Share

Bab 5 : Sang Dosen Killer

“Al, setelah selesai kuliah kamu mau kemana?” tanya Satria yang duduk di samping bangku Alia. Mereka sudah menyelesaikan jadwal perkuliahan terakhir hari ini.

Terlihat Kinanti dengan tergesa-gesa merapihkan peralatan kuliahnya. “Al, maaf aku duluan ya. udah dijemput soalnya,” ujarnya, “Bang Sat, aku duluan ya,” pamitnya lagi pada Satria. Ia tertawa keras saat Satria memelototinya. Satria memang paling tidak suka kalau anak dari sahabat ibunya dan juga sahabatnya sendiri memanggilnya Bang Sat (singkatan dari Abang Satria). Panggilan itu tidak enak didengar.

“Iya … hati-hati ya, Nan,” kata Alia.

“Sampai ketemu besok,” ujar Kinanti sambil berlari keluar kelas.

“Al, setelah selesai kuliah kamu mau kemana?” Satri mengulang pertanyaannya lagi karena tadi Alia belum menjawab pertanyaannya.

Alia membereskan peralatan kuliahnya ke dalam tas, lalu melirik Satria. “Kayaknya langsung pulang deh, Sat. kenapa emang?” tanyanya. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul tiga sore.

“Nggak pa-pa, sih. Siapa tau aja kamu mau mampir kemana dulu gitu,” jawab Satria. Ia pun membereskan peralatan kuliah ke dalam tas ransel miliknya.

Ruang kelas sudah hampir kosong karena sebagian mahasiswa sudah berhamburan keluar kelas. Yang tertinggal hanyalah segelintir mahasiswa yang terlihat masih saling berkenalan satu sama lain. Maklumlah, hari ini adalah hari pertama mereka menimba ilmu di kampus yang akan mereka tempuh selama 4 tahun ke depan.

“Aku capek banget.” Alia merentangkan kedua tangannya ke atas dan menghirup udara dalam-dalam. “Kita kuliah dari pagi. Jadi kayanya langsung pulang ke rumah adalah pilihan terbaik, deh,” ucapnya lagi. Padahal niatnya tadi pagi, ia ingin mampir sebentar ke Mal untuk membeli handphone baru, apalagi sang papih sudah mentransfer uang ke rekeningnya yang nominalnya mencapai tujuh digit. Tapi hal itu ia urungkan karena dirinya merasa sangat lelah. Pergi ke Mal bisa lain waktu.

“Yaudah, yuk aku anter kamu pulang,” tawar Satria. Ia sudah berdiri di samping Alia.

“Nggak usah, Sat. aku bawa mobil sendiri, kok,” tolak Alia halus.

“Oh … yaudah kita bareng ke parkiran aja,” ujar Satria.

“Yuk!”

Mereka berdua melangkah keluar ruangan setelah berbasa-basi sebentar dengan para mahasiswa yang masih tertinggal di dalam kelas.

Saat hendak mencapai parkiran, mata Alia menangkap sosok yang sangat ia kenal tengah berjalan beriringan dengan seorang perempuan berhijab menuju parkiran.

Ya … calon suami plus dosen killer-nya itu tengah berjalan berdampingan menuju mobilnya. Bahkan dengan romantisnya, sang calon suaminya membukakan pintu mobil untuk Wanita itu.

Alia memicingkan matanya. ‘Dasar tua bangka! Yang tadi mantan sahabat bangke dan mantan pacar bangke. Ternyata ada juga calon suami bangke! Sebentar lagi mau nikah masih aja tebar pesona sama cewek lain. Mana galak banget lagi tadi. Awas aja!’ gerutu Alia sambil mengepalkan kedua tangannya ke udara. Alia berang.

“Kamu kenapa, Al?” tanya Satria heran melihat tingkah ajaib teman barunya itu.

Refleks, Alia menurunkan kedua tangannya yang tadi terangkat. “Eh, nggak pa-pa, kok. Tangan aku cuma pegel-pegel aja,” kilahnya sambil meninju-ninjukan kedua tangannya ke udara seperti seorang petinju.

“Oh, kirain kamu kesurupan,” canda Satria sambil tertawa kecil.

“Sialan!” cicit Alia sambil memukul lengan Satria pelan.

“Eh … bukannya itu pak Reyvan, ya?” ujar Satria sambil menunjuk ke arah Reyvan yang telah memasuki mobilnya, “itu calon istri pak Reyvan kali, ya?” sambungnya, ia tahu kalau dosennya itu masih jomblo alias belum menikah.

‘Lah, calon istrinya itu ‘kan ada di samping lo, Sat!’

“Biarin aja, nggak usah ngurusin si dosen killer,” sahut Alia, “yaudah … aku duluan ya, Sat. Ini mobil aku,” sambungnya saat sudah berada di depan mini cooper-nya.

“Iya. Hati-hati, ya. See you tomorrow.”

See you too,” balas Alia. Ia segera memasuki mini cooper berwarna merah miliknya. Menghidupkan mesin mobil dan memutar mobilnya keluar dari parkiran kampus.

Mobil Alia pun hilang dari pandangan Satria, masih meninggalkan jejak kepulan asap knalpot.

“Yaaah, gue lupa minta nomor Alia tadi,” decak Satria merutuki kebodohannya. Ia melangkah menuju mobil miliknya yang terparkir tidak jauh dari mobil milik Alia tadi.

***

Mobil mini cooper berwarna merah ngejreng itu memasuki halaman rumah kediaman Pradipta. Entah kenapa, Alia memang menyukai warna merah. Hampir seluruh barang-barangnya di dalam kamar bernuansa merah.

Alia keluar dari mobil kesayangannya dengan menyampirkan sebuah tas di atas pundaknya. Ia melenggang masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai.

“Assalamualaikum …” ucap Alia saat memasuki rumahnya.

Bi Ijah dengan tergopoh-gopong datang menghampirinya. “Non, udah pulang?” tanyanya tidak penting. Kalau belum pulang, mana mungkin anak majikannya kini berada di hadapannya!

“Mamih mana, Bi?” tanya Alia tanpa menjawab pertanyaan asisten rumah tangganya itu. Ia melangkah menuju dapur untuk mengambil air minum.

“Ibu ada di kamarnya, Non,” jawab bi Ijah sambil mengekori Alia dari belakang.

Alia mendudukkan tubuhnya di sebuah kursi yang ada di pojokan dapur, lalu mengambil gelas yang tergeletak di atas meja menuangkan air ke dalamnya. Ia meneguknya sampai habis.

“Haus ya, Non?” tanya bi Ijah. Lagi-lagi ia melontarkan pertanyaan tidak pentingnya.

“Banget!” seru Alia. Bagaimana tidak haus kalau selama hampir empat jam duduk di dalam kelas dan tidak ada air yang masuk ke dalam mulutnya. Karena tadi dia berangkat terburu-buru, sehingga dirinya lupa membawa bekal air minum. Hanya untuk membeli minuman di kantin pun, dosennya yang bernama pak Samsul tidak akan mengijinkan mahasiswanya untuk keluar kelas selama dirinya mengajar di dalam kelas.

“Bibi bikinin orange juice kesukaan Non Alia, ya ...” tawar bi Ijah yang segera diangguki oleh anak majikannya itu.

Beberapa menit, segelas minuman berwarna oren itu sudah tersedia di hadapan Alia. Ia meneguknya hingga menyisakan setengah gelas.

“Alhamdulillah,” ucap Alia sambil mengelap sudut bibirnya yang terdapat minuman tersebut.

“Enak, Non?” tanya bi Ijah.

Alia mengacungkan kedua jempol tangannya. “Selalu always, tidak pernah never,” ujarnya, “tumben sore-sore gini mamih di kamar, Bi?”

“Bibi juga nggak tau, Non.”

Alia beranjak dari duduknya. “Aku mau ke kamar mamih dulu ya, Bi. Makasih banyak untuk jus jeruk yang enaknya.” Alia mengecup pipi sebelah kanan pembantunya sekilas. Bi Ijah memang sudah mengurus Alia sejak kecil. Oleh sebab itu Alia sudah menganggapnya seperti ibunya sendiri. Lebih tepatnya seperti ibu keduanya.

“Sama-sama, Non. Kalau butuh apa-apa lagi, panggil Bibi aja,” sahut bi Ijah.

Alia melangkahkan kaki menaiki anak tangga satu persatu menuju kamar sang mamih. Berada di depan kamar, diketuknya pintu kamar itu secara perlahan.

“Mih.” panggil Alia. Ia membuka kenop pintu dan menyembulkan sedikit kepalanya untuk melihat ke dalam kamar.

Di dalam kamar, ternyata sang mamih sedang tertidur.

Alia membuka daun pintu lebih lebar agar dirinya bisa masuk ke dalam kamar. Ia berjalan menghampiri ranjang sang mamih dan mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.

Merasakan ada seseorang yang menghampiri, mata sang mamih perlahan terbuka.

“Sudah pulang, Al?” tanya Melati.

“Iya, Mih. Aku baru aja sampai.” jawab Alia. Ia memperhatikan wajah sang mamih yang terlihat pucat tidak seperti biasanya. “Mamih sakit?” tanyanya.

Melati menggeleng. ”Mamih cuma ngantuk aja tadi.” ucapnya berbohong. Padahal tadi beberapa jam yang lalu dirinya merasakan pusing di kepalanya. Sehingga ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang untuk menghilangkan rasa pusing. Tanpa disadari, ia tertidur pulas.

“Mamih jangan capek-capek, ya," kata Alia lirih. Ia menyandarkan kepalanya di atas badan Melati yang masih terbaring.

“Iya, Al. Mamih nggak apa-apa, kok,” katanya menenangkan sambil mengelus rambut panjang Alia yang terikat kuncir rambut.

“Alia nggak mau Mamih sakit,” ujar Alia pelan.

“Oh iya, gimana hari pertama kuliah kamu?” tanya Melati mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin putrinya menghawatirkan keadaannya.

“Nyebelin, Mih!” pekik Alia. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada dan mencebikkan bibirnya sebal.

“Kenapa memangnya?” tanya Melati penasaran.

“Si Om Reyvan ngusir aku dari kelas, Mih!” adu Alia. Ia memelototkan matanya mengingat kejadian tadi pagi.

“Lho, kok bisa Reyvan ngusir kamu dari kelas?” tanya Melati lagi tidak mengerti.

Alia terdiam. Sebenarnya kejadian pengusiran tadi terjadi atas kesalahannya sendiri. Salahnya karena dia mengobrol dengan Satria dan Kinanti saat pelajaran berlangsung. Namun sebagai calon suami yang baik, tidak seharusnya Reyvan mengusirnya dari kelas. Itu sama saja mempermalukan dirinya di depan mahasiswa lainnya. Jatuh sudah harga diri Alia.

“Pasti karena kamu bikin ulah di kelasnya, kan?” tebak Melati. Sang mamih kalau berbicara selalu saja benar!

Melihat putrinya masih juga diam, membuat Melati membenarkan tebakannya tadi.

“Reyvan nggak akan mengusir kamu dari dalam kelas kalau kamu nggak salah, Al.” Melati mengusap kepala Alia dengan sayang.

“Iya sih, Mih. Aku dikeluarin dari kelas karena kepergok lagi ngobrol sama temen di samping,” aku Alia akhirnya, “tapi kan aku calon istrinya, Mih. Seharusnya dia bisa bersikap baik dong sama aku. Bukannya malah mempermalukan aku di depan umum kaya gitu.” Alia membela dirinya.

Melati tertawa kecil. “Bagus dong kalau Reyvan kaya gitu sama kamu. Itu tandanya dia professional. Memperlakukan kamu sama dengan mahasiswanya di kampus. Ingat, Al. di kampus kamu adalah mahasiswanya, bukan calon istrinya.” terang Melati mencoba memberi pengertian pada putrinya itu.

“Jadi sikap si om yang kaya gitu bener ya, Mih?”

Melati mengangguk kecil. “Iya, Mamih setuju dengan sikap Reyvan ke kamu seperti itu. Dia nggak ngebedain kamu dengan mahasiswa lainnya di kampus,” kata Melati menutup perbincangan mereka sore itu.

***

“Gimana di kampus hari ini, Al?” tanya Bagas saat keluarga kecilnya berkumpul di ruang keluarga setelah acara makan malam.

Alia memajukan bibirnya karena kesal kalau harus mengingat kejadian tadi pagi lagi.

“Anak kita kenapa manyun gitu, Mih?” tanya Bagas tidak mengerti dengan sikap Alia yang seperti itu.

“Anak kita diusir dari kelas sama calon suaminya, Pih,” jawab Melati mengadukan kejadian tadi pagi.

 “Reyvan?” Bagas mengangkat kedua alisnya. “Kenapa dia berani usir anak kesayangan Papih?” tanyanya.

Alia yang duduk di samping sang papih, menyandarkan kepalanya di pundak Bagas.

“Salah sendiri, ketahuan mengobrol pas Reyvan lagi ngasih pelajaran,” terang Melati lagi.

“Apa benar itu, Al?” tanya Bagas memastikan.

Alia hanya mengangguk kecil dengan kepala masih ia sandarkan pada pundak sang papih.

“Yaudah, nanti Papih bilang Reyvan untuk membedakan kamu di kampus,” kata Bagas, namun segera mendapat protes dari sang istri.

“Nggak usah ikut campur, Pih. Harusnya kita bangga sama calon menantu kita karena Reyvan nggak membedakan anak kita dengan mahasiswa lainnya di kampus,” sanggah Melati.

“Kalau nanti sikap Reyvan keterlaluan, Papih akan bertindak,” balas Bagas. Ia tidak ingin calon suami plus dosen Alia mempermalukan putri semata wayangnya lagi.

Kalau sudah begitu, Melati pun tidak bisa membantah ucapan suaminya lagi.

***

Malam itu setelah menyelesaikan tugas di kampusnya yang Reyvan bawa pulang ke rumah, tiba-tiba sang papah masuk ke dalam kamarnya.

“Rey ….”

“Iya, Pah. Ada apa?”

“Apa benar tadi pagi kamu menyuruh Alia keluar dari kelas?” tanya Reza sambil mendudukkan tubuhnya di tepi tempat tidur lalu menatap ke arah putranya yang terlihat sedang membereskan berkas-berkas di sebuah meja yang letaknya di pojok kamar itu.

Reyvan mengerutkan kedua alisnya. “Papah tau dari mana?” tanyanya. Kenapa sang papah tahu kejadian tadi pagi di kelas? Apa Alia langsung mengadu pada papahnya?

“Jadi benar?” tanya Reza memastikan.

Reyvan terdiam. Reza bisa menyimpulkan bahwa apa yang diadukan oleh papih Alia benar adanya.

“Barusan papih Alia telepon Papah. Beliau minta kamu jangan terlalu keras pada putrinya. Ingat, Alia adalah anak kesayangan pak Bagas. Jadi jangan sampai beliau membatalkan perjodohan kamu dengan Alia,” tukas Reza mengingatkan, “sekarang kamu telepon Alia. Minta maaf padanya!” serunya sambil bangkit dan keluar dari kamar putranya.

Reyvan mendengus kesal, ternyata gadis manja itu mengadu pada papihnya sehingga papihnya menelpon sang papah. Bagaimana nanti rumah tangganya bersama gadis manja itu? Ia tidak ingin urusan rumah tangganya dicampuri oleh orang tua kedua belah pihak. Nanti, ia harus membicarakan hal itu pada Alia. Ia mengambil ponselnya yang tadi ia simpan di atas nakas samping tempat tidur. Ia membuka phone book dan mencari nama Alia yang sudah tersimpan di dalam ponselnya.

Dengan ragu antara menghubungi atau tidak, akhirnya ia menghubungi Alia. Bagaimana pun juga kurang dari satu bulan dirinya akan menikahi gadis manja itu.

Tuuuttt

Terdengar nada panggilan tersambung. Dengan perasaan berdebar dan hati cemas, Reyvan menunggu panggilan teleponnya dijawab oleh sang calon istri.

“Halo.” Reyvan memulai percakapannya saat telepon sudah tersambung.

“Iya, halo.” Terdengar suara Alia menyahut di sebrang sana.

“Alia?”

“Iya, bener. Siapa ini?”

“Saya Reyvan?”

“Hah?”

Terdengar suara pekikan di sebrang sana hingga Reyvan menjauhkan sedikit ponselnya dari telinganya. Mungkin Alia tidak menyangka Reyvan akan menelpon dirinya.

“Alia, saya Reyvan,” ucap Reyvan mengulang.

“Eh iya, Om. Ada apa, ya?”

“Saya hanya ingin minta maaf.”

“Minta maaf? Soal?”

“Soal kejadian tadi pagi. Saya sudah mengusir kamu dari kelas saya.”

“Oh itu ….”

“Saya harap kamu mengerti aturan di kelas saya, mahasiswa tidak boleh ada yang mengobrol ketika saya menjelaskan ....”

“Iya, nggak pa-pa, Om. Memang aku juga yang salah.” Alia mengakui kesalahannya juga.

“Yaudah kalau gitu, maaf mengganggu kamu malam-malam,” kata Reyvan hendak menutup panggilan teleponnya.

“Tunggu, Om—”

“Ada apa?”

“Boleh nggak aku tanya sesuatu?”

“Silahkan.”

“Perempuan berhijab yang tadi sore bareng Om naik mobil siapa?”

“Perempuan berhijab?” Pikiran Reyvan berkelana pada kejadian tadi sore. Ia mengingat-ingat perempuan mana yang sudah masuk ke mobilnya. “Oh … itu bu Riska. Dia dosen di kampus kamu juga,” katanya saat sudah mengingat kejadian tadi sore.

“Kok bisa pulang bareng? Om biasa pulang bareng dosen-dosen perempuan ya?” Alia memicingkan matanya padahal Reyvan tidak bisa melihatnya.

“Jangan salah paham. Saya mengantar bu Riska pulang karena tadi kelihatannya dia sedang kurang sehat. Jadi saya menawarkan untuk mengantarnya pulang,” sahut Reyvan menjelaskan. Ia tidak ingin Alia berpikiran macam-macam terhadap dirinya. Ia bukanlah dosen yang senang tebar pesona pada mahasiswanya, apalagi pada teman sejawatnya.

“Oh, gitu.”

”Sudah jelaskan sekarang?”

“Iya.”

“Yaudah sekarang kamu cepetan tidur, sudah malam. Besok harus kuliah pagi, kan?!”

“Iya, Pak dosen killer. Good night!”

Tuuuttt

Sambungan telepon terputus. Alia langsung mematikan teleponnya sepihak setelah mengatai Reyvan dosen killer.

“Dasar, bocah ingusan!” geram Reyvan yang merasa tidak terima dikatai dosen killer. Ia merasa dirinya harus tegas kepada mahasiswa agar mereka disiplin dalam menuntut ilmu.

***

Yulanda

Suka nggak sama ceritanya? Kalau suka, mohon dukungannya ya.. Review cerita ini dgn ngasih bintang 5, jangan lupa gems nya sekalian ya, hehehe... makasih

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status