Tidak tahu seluas apa kekuasaan yang dimiliki seorang Andrew Lewis. Pasalnya bahkan hanya untuk masuk ke bioskop pun mereka tidak melakukan seperti yang biasanya orang lakukan. Selimut ditiap kursi telah tersedia berikut dengan popcorn serta minuman.
Anna mengunyah popcorn dengan perasaan kesal yang belum hilang. Dia benar-benar merasa dipermainkan oleh pria disampingnya.
“Kau tidak suka filmnya?” bisik Andrew Lewis lirih di telinga Anna yang membuat wanita itu kaget setengah mati.
Mata mereka saling beradu. Senyum pria itu kembali membuat Anna tidak bisa berkata-kata. Sepertinya seperti inilah cara pria itu menaklukkan hati wanita-wanita di sekitarnya.
“Kalau kau merasa film ini membosankan, kita bisa tinggalkan tempat ini sekarang,” lanjutnya kemudian.
Anna menelan ludahnya. “Sebenarnya apa yang Anda inginkan dari saya, Tuan Lewis?”
Senyum Andrew Lewis kembali menghampiri. “Kau boleh memanggilku Andrew, Anna.”
“Tidak bisa. Saya tidak memiliki wewenang memanggil nama Anda.”
“Wewenang?” Andrew Lewis menaikkan salah satu alisnya.
Anna kembali tidak menjawab. Namun sebagai gantinya Andrew Lewis menarik tangan Anna serta membawanya keluar, tanpa mempedulikan film di depan mereka yang belum usai.
“Tuan Lewis, kita ….”
Andrew Lewis telah menjulang di depan Anna, menutupi terik matahari hingga Anna bisa menatap pria itu tanpa kesulitan. Tangan yang menarik tangan Anna masih berada di tempatnya dan tidak tahu sampai kapan akan tetap di sana. Anna kembali mengekori ke mana tarikan tangan itu membawanya—semakin menjauh dari tempat mereka berdua sebelumnya, menimbulkan tetesan keringat di sela-sela jemarinya serta menambah ketidakpahaman Anna. Ini adalah hari liburnya dan Anna ingin memanjakan diri di apartemen saja bersama Pamela, tapi kenapa dia malah terjebak bersama pria ini? Di tambah lagi dengan adanya kejadian semalam tentu saja patut untuk Anna pertanyakan. Oh Anna, kenapa hidupmu begitu rumit?
“Jadi, apa sudah tiba waktunya kau mengeluarkan pertanyaan yang berputar di sini?” Andrew Lewis mengetuk pelipis Anna pelan tanpa meninggalkan senyumannya. “Aku tidak keberatan kalau kau ingin menumpahkannya sekarang.”
“Tuan Lewis—”
“Andrew, Anna. Aku lebih suka kau memanggil namaku,” pinta pria itu kembali.
Anna mengalah. Dia tidak mungkin membiarkan tangannya yang mulai berkeringat berada di dalam kungkungan tangan Andrew Lewis seharian. Anna meletakkan bokongnya di salah satu kursi taman di Hyde Park sambil menikmati chocolate frappe berukuran besar di tangannya. Anna mengamati segala pergerakan Andrew Lewis. Dari cara pria itu membetulkan long coat serta duduk di sebelahnya saja benar-benar tanpa celah. Semua terlihat sempurna di mata Anna.
“Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?” Andrew Lewis langsung menyembur pada intinya. Dia bukanlah tipe pria bertele-tele untuk urusan komunikasi.
“Kalau kau ingin bertanya kenapa bisa aku yang membawamu pulang dan bukan Chris Rowell jawabannya adalah karena aku menginginkannya, Anna.”
Anna tertegun. Dia sungguh tidak menyangka akan menerima jawaban seperti itu.
“Sebenarnya alasannya cukup simpel, Anna. Pria itu membiarkanmu begitu saja di sana, tidak mempedulikan sekitar hanya terlalu fokus pada teman-temannya. Dan aku tentu saja tidak bisa menerima semua itu.”
Bahkan pria berkelas seperti Andrew Lewis saja menyadarinya. Kenapa Chris Rowell tidak?
“Tapi, bagaimana kau bisa … maksudku, sedang apa kau di sana?” Anna seketika menyela.
“Aku sengaja mengikutimu. Aku minta maaf. Aku menyadari kalau ini tidak seharusnya kulakukan.”
Pria dihadapan Anna tidak berbohong. Andrew Lewis mengakui tindakan yang dia perbuat. Tangan bebas Anna bahkan telah kembali terperangkap dalam punggung tangan Andrew Lewis—membuat Anna semakin tidak mengerti—membuat Anna semakin kesulitan menerka kemauan pria itu.
Anna membalas tatapan pria dihadapannya. Mata segelap malam itu entah sejak kapan telah berhasil menghipnotis dirinya. Anna juga tahu jika mata itu pula yang telah membuat debaran jantungnya tidak beraturan ketika awal pertemuan mereka di Sydney Opera House waktu itu. Tidakkah pesona Andrew Lewis sejak itu mulai mendominasinya?
“Tapi, kau membawaku di situasi yang tidak mengenakkan, Andrew,” tukas Anna.
Dengan cepat Anna menarik tangannya, beranjak dari kursi taman, berjalan sedikit menjauh dari Andrew Lewis yang masih tampak heran menatapnya. Ya, Anna tiba-tiba salah tingkah.
“Maafkan aku. Sepertinya bicaraku mulai melantur karena terlalu lama berada di bawah terik matahari. Sebaiknya kita lupakan saja.”
“Bagaimana jika aku menolaknya, Anna?” Andrew Lewis juga ikut beranjak dari duduknya. Pria itu menghampiri Anna. “Aku tidak ingin pembicaraan kita hari ini malah berujung salah paham.”
“Salah paham seperti apa yang kau maksud? Sudah kukatakan. Sebaiknya kita lupakan saja,”
“Tidak bisa, Anna.”
“Kenapa kau ngotot sekali?”
“Karena aku tidak menyukainya.”
Mata itu kembali menghipnotis Anna. Mata itu kembali membuat Anna terpaku tak berdaya. Siàlan! Kenapa kau berubah menjijikkan seperti ini, Anna?
***
“Kalian bersenang-senang?”
Pamela menampakkan setengah tubuhnya ketika pintu berwarna putih itu terbuka. Senyum Anna merekah melihat ulah ibu biologisnya itu.
“Masuklah, Mom.”
Anna segera berganti pakaian yang lebih santai dan bersiap ikut bergabung merebahkan diri.
“Kami hanya meluruskan apa yang harus diluruskan, Mom. Meskipun kami sempat menonton film di bioskop,” kata Anna menjelaskan.
“Wow. Dia mengajakmu kencan juga rupanya.”
“Ah, tidak. Kami tidak melakukan hal yang kau pikirkan itu, Mom. Aku justru malah terkejut karena kau memberinya izin.”
“Well ….” Pamela meninggikan letak bantal di kepalanya. Wanita itu tiba-tiba menerawang ke langit-langit kamar. Mendadak dia mengenang kenangan membahagiakan semasa suaminya, Richie masih hidup.
“Kau tahu kalau segala hal yang berhubungan dengan Richie selalu membuatku hilang kendali. Dan ….” Pamela kembali menjedanya. Dia menatap Anna dengan ragu. “Aku menemukannya pada diri Andrew pagi ini.”
“Apa?” Anna tiba-tiba melebarkan matanya. “Mom, jangan bilang kalau tipe pria kesukaanmu sekarang berubah.”
Pamela terkekeh. “Aku tidaklah segila itu, Sayang. Lagi pula, tidak ada pria yang menggantikan posisi Richie di sini.” Pamela menunjuk dàdanya. Ya, tentu saja hanya Richie yang akan selalu dicintainya.
Kemudian Pamela melanjutkan. “Entahlah. Aku merasa mereka berdua sedikit mirip. Andrew pria yang baik, tapi kita pun tahu benar siapa dirinya. Sikap baiknya kepada kita hanya sekadar bisnis, Anna. Dan aku tidak akan menjual putriku pada siapa pun hanya demi uang.”
“Tapi, nyatanya kau menjual waktu putrimu untuknya, Mom,” celetuk Anna tidak mau kalah.
Pamela kembali terkekeh. “Kau benar dan aku sedikit menyesalinya sekarang. Harusnya aku meminta izinmu dulu. Apakah dia berlaku kasar?”
Giliran Anna yang menggeleng. “Dia bersikap sangat sopan padaku. Malah terlalu sopan.”
Anna mengubah posisi rebahan—menarik selimut dan menenggelamkan diri di pelukan satu-satunya wanita yang dipunyainya.
“Kemarilah, Sayang. Aku tahu hari ini begitu melelahkan untukmu.”
Pamela benar. Anna memang lelah. Lelah dengan semuanya. Lelah menghadapi pesona dari seorang Andrew Lewis yang ternyata tidak semudah itu untuk dihadapi.
“Jadi, namanya Anna Wijaya.” Andrew Lewis menoleh ketika melihat saudara kembarnya Andreas masuk tanpa permisi ke ruang pribadinya dengan ocehan yang sama sekali tidak dia pahami. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Terkejut?” sahut Andreas ketika melihat Andrew Lewis hendak memprotes perkataannya barusan. “Jangan salahkan aku, Andrew. Begitu banyak dokumen yang berada di atas meja Alex semuanya merujuk pada satu nama. Anna Wijaya, wanita yang mulai kau gilai diam-diam. Sudah sejauh apa kau menyelidiki wanita ini.” Andrew Lewis mendengus tanpa berniat menimpali. Karena sepertinya percuma saja dia menjawab rasa penasaran Andreas. Saudara kembarnya itu pasti selalu satu langkah di depannya dalam hal apa pun. “Hei, mau sampai kapan kau mengabaikanku? Ceritakan sedikit seperti apa wanita bernama Anna Wijaya itu. Bukankah sudah banyak yang kau lakukan untuk mendekatinya.” Kenyataannya Andrew Lewis sedikit terusik hingga menghentikan pekerjaannya. Dia memutar kursi meninggalkan singgasan
Pemandangan Sydney Opera House di malam hari membuat Anna berdecak kagum. Dia tidak mengalihkan pandangan sedikit pun saat kaca jendela mobil dibuka selebar-lebarnya oleh pria yang saat ini membawanya ke tempat yang mereka tuju. Anna bahkan tidak pernah bermimpi akan datang ke tempat ini lagi. “Tuan Lewis sudah menunggu Anda di dalam, Nona Anna.” “Thank you, Alex,” sahut Anna. Pria bernama Alex itu mengangguk. Sejujurnya Anna tidak mempunyai banyak gaun yang cocok selain gaun pemberian Chris Rowell. Gaun yang sama ternyata mengantarkannya ke tempat yang sama pula. Anna merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Menghadiri makan malam mewah di salah satu resto yang mungkin hanya orang beruang saja yang sanggup apalagi bersama dengan pria pengatur roda perekonomian. Ya, akan banyak sekali wanita di luar sana yang iri dengan Anna. Andrew Lewis sudah lebih dulu berada di sana. Di meja paling ujung serta paling privasi menunggu dirinya dengan gelas berisi anggu
Anna mematung di depan kaca bernuansa vintage yang dibelinya di Paddy’s Market bersama Chris Rowell tiga tahun yang lalu. Bukan retakan pada pinggiran kaca yang membuat Anna terpaku, tapi tentang apa yang telah dilakukannya semalam sudah di luar batasan. Anna menyerahkan harta berharganya begitu saja tanpa perlawanan, tanpa negosiasi, bahkan tanpa kompensasi apa-apa. Anna meraup wajahnya kemudian terduduk di tepi ranjang. Anehnya bukan masalah itu yang membuat Anna gelisah. Hanya persoalan waktu saja harta berharga itu akan terenggut. Anna kembali meraup wajahnya, mendadak ingatan semalam bermunculan. Sydney Opera House seakan menjadi saksi bisu atas semua perlakuan manis seorang Andrew Lewis pada dirinya. Sentuhannya sungguh tidak bisa Anna abaikan begitu saja. Pria itu memperlakukan Anna begitu lembut dari satu sentuhan ke sentuhan lainnya. Mengajari Anna menikmati sesuatu yang baru saja dikenalnya. Bulu kuduk Anna terasa merinding. Betapa dia merasa malu karena membiarkan kewarasa
Andrew Lewis meraba sisi kiri ranjangnya. Pria itu tertegun sejenak ketika menemukan Anna sudah tidak ada di sebelahnya. Andrew Lewis tertidur teramat nyenyak sampai dia sendiri tidak merasakan adanya pergerakan apa pun dari sisi ranjangnya. Andrew Lewis meraih benda pipih di atas nakas, menggeser menunya, serta mencoba menghubungi Anna. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. Celana dalam masih melekat saat beranjak dari atas ranjang. Andrew Lewis merasa tubuhnya menjadi sedikit lebih bugar. Aktivitas bersama Anna semalam benar-benar membawa perubahan, terutama untuk tubuhnya. Andrew Lewis keluar dari kamar mandi dengan rambut masih setengah basah ketika petugas room service tengah merapikan segala sudut kamar. Sarapan menyehatkan pun telah tersaji di atas meja. “Sarapan Anda sudah siap, Tuan Lewis.” Meskipun terasa dingin, menyesap secangkir kopi cukup untuk mengawali pagi hari ini. Sesekali Andrew Lewis mengawasi segala pergerakan para petugas hotel yang hilir mudik melakuk
Satu minggu berlalu sejak insiden Sydney Opera House. Anna tidak pernah sekalipun bertemu lagi dengan Andrew Lewis. Pria itu seakan hilang dari muka bumi tanpa adanya komunikasi apa pun. Sebenarnya Anna cukup merasa lega tidak ada yang mengusiknya namun entah kenapa terasa berbeda. Setelah mengakui jika dirinya mencintai pria itu, justru membuat Anna semakin sulit terlelap di malam hari. Setiap malam Anna selalu terusik dengan kejadian panas yang telah mereka lakukan di malam itu. Seolah-olah kejadian itu baru saja mereka lakukan kemarin, terasa sangat nyata hingga menimbulkan gelenyar aneh di tubuh Anna. Anna mungkin gila, tapi seperti itulah yang dirasakannya. Sore itu Anna berjalan menuju apartemen dengan dua kantong belanjaan dalam pelukannya. Jalanan malam cukup sepi ditambah dengan udara dingin yang makin mencekam—membuat Anna semakin mempercepat langkahnya. Betapa terkejutnya Anna ketika melihat pintu apartemennya terbuka dengan pria tak dikenal berdiri di garis pintu bersama
“Astaga, Anna. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Tolong beri aku waktu untuk berpikir, Sayang.” “Apakah sesulit itu?” Anna balas bertanya. “Mom, aku tidak peduli siapa itu Jason Luthor. Aku hanya ingin kau berkata jujur.” Pamela menutup mulutnya kemudian merobek kartu nama itu dan membuangnya ke tempat sampah. Lepas itu Pamela menghilang bersembunyi di kamarnya dalam waktu yang lama dan entah kapan akan keluar dari sana. *** Anna terduduk di sofa untuk waktu yang lama setelah perdebatannya dengan Pamela. Pamela bahkan belum keluar dari kamarnya sejak satu jam yang lalu. Anna menghela napas beratnya. Mendadak Anna merasa bersalah. Mendadak Anna menyesali perilaku yang memaksa Pamela untuk mengaku. Padahal dia tahu tidak selamanya rahasia bisa dikatakan secara lugas seperti yang Anna mau. Pamela bukan dirinya. Wanita itu akan berubah menjadi perasa sekali kalau sudah menyangkut masalah Richie. Pamela teramat mencintai ayahnya. Seharusnya Anna lebih mengerti itu. Anna membayangk
“Jadi, katakan! Sebenarnya, apa tujuanmu membawaku kemari, Tuan Luthor?” Tekanan pada pertanyaan Anna membuahkan hasil. Edward menyerahkan sebuah map berisi lembaran kertas untuk Anna pelajari. Anna tidak bodoh, tapi Anna juga belum cukup mengerti maksud isi dari kertas yang saat ini sedang dibacanya. “Kertas itu berisikan informasi mengenai segala aset yang dimiliki oleh Luthor Corp dari tahun ke tahun. Untuk sementara mungkin baru sebagian saja yang kutunjukkan, sisanya akan Edward berikan lagi padamu,” jelas Jason Luthor pada Anna. Anna masih bergeming dengan kedua tangan memegang kertas. Anna membacanya satu per satu mencerna kalimat demi kalimat yang tertulis di sana. Angka nominalnya pun membuat Anna harus kesulitan menelan saliva. “Untuk apa kau memberikanku salinan aset milikmu ini? Ingin pamer?” Perkataan pedas Anna yang dia lontarkan justru membuat Jason Luthor tertawa. Pria tua itu seperti tidak menyangka akan menerima respon mengejutkan seperti ini darinya. “Kau mener
“Sudah saatnya aku menceritakan semuanya, Anna.” Anna merasakan atmosfer yang berubah tegang di sekitar Pamela. “Sebenarnya, aku tahu jika cepat atau lambat mereka akan mencariku. Dan aku pun tahu kalau aku tidak selamanya bisa merahasiakan semua ini darimu,” papar Pamela. “Aku takut mereka menemukanmu dan menjerumuskanmu ke dalam dunia hitam mereka.” Anna masih tidak berkutik selain menatap Pamela dalam diamnya. “Aku tidak tahu apa yang telah kakekmu katakan mengenai Richie, tapi percayalah semua itu hanya kesalahpahaman. Richie tidaklah seburuk yang dia pikirkan.” Pamela mengubah posisi duduknya menghadap Anna. Dia mengusap perlahan pipi Anna lalu mulai bercerita. “Sejak kecil aku dimanja, hidupku penuh kemewahan dan kebebasan. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenal siapa Pamela. Semua menyukaiku atau lebih tepatnya mereka menyukai status sosial yang kumiliki. Kau tahu, Anna. Kemewahan serta kebebasan itulah yang akhirnya membuatku lepas kendali—bertindak tanpa menggunakan o