Tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besarku. Ya, hari itu adalah pernikahan Mbak Mel, putri kesayangan ibu dan almarhum bapak. Walau keduanya memiliki dua orang putri, Mbak Mel dan aku, namun jauh di relung hati ini aku sangat paham jika yang paling mereka cintai adalah Mbak Mel seorang.
Sejak kecil, ibu dan bapak selalu saja mendahulukannya. Membelikan barang-barang mahal untuknya, sampai menyekolahkan perempuan cantik itu hingga S-1. Sedang aku? Selalu mendapat lungsuran barang darinya dan hanya berkesempatan berkuliah hingga D-3. Alasan klasik, uang ibu dan bapak sudah tidak cukup jika menguliahkan dua anaknya ke jenjang sarjana.
Aku yang hanya berbeda usia setahun saja dengan Mbak Mel, sudah sangat paham dengan pembedaan perlakuan yang kami dapat dari kecil hingga dewasa. Jadi, aku tak akan heran lagi jika nikahan Mbak Mel hari ini sangat istimewa untuk keluarga kami. Dan dapat kupastikan, pernikahanku kelak mungkin akan disambut biasa saja oleh ibu dan sanak famili lain.
Aku mendesah letih. Dari subuh hingga malam hari berkutat dengan dapur dan segala pernak pernik hajatan. Jangan membayangkan jika sebagai adik aku berdiri di depan untuk menerima tamu atau minimal duduk anggun menjaga buku tamu lalu membagikan suvenir. Tidak sama sekali. Bahkan aku tak dapat berdandan cantik di hari bahagia Mbak Mel. Ketersediaan konsumsi adalah tanggung jawabku, begitu perintah Mbak Mel.
“Dek Ayu, pokoknya kamu standby di dapur. Cek makanan. Jangan sampai ada yang kurang. Tolong arahkan juga sinoman untuk memungut piring dan sampah-sampah, ya.” Saat itu aku jelas saja membelalak. Bagaimana bisa tugas itu diberikan padaku, sementara panitia acara itu ada banyak dan harusnya dapat diberikan kepada kerabat lain.
Tiba-tiba aku menyadari satu hal. Hidupku bagi Mbak Mel memang tidak berarti. Hanya sebagai pemeran pembantu yang melengkapi kemeriahan hidupnya. Aku yang adik kandungnya, lebih patut mengurusi dapur dan tetek bengek sepele dalam acara, ketimbang sebagai si empunya hajatan.
Oke, Mbak Mel. Apapun yang kau lakukan padaku hari ini, anggap saja sebuah kado untuk pernikahan manismu. Namun, aku tak dapat menjamin, sampai kapan aku harus berlaku manis di hadapanmu.
***
“Mas Wisnu akan tinggal di sini selamanya bersama kita, Yu. Jadi, ibu mohon kamu jaga sikap dan berpakaian yang sopan. Hormati iparmu.” Ibu membuka percakapan saat aku sibuk membereskan rumah sisa hajatan. Waktu masih pukul empat, angin berembus begitu dingin. Sedingin kalimat ibu barusan.
“Memangnya selama ini sikapku selalu buruk? Terus, pakaian seperti ini kurang sopan apalagi, Bu?” Kupingku tentu saja langsung memerah. Aku yang sebenarnya tak ingin berdebat sepagi ini, langsung tersulut amarah.
Mata Ibu seketika mendelik. Dia terlihat tak kalah geram. Tanpa bicara lagi, orang tua itu balik badan dan meninggalkanku sendirian di teras rumah.
Tangisku terakhir kali luruh akibat perlakuan ibu sudah sangat lama. Tepatnya waktu kelas sepuluh SMA. Saat itu aku ulang tahun dan ibu tak sama sekali mengucapkannya. Dia malah membelikan Mbak Mel kasur pegas baru berawarna merah muda, warna kesukaanku. Aku jelas saja marah, iri, dan merasa sedih yang tiada tara. Seharian kuhabiskan untuk menangis dan pada akhirnya kuharamkan air mataku keluar lagi untuk Ibu.
Hari ini, air mata itu tak dapat kubendung. Tangisan yang sama. Air mata kekecewaan. Mengalir deras hingga membuat dadaku berguncang. Lemas, tubuhku duduk memeluk tiang penyangga teras.
“Sejak kecil hingga dewasa, ibu seakan memperlakukan aku bagai anak tirinya. Dia selalu saja mengganggap aku salah dan bahkan tidak memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu pada anak bungsu. Terus, sebenarnya aku ini anak mereka atau bukan?” Dalam kegetiran, aku berkata-kata sambil menutup wajah dengan kedua belah tangan. Perasaanku hancur sehancurnya. Kerja kerasku semalam bagai tiada arti di mata ibu.
Setelah lama aku menangis dan matahari mulai naik menyinari bumi, aku bangkit dari duduk. Takut-takut akan banyak orang lewat di depan sini lalu menjadikanku sebuah tontonan. Sudah cukup selama ini mereka membicarakan ku di belakang, tak perlu lagi para tetangga melihat secara langsung betapa mirisnya kehidupanku.
Saat akan berbalik, aku kaget luar biasa. Sosok lelaki tinggi dengan kaus putih dan celana hitam selutut. Wajahnya tampak cerah dengan senyuman yang hangat. Aku cepat-cepat mengusap sisa air mata dan membuang muka.
“Dek Ayu, kamu kenapa?” Dia mencegatku. Tangannya berusaha meraih sisi lenganku, namun aku mundur untuk menjaga jarak.
“Nggak apa-apa, Mas.” Gara-gara manusia ini, ibu telah menyakiti perasaanku secara lisan.
“Dek, kamu tau nggak tempat bubur ayam langganan Mbakmu? Aku disuruh beli sama dia. Tapi aku takut nyasar. Kamu mau nemenin?” Suara lembutnya mengalun di telingaku. Harusnya aku senang mendapatkan kata-kata halus dari orang di rumah ini, karena Ibu dan Mbak Mel jelas saja jarang bahkan tak pernah melakukannya padaku. Namun, karena mood-ku sedang rusak, ucapan Mas Wisnus tetap saja bikin muak.
Terpaksa, aku mengangkat kepala. Berdecak kesal dan memasang wajah tak suka. “Bilang aja kalau mau nyuruh aku yang belikan. Banyak basa-basi.” Aku berucap ketus, lalu melangkah ke arah luar dan membuka pagar. Ternyata Mas Wisnu mengejar dan menahan tanganku.
“Dek, maaf. Aku nggak maksud begitu. Serius. Maksudku kamu tunjukkan arahnya. Kalau tidak merepotkan, temenin aku. Bisa?” Mas Wisnu mengeluarkan senyuman manisnya. Wajah putih dengan bulu-bulu halus di pipi, dagu, dan bagian atas bibirnya begitu tampan saat tertimpa sinar mentari. Aku hampir saja terpana dengan kegantengan pria tiga puluh tahun ini, tapi segera kutepis saat membayangkan bahwa dia adalah suami dari perempuan yang sangat kubenci nomor dua setelah ibu.
“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari bibirku. Kakiku malas untuk berjalan menuju gerobak bubur ayam Pak Min yang berjarak hampir lima puluh meter dari rumah. Sepanjang jalan, kami berdua hanya membisu. Hanya bunyi derap langkah kaki yang saling beradu di udara.
“Ini tempatnya.” Jutek aku berkata.
“Makasih ya, Dek. Maaf aku merepotkan. Oh, ya, kamu pesan juga. Kita sarapan bareng di rumah.” Geligi putih bersih milik Mas Wisnu tampil dari balik senyum lebarnya. Ya Tuhan, setan apa yang membujuk seorang Wisnu hingga dia harus menikah dengan Mbak Mel? Orang sebaik ini tak pantas membersamai perempuan pemarah, tukang perintah, dan selalu merasa superior di mana pun.
“Terserah.” Aku buru-buru duduk di samping gerobak. Di sebelahku ada seorang ibu-ibu yang ikut mengantre. Tetangga juga, tapi aku tidak hafal namanya. Tidak penting.
“Eh, ini Ayu anaknya Bu Mayang kan?” Ibu-ibu berdaster hijau lumut dengan jilbab oranye—sangat tidak matching—itu menegurku dengan suara yang sok akrab. Aku mengerling malas. Tersenyum terpaksa dan mengangguk kecil.
“Kerja di mana? Kok kelihatannya nggak pernah pergi ke kantor, ya?”
Telingaku langsung berdiri. Hebat, pertanyaannya seperti seorang wartawan majalah gosip yang kehabisan berita.
“Adik ipar saya ini pengusaha online, Bu. Kantornya di rumah. Iya, kan, Dek?” Mas Wisnu tiba-tiba bergabung dan duduk di hadapanku.
“Eh?” Aku salah tingkah. Terlebih memperhatikan Mas Wisnu yang meminta pembenaran dengan senyum khasnya.
“I-iya,” jawabku sambil terbata. Pipiku langsung terasa merah rasanya. Antara malu, senang, dan hmm... sebuah perasaan yang tak dapat dijelaskan.
“Lho, ini siapa? Bukannya suami kakaknya, ya?” Ibu itu tiba-tiba terdengar syok. Perasaanku jadi merasa tak enak. Urusan bakal panjang, pikirku.
“Iya. Saya Wisnu, suami Melani.” Mas Wisnu dengan penuh keramah-tamahan menjabat tangan ibu berjilbab oranye itu.
“Saya Srinti, teman pengajian ibu kalian. Lho, mana Melani? Kok malah pergi sama iparnya?” Kedua Alis si Srinti bertautan. Mukanya tampak heran. Aku jelas saja memperhatikan wajahnya dengan malas dan muak.
“Bu, pertanyaannya banyak sekali? Aku pusing. Lebih baik ibu diam saja biar udaranya tidak tercemar karbondioksida.” Akhirnya kata-kata tajamku keluar. Aku santai saja. Sementara Mas Wisnu berubah muka menjadi tak enak. Begitu pula si Srinti yang terlihat keki.
“Yo wis!” Tanpa kuusir akhirnya si Srinti kabur juga. Lega. Seperti barusan buang air besar setelah setahun konstipasi.
“Dek, kok jawabnya seperti itu?” Mas Wisnu berbisik pelan.
“Jangan terlalu diladeni orang-orang sini, Mas. Tukang gosip dan nyebar hoax.” Mukaku datar. Lalu aku bangkit dan menyambar pesanan yang sudah siap.
“Aku yang bayar, Dek.” Mas Wisnu buru-buru merogoh dompetnya.
“Ya memang harusnya seperti itu, Mas.” Aku ngeloyor pergi dengan langkah kaki cepat. Sementara Mas Wisnu berlari kecil mengejarku. Bodo amat.
***
“Lho? Berduaan perginya?” Mata Mbak Mel membulat saat melihat aku dan Mas Wisnu tiba di dapur bersamaan.
“Suamimu yang maksa minta ditemenin.” Aku menatap tajam pada Mbak Mel. Oke, kalau mau bertikai hari ini, aku punya energi lebih untuk melawanmu. Mbak Mel mendengus dan mengalihkan pembicaraan
“Maaf, ya, aku nggak nemenin?” Kata-kata Mbak Mel halus lembut bagai putri keraton. Tidak biasanya. Hmm, tunggu saja kau Wisnu, bulan depan sifat aslinya pasti akan keluar.
“Nggak apa-apa. Mas tahu kamu capek, Sayang.”
Aku menelan liur. Seketika bergidik geli. Apa-apaan dua orang ini? Jika mau bermesraan, apa wajib 'ain kalau harus di depanku?
Setelah menyiapkan bubur ke dalam mangkuk-mangkuk, secepat kilat aku beridiri dan melangkah pergi. Tapi, lagi-lagi Mas Wisnu mencegah.
“Dek, kita makan bareng. Sini!”
Aku balik badan. Kelihatan wajah Mbak Mel keberatan. Hatiku tersenyum. Oke, akan kurusak makan pagi pertama kalian kali ini.
“Baiklah.” Aku duduk di seberang Mbak Mel. Mata perempuan berkulit Langsat itu bertumbuk padaku. Menyiratkan sebuah ketidaksukaan dan seolah memintaku untuk pergi.
“Kenapa, Mbak? Ada yang mau diceritakan?” Aku tersenyum tipis. Aku mengerti jika Mbak Mel pasti ingin melempari dengan sendok atau bubur yang panas ini. Namun, tidak mungkin itu terjadi. Mana dia mau reputasinya hancur di depan suami gantengnya itu?
“Tidak.” Mbak Mel ketus. Dia beralih pada suaminya dan sibuk memuji-muji betapa ganteng dan baik hatinya seorang Wisnu. Dia ingin mempertegas bahwa dia telah menikah dan menemukan suami sempurna, tidak seperti aku yang masih sendiri.
“Lho, kok makan bertiga begini? Ayu, kamu harusnya kan beres-beres dulu. Masa mengganggu mbak dan masmu?” Oke, sekarang negara api telah menyerang. Akhirnya si pawang ular datang untuk menjinakkan peliharaannya yang tak lain adalah aku.
“Beres-beresnya nanti setelah sarapan saja, Bu. Nanti Wisnu bantu juga. Ibu, ayo kita makan bersama. Wisnu dan Dek Ayu juga belikan untuk Ibu.” Ibu menatapku tajam. Seolah tak terima dengan perkataan Wisnu barusan.
“Kamu dan Ayu? Kalian pergi berdua ke tempat Pak Min?” Mata Ibu membelalak. Ekspresinya beda tipis dengan si Srinti kawan karibnya tadi.
“Kenapa Bu, memangnya? Kami Cuma pergi beli bubur, bukan berduaan di kamar hotel atau tempat remang-remang.” Aku langsung menembak tepat sasaran. Aku tidak bodoh dan sangat mengerti apa yang ditakutkan oleh Ibu.
“Sudah-sudah. Nggak perlu diperpanjang. Besok-besok Mas Wisnu kalau pergi ajak aku aja, jangan Dek Ayu. Nggak elok dilihat tetangga sini.” Mbak Mel segera melerai. Matanya lagi-lagi melirik ke arahku dengan kesal.
“Bu, Mbak Mel. Kalian boleh aja nggak suka sama aku. Tapi, dengan curiga dan ketakutan aku ngapa-ngapain dengan iparku sendiri itu picik. Kamu Mbak Mel, percuma sekolah tinggi dan kerja di tempat yang katamu oke itu kalau pikiranmu sama saja kaya orang kampung.” Aku merasa puas. Selama ini aku hanya diam dan manggut-manggut saja saat Ibu maupun Mbak Mel bersikap buruk. Namun hari ini aku memiliki kesempatan untuk balas dendam serta mempermalukan mereka di hadapan orang baru.
Semua orang terdiam. Mbak Mel dan Ibu dengan muka merah padamnya serta Mas Wisnu dengan wajah bingungnya.
“Oh ya, Mas Wisnu. Jangan heran ya kalau tinggal di sini. Aku memang diperlakukan berbeda. Jangan terlalu dekat denganku. Istri dan mertuamu pasti sangat tidak suka.” Aku berdiri dari kursi makan dan beranjak meninggalkan mereka. Terdengar derap kaki menyusul. Aku menoleh. Ternyata Ibu.
“Perempuan tidak tahu malu!” Sebuah tamparan mulus mendarat di pipiku.
Aku tercengang. Sangat-sangat kaget luar biasa. Setelah sekian lama Ibu tak berani menamparku, kini dia melakukannya lagi. Kemudian diri ini tersenyum. Tidak banyak berbicara. Kutatap wajahnya yang berlinang air mata.
“Terima kasih, Bu.” Aku melangkah lagi dan masuk ke dalam kamar. Hari ini benar-benar begitu spesial untukku.
Seharian kuhabiskan mendekam dalam kamar. Rasa benci dan marah berkecamuk memenuhi kepala. Tumben sekali aku merasa seemosional ini. Padahal, lama sudah aku tak acuh pada sikap Ibu dan Mbak Mel. Mengganggap keduanya angin lalu. Tak patut untuk digubris. Namun, entah mengapa hari ini terasa berbeda. Niat awal ingin mempermalukan keduanya di hadapan orang baru, malah aku yang kalah telak terlebih dahulu.Pukul sebelas malam, aku masih saja berada di dalam kamar. Tanpa makan dan minum. Oh, bodohnya aku. Mana sifat cuek dan tegar Ayu yang dulu? Yang diam dan abai saat Ibu atau Mbak Mel melukai perasaan dengan kata-kata bak sembilu? Mengataiku tak laku, tak punya bakat, pengangguran atau patut jadi pembantu. Aku ingin seperti hari kemarin, yang beku dan abai pada kalimat pahit empedu.Saat aku masih merenung di atas tempat tidur dan mengabaikan ratusan pesan masuk di WhatsApp yang kebanyakan dari grup jual beli dan beberapa pelanggan yang memesan barang, tiba-tiba terdengar
Sejak Mbak Mel marah-marah melihat suaminya membantuku membereskan rumah, Mas Wisnu terlihat semakin canggung di rumah ini. Mereka berdua hanya menjadikan rumah sebagai tempat transit, terlebih setelah mulai masuk kantor.Mbak Mel masih seperti dulu. Bangun tidur, makan, pergi ke kantor, lalu pulang, makan lagi, terus masuk kamar. Tidak pernah sekalipun ikut bantu-bantu apalagi masak. Aku heran, mau sampai kapan? Apa dia tidak punya hasrat untuk melayani suaminya?Mas Wisnu pun begitu. Walau bangun sama awalnya dengan aku, dia terlihat takut-takut untuk ikut bantu-bantu di rumah. Dari gerak geriknya, terlihat Mas Wisnu itu adalah seorang yang rajin dan mandiri. Dia tampak tak nyaman jika hanya ongkang-ongkang kaki saja di rumah.Suatu hari, orderan gamis dan sepatu kulit yang kujual secara online sangat banyak. Aku sampai kewalahan untuk melakukan pengemasan. Sampai-sampai, hari itu aku tidak sempat untuk masak.“Lho, Yu, kok kamu nggak masak untuk
Kukaitkan liontin huruf A itu pada kalung emas dan memakainya. Leher jenjangku terlihat manis dengan perhiasan itu. Seketika bibirku tersungging menatap pantulan diri di cermin. Ternyata aku cantik juga jika memakai perhiasan seperti ini.Perlahan kusisir rambutku yang sedikit berantakan. Sakit, ternyata saking jarangnya bersisir helai demi helai hitam di kepalaku jadi kusut begini. Saat memandangi rambut sebahuku tergerai, sekali lagi mengagumi kecantikanku. Apakah selama ini aku hanya kurang terawat sehingga belum satu pun lelaki yang berniat untuk mendekati?Entah kenapa, malam itu aku sangat ingin mengenakan bedak dan lipstik yang selama ini tersimpan rapi di dalam laci lemari. Jarang tersentuh karena memang aku tak suka bersolek plus hanya sesekali keluar rumah.Awalnya tangan ini sangat kaku menyapukan bedak, hingga rasanya mukaku jadi cemong karena bedaknya terlalu tebal. Pelan-pelan, aku memperbaiki polesan bubuk berwarna beige itu ke seluruh penjuru waj
Sepanjang perjalanan pulang, aku memeluk Mas Wisnu di atas motor. Terpaan angin dini hari yang sejuk membuat tubuh Mas Wisnu mampu menghangatkan. Harum tubuhnya yang maskulin membuatku merasa begitu betah dan ingin berlama-lama berdua bersamanya. Terbesit di benak, coba Mas Wisnu adalah milikku. Takkan kubiarkan dia mengeluh tentang hidup sedikit pun. Kubebaskan dia bagai burung untuk terbang mengitari cakrawala dan kembali ke sarang saat senja tiba. Mbak Mel yang keras dan banyak mau, jelas bukan wanita idaman yang dibutuhkan lelaki tampan itu. Tuhan, bolehkah aku merebut suami mbakku sendiri?Kami tiba di rumah pukul satu lewat tiga puluh menit dini hari. Ini benar-benar pengalaman yang gila. Aku keluar rumah tengah malam dengan seorang lelaki pula. Pelan Mas Wisnu menuntun motor ke halaman. Jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang. Lampu ruang ramu yang tadinya kami matikan, kini terang benderang. Ada apa? Apakah Mbak Mel dan Ibu terbangun?“Mas....”
6 Kami berdua mengendara motor selama kurang lebih dua puluh menit di tengah malam buta yang cukup dingin ini. Mas Wisnu menghentikan laju kendaraannya di sebuah hotel bintang tiga yang lumayan terkenal di kota kami. Aku mengernyitkan kening. Hah? Hotel? Apakah mungkin iparku mengajak untuk check in di sini? “Sementara kita menginap di sini ya, Dek?” Mas Wisnu memarkirkan motornya di halaman parkir hotel yang luas. Aku tak dapat banyak berkata, hanya mengangguk tanda mengiyakan saja. Dengan penuh kelembutan, Mas Wisnu menggandeng tanganku sembari berjalan masuk ke hotel. Dua orang resepsionis menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Padahal, saat ini jam sudah menunjukkan pukul tiga. Mereka seakan tak mengantuk dan melayani kedatangan tam
7 Mas Wisnu cepat-cepat memakai pakaian, sedang aku membalik badan agar tak melihatnya tanpa busana. Gedoran pintu masih terdengar dan semakin kasar. Kedua kaki ini langsung terasa lemas. Sekonyong-konyong tubuhku terasa oleng dan mau pingsan. “Sebentar!” teriak Mas Wisnu sambil terburu-buru berlari ke arah pintu. “Mas Wisnu! Dek Ayu! Kalian jahat! Sungguh-sungguh kejam padaku!” Suara Mbak Mel menjerit histeris. Perempuan itu datang diiringi dengan tiga lelaki berpakaian santai dan seorang petugas berseragam hotel. “Kami dari pihak kepolisian.” Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan rambut sebahu dan wajah sangar memperlihatkan kartu tanda anggota polri.
8 Kuhilangkan semua duka, kecewa, dan rasa malu yang telah mencoreng wajah. Sejenak aku beristirahat di sebuah cafe sambil menikmati segelas teh tarik dingin dan sepotong sandwich daging. Satu per satu siasat telah tersusun rapi di dalam pikiran. Mulai dari mencari tempat tinggal murah, kembali menjalankan bisnis, dan mencari tahu asal usulku melalui keluarga Bapak—itu pun jika mereka mau mengungkapkannya. Tahu betul bagaimana sikap keluarga besar Bapak pada diriku. Mereka kebanyakan dingin dan cuek. Tak pernah mau peduli terlebih lagi kala Bapak telah tiada. Jangankan mau bercengkrama, mampir ke rumah pun tak lagi sudi. Kutimang-timang sertifikat tanah yang telah balik nama menjadi kepunyaanku tersebut. Ini adalah penguat langkah. Persetan dengan ancaman Mbak Mel. Jika tak bisa menjual, tentu saja benda ini bisa digunakan
9 Meski telah kuputus sambungan video call tadi, Mas Wisnu tak menyerah sampai di situ saja. Puluhan panggilan berikutnya terus berdatangan tanpa lelah, walaupun tak kunjung kuangkat. Tangisan ini kian menganak sungai bagaikan hujan lebat di penghujung bulan September. Sesak bagaikan dada ini ditimpa oleh beban berpuluh kilogram. Betapa sulit untuk terdefinisikan. Satu sisi aku begitu mencintai Mas Wisnu, tetapi di sisi lain sebisa mungkin kami harus saling menjauh agar tak terjadi kembali konflik antara aku dan dua betina iblis tersebut. Sudah... sudah cukup luka dalam yang mereka cipta. Tak kuat batin ini jika didera siksa tanpa kepastian akhir bahagia. Beberapa pesan dari nomor baru milik Mas Wisnu pun menyerbu kotak masuk WhatsApp. Tak lagi kuhirau. Namun, meski mencoba untuk tak acuh, tetap saja hati ini mendesak agar mener