"Oh, jadi gitu alasannya. Kalau bekas Aa' sendiri bagaimana?'' tanya Dina to the point membuat Al memandangnya penuh makna." Tergantung." Al menjawab setelah berpikir beberapa saat."Tergantung apa, A'?""Tergantung apa kata nanti, bakal ketagihan atau nggak," jawab Al asal. Dina tersipu mendengar jawaban suaminya."Dina berharap Aa' selalu ketagihan," ungkapnya malu-malu, yang hanya dibalas dengan pandangan lekat oleh Al."A' boleh aku tanya satu hal lagi?" "Boleh.""Apa benar Aa' membeliku dari tante Merry?""Ya," jawab Al singkat."Kenapa Aa' lakukan itu?" tanya Dina penasaran."Lantas saya harus bagaimana? Saya tidak bisa membawa kamu begitu saja dari tempat itu. Ibarat kata kalau si Merry itu pedagang, maka kamu adalah barang dagangannya. Mana mungkin saya bisa membawa barang dagangannya cuma-cuma?" jelas Al panjang.Dina tertegun, karena apa yang suaminya katakan memanglah benar dan masuk akal. Tapi, ia tak menyangka bahwa suaminya harus membayar semahal itu untuk membawanya
"Ke rumah sakit? Mau ngapain A'?""Saya mau ajak kamu ke dokter kandungan," jawab Al singkat.Dina menahan tawa, "Ngapain ke dokter kandungan A'? Kan aku nggak hamil? nggak mungkin, kan, A' bikin se3malem paginya langsung jadi, emang adonan donat?" lawak Dina di sertai tawanya merasa aneh dengan suaminya."Kita ke dokter kandungan mau konsultasi KB untuk kamu.'' Al menyampaikan rencananya dengan lugas, membuat Dina seketika menghentikan tawanya."KB, A'? Aa' ingin aku KB?" tanya Dina tak memahami maksud keinginan suaminya."Iya.""Tapi kenapa A'? Aa' pengen kita pacaran dulu ya?'' goda Dina dengan gaya riang khasnya."Saya tidak ingin punya anak!" jawab Al datar."Deg!"Bagai disayat belati, mendengar itu Dina hanya terdiam, tak lagi berucap sepatah katapun. Rasanya begitu sakit mendengar ucapan suaminya yang tak ingin memiliki anak darinya."Ya sudah, kamu siap-siap, saya tunggu di depan," lanjut Al lagi yang tak menyadari perubahan sikap Dina."Iya A'." Al berlalu meninggalkan Dina
"Siapa lelaki itu? Kenapa Dina kelihatan happy banget ngobrol sama dia?" batinnya bertanya-tanya."Supri!" panggil Al pada sopir pribadinya dengan pandangan masih melekat pada istrinya yang tengah asyik bercengkrama dengan lelaki lain."Ya, Pak?""Kamu lihat lelaki yang bersama istri saya itu, perhatikan wajahnya baik-baik!" titah lelaki dengan mata elang itu penuh emosi."Sudah?""Sudah, Pak.""Setelah kamu antar saya ke kantor, segera kamu kembali ke sini. Saya ingin kamu pantau terus gerak-gerik Dina, siapa saja orang-orang yang dekat dengannya. Cari tahu siapa lelaki itu, lalu informasikan pada saya!" Al kembali memberi perintah pada Supri."Siap, Pak.""Jangan lupa ganti baju kamu, ya, jangan pakai baju sopir, karena Dina akan mengenali. Belilah kaos dan celana juga topi seperti yang kebanyakan mahasiswa itu kenakan, untuk penyamaran kamu selama penyelidikan,"Al memperingati lagi."Baik, Pak!''Kemudian Al tampak mengutak-atik ponsel di tanganya,"Sudah saya transfer 1 juta untuk
"Lu apaan sih, Al? Main lempar bolpoin sembarangan!" keluh Reno–asisten pribadi Al sembari menggosok-gosok keningnya.Reno merupakan sahabat karib Al saat kuliah di Amerika, dia sosok yang cerdas juga mumpuni di bidang arsitektur, sehingga Al merekrutnya sebagai tangan kanannya di perusahaan propertinya."Ren? Sejak kapan lu di sana?" tanya Al yang baru menyadari kehadiran Reno."Sejak lu kesambet terus main lempar bolpoin sembarangan," sindir Reno sembari berjalan dan duduk di hadapan Al."Sorry, sorry, Bro. Gue nggak sengaja," sesal Al."Kesambet apa sih Lu, Al? Emosian aja? Ada masalah lu?" tanya Reno tetap perhatian."Nggak pa-pa, nothing problem. Lu ada perlu apa datang kemari? Kita nggak ada meeting kan hari ini?" tanya Al berusaha mengalihkan pembicaraan."Gua emang sengaja datang kemari buat nengokin keadaan, Lu. Si Alice cerita katanya lu lagi banyak pikiran, ampe nggak fokus kerja. Kenapa sih? Nggak biasanya deh seorang Alfaro yang terkenal workaholic ini sampai nggak fokus
Al berjalan cepat memasuki rumahnya yang bak istana, di depan ia bertemu Bi Ina yang sedang membereskan ruang tamu."Bi, Dina sudah datang?""Sudah, Tuan muda."Setelah itu ia segera bergegas menuju kamarnya.Braaak! Al membuka pintu dengan kasar."Astaghfirullah Aa', pelan-pelan dong, buka pintunya, ngagetin aja," protes Dina yang sedang membereskan baju kotornya."Suka-suka saya lah, kamar, kamar saya," jawab Al kesal."Iya iya, maaf," ucap Dina kemudian mendekat ke arah suaminya, mencium punggung tangannya penuh hormat, kemudian mengambil alih tas kerja di tangannya, juga membantunya melepas jas yang dikenakannya. Membuat Al sejenak membisu, merasa tertampar dengan sikap manis istrinya, padahal baru saja ia berlaku kasar padanya."Kok Aa' pulang cepat? Ini baru selesai Ashar, lho! Belum juga jam 4, kirain aku kalau kerja kantoran tuh pulangnya jam limaan," celetuk Dina sembari membereskan barang bawaan A
Tante Merry?" batin Dina terkejut saat melihat nama yang tertera di hp suaminya. Dina memandang suami di sisinya, begitupun dengan Al yang membalas tatapan Dina. Mereka saling tatap dalam beberapa saat."Angkat aja, A', nggak apa-apa," ucap Dina berusaha tetap tersenyum. Ia harus sadar dan terus ingat akan perjanjian pra nikahnya dengan Al, bahwa ia tak akan menuntut kesetiaan. Bahwa ia tak akan mengekang hidup Alfaro dengan pernikahannya."Kenapa dia sama sekali tak merasa berat ya mengizinkan gue mengangkat telepon tante Merry? Apa sebegitu tidak berartinya gue sebagai suaminya? Apa dia sama sekali tidak takut kalau gue akan berpaling darinya dan bermain-main dengan wanita lain?" batin Al yang justru merasa jengkel melihat respon Dina yang biasa-biasa saja.Al yang semula enggan mengangkat telepon Merry kini berbalik menjadi antusias, ia berpikir inilah saatnya ia melakukan pembalasan pada Dina."Memangnya dia pikir hanya dia yang bisa bermain-main dengan lelaki lain?" batin Al kesa
Dina masih terdiam merenungkan ucapan suaminya saat punggung Al menghilang di balik pintu kamar mandi."Kenapa dia bilang begitu? Bukannya memang benar apa yang kukatakan?" batinnya merasa aneh dengan jawaban Al, kemudian memutuskan untuk tak ambil pusing, lalu membaringkan dirinya sejenak di ranjang.Sepuluh menit berlalu, saat Al terlihat keluar dari kamar mandi, lelaki dewasa itu hanya mengenakan handuk yang melilit di perutnya, menampilkan tubuh bagian atasnya yang begitu indah.Ia berjalan ke arah lemari untuk memilih pakaian yang akan dikenakannya, sedangkan Dina, matanya terus melekat memandangi suami tampannya. Ingin rasanya ia menyentuh dada bidang yang masih setengah basah itu, memberinya kecupan penuh cinta di sana. Namun, rasa malu dan tak percaya diri menghalanginya untuk melakukan itu.Rasanya ia tak rela, jika tubuh itu nantinya akan mendapatkan sentuhan dari wanita selain dirinya. Mungkin dulu hal itu memang menjadi kebiasaan bagi
Sesaat setelah mobil suaminya berlalu, Dina segera mengetikkan pesan pada seseorang yang sudah dihubunginya lima belas menit yang lalu.Setelah itu, ia bergegas menemui Bi Ina, berniat meminta nomor ponsel suaminya dari ART yang diperkerjakannya."Bi Ina!""Ya, Non?""Bi Ina simpan nomor hp Aa' Al, kan?""Iya, simpan, Non. Kenapa memangnya?" tanya Bi Ina heran, merasa aneh dengan pertanyaan Dina."Boleh aku minta?""Loh, kok malah minta sama Bi Ina? Kan Non Dina istrinya tuan muda, masa nggak simpan nomornya?" tanya wanita paruh baya itu seraya terkekeh."Panjang ceritanya, Bi. Kita belum sempat tukar nomor hp sih, boleh ya, Bi?" jelas Dina."Owalah, gitu toh? ada-ada aja ya pasangan jaman now ini," celetuk Bi Ina mengomentari. Namun tak urung dia segera merogoh sakunya untuk mengambil ponsel miliknya, mencari kontak dengan nama 'Tuan Muda' lalu menyerahkannya pada Dina. Segera Dina menerimanya lalu dengan cepat menyalin di layar benda pipihnya."Makasih, ya, Bi. Aku mau mandi dulu, s