Anda jelaskan alasannya, Tuan Lewis?” Anna memutar tubuhnya. “Saya paham niat baik Anda, tapi saya juga perlu tahu kenapa Anda berbuat sejauh ini untuk keluarga saya. Saya ….” Anna bahkan tidak bisa meneruskan kata-katanya. Karena dipikir bagaimanapun semua yang dilakukan pria itu tidak akan pernah masuk akal. Mendadak Anna teringat akan pemberitaan mengenai pria itu di layar televisi tadi siang. Andrew Lewis—keturunan generasi ketiga se
“Jadi, kalian sudah pernah bertemu sebelumnya? Holy shit! Kau sungguh beruntung, Anna.” Belum selesai Anna menguap, pertanyaan paling ingin dia hindari mendadak muncul. Apalagi diikuti dengan umpatan. “Bagaimana mungkin, Anna? Bagaimana caramu bertemu dengan pria setenar dia?” Anna menghela napas beratnya. Dia melepaskan topi yang menutupi kepalanya dengan kasar kemudian berusaha menceritakan satu per satu kejadian yang dia alami saat di Sydney Opera House. Gelengan kepala Samantha mengundang pertanyaan tambahan untuknya. “Kenapa? Kau tidak memercayaiku?” Anna terlihat tersinggung. Tidak ada keuntungan untuk Anna melebih-lebihkan sesuatu hanya karena kedudukan pria itu. “Oh c’mon, Anna. Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa kalau kau cukup beruntung bisa bertemu langsung dengan Andrew Lewis. Kau tahu banyak wanita yang rela antri hanya demi berbicara dengannya, sedangkan kau hanya berdiri saja dan pria itu yang menghampirimu.” Anna memutar bola matanya. Sebetulnya, Anna tahu k
“Kau baru bangun?” Anna tersentak ketika dia melihat Pamela yang masih terjaga di dapur. Anna menghampirinya dengan tatapan setengah mengantuk, tapi juga setengah menahan rasa pusing di kepala. “Kau belum tidur, Mom?” Anna melirik jam di nakas yang telah menunjukkan angka satu. “Aku akan tidur sebentar lagi setelah menyelesaikan ini. Kau tahu mereka menyukai roti lapis buatanku dan memesannya lagi untuk dua hari mendatang,” kata Pamela senang. “Aku ikut senang mendengarnya, Mom. Katakan padaku jika kau memerlukan bantuan.” Pamela mengangguk, lalu ikut bergabung dengan Anna merebahkan dirinya di sofabed. “Kau pulang dalam keadaan mabuk, Anna,” kata Pamela memulai obrolan, lalu menyingkirkan rambut-rambut halus yang menutupi mata Anna sebelum melanjutkan perkataannya. “Aku tidak pernah melihatmu pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti itu, Sayang. Ada apa sebenarnya?” “Tidak ada, Mom. Aku hanya salah menegak whiskey yang berkadar alkohol tinggi. Setelah itu aku tidak ing
Tidak tahu seluas apa kekuasaan yang dimiliki seorang Andrew Lewis. Pasalnya bahkan hanya untuk masuk ke bioskop pun mereka tidak melakukan seperti yang biasanya orang lakukan. Selimut ditiap kursi telah tersedia berikut dengan popcorn serta minuman. Anna mengunyah popcorn dengan perasaan kesal yang belum hilang. Dia benar-benar merasa dipermainkan oleh pria disampingnya. “Kau tidak suka filmnya?” bisik Andrew Lewis lirih di telinga Anna yang membuat wanita itu kaget setengah mati. Mata mereka saling beradu. Senyum pria itu kembali membuat Anna tidak bisa berkata-kata. Sepertinya seperti inilah cara pria itu menaklukkan hati wanita-wanita di sekitarnya. “Kalau kau merasa film ini membosankan, kita bisa tinggalkan tempat ini sekarang,” lanjutnya kemudian. Anna menelan ludahnya. “Sebenarnya apa yang Anda inginkan dari saya, Tuan Lewis?” Senyum Andrew Lewis kembali menghampiri. “Kau boleh memanggilku Andrew, Anna.” “Tidak bisa. Saya tidak memiliki wewenang memanggil nama Anda.” “W
“Jadi, namanya Anna Wijaya.” Andrew Lewis menoleh ketika melihat saudara kembarnya Andreas masuk tanpa permisi ke ruang pribadinya dengan ocehan yang sama sekali tidak dia pahami. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Terkejut?” sahut Andreas ketika melihat Andrew Lewis hendak memprotes perkataannya barusan. “Jangan salahkan aku, Andrew. Begitu banyak dokumen yang berada di atas meja Alex semuanya merujuk pada satu nama. Anna Wijaya, wanita yang mulai kau gilai diam-diam. Sudah sejauh apa kau menyelidiki wanita ini.” Andrew Lewis mendengus tanpa berniat menimpali. Karena sepertinya percuma saja dia menjawab rasa penasaran Andreas. Saudara kembarnya itu pasti selalu satu langkah di depannya dalam hal apa pun. “Hei, mau sampai kapan kau mengabaikanku? Ceritakan sedikit seperti apa wanita bernama Anna Wijaya itu. Bukankah sudah banyak yang kau lakukan untuk mendekatinya.” Kenyataannya Andrew Lewis sedikit terusik hingga menghentikan pekerjaannya. Dia memutar kursi meninggalkan singgasan
Pemandangan Sydney Opera House di malam hari membuat Anna berdecak kagum. Dia tidak mengalihkan pandangan sedikit pun saat kaca jendela mobil dibuka selebar-lebarnya oleh pria yang saat ini membawanya ke tempat yang mereka tuju. Anna bahkan tidak pernah bermimpi akan datang ke tempat ini lagi. “Tuan Lewis sudah menunggu Anda di dalam, Nona Anna.” “Thank you, Alex,” sahut Anna. Pria bernama Alex itu mengangguk. Sejujurnya Anna tidak mempunyai banyak gaun yang cocok selain gaun pemberian Chris Rowell. Gaun yang sama ternyata mengantarkannya ke tempat yang sama pula. Anna merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Menghadiri makan malam mewah di salah satu resto yang mungkin hanya orang beruang saja yang sanggup apalagi bersama dengan pria pengatur roda perekonomian. Ya, akan banyak sekali wanita di luar sana yang iri dengan Anna. Andrew Lewis sudah lebih dulu berada di sana. Di meja paling ujung serta paling privasi menunggu dirinya dengan gelas berisi anggu
Anna mematung di depan kaca bernuansa vintage yang dibelinya di Paddy’s Market bersama Chris Rowell tiga tahun yang lalu. Bukan retakan pada pinggiran kaca yang membuat Anna terpaku, tapi tentang apa yang telah dilakukannya semalam sudah di luar batasan. Anna menyerahkan harta berharganya begitu saja tanpa perlawanan, tanpa negosiasi, bahkan tanpa kompensasi apa-apa. Anna meraup wajahnya kemudian terduduk di tepi ranjang. Anehnya bukan masalah itu yang membuat Anna gelisah. Hanya persoalan waktu saja harta berharga itu akan terenggut. Anna kembali meraup wajahnya, mendadak ingatan semalam bermunculan. Sydney Opera House seakan menjadi saksi bisu atas semua perlakuan manis seorang Andrew Lewis pada dirinya. Sentuhannya sungguh tidak bisa Anna abaikan begitu saja. Pria itu memperlakukan Anna begitu lembut dari satu sentuhan ke sentuhan lainnya. Mengajari Anna menikmati sesuatu yang baru saja dikenalnya. Bulu kuduk Anna terasa merinding. Betapa dia merasa malu karena membiarkan kewarasa