Share

Kesepakatan

"Ini tunjangan dan aset yang kamu dapat jika menjadi istriku."

Aku membaca dengan saksama poin-poin alias keuntungan yang kudapatkan jika bergelar nyonya muda Lim. Bahkan, saat berstatus sebagai istri Roy dulu, tak ada tunjangan semurah hati ini.

Selain dapat uang saku yang mencapai dua digit perbulan, aku juga mendapat butik dan hotel bintang empat yang bisa kukelola sendiri. Jika ditambah restoran dan klinik kecantikan yang kumiliki saat ini, bisakah aku merasa jadi jutawan kelas kampung?

"Tentu saja jika suatu saat kita bercerai, kamu tidak mendapatkan apapun lagi. You are on your own." Pria karismatik itu kini menyandarkan tubuhnya yang tegap, menatapku lekat-lekat, kemudian menjatuhkan bom-nya, "Lalu aku mau bertanya. Apa yang kamu harapkan dariku makanya begitu gigih mendekati mama?"

Shit! Jeritku lagi. Mungkin kali ini dia bisa melihat kilatan kaget di mataku, karena setelahnya, dia mencetus lagi, "Aku tahu segalanya, Darling."

Sudah kuduga tak akan ada yang luput dari pandangannya. Tapi tetap saja mendengar pria yang hendak dijadikan suami terang-terangan menyebut modus operandi-mu, rasanya amat memalukan. 

"Kenapa kamu tanya kalau kamu sudah tahu semua?" Aku mencetus berani. Tak sudi rasanya terlihat menyedihkan walau sudah tertangkap basah. 

"Karena aku suka kejujuran. Maksudku, aku tidak suka dikelabui," bisiknya seksi meski tercium aroma samar ancaman dalam suara itu. 

Susah payah kutelan ludah yang terasa lengket di tenggorokan. "Aku ingin balas dendam pada mantan suami," kujawab akhirnya. 

"Wanita penuh dendam, heh?" Ada kilat geli di mata hazel-nya waktu mendengar kalimatku. "Lantas, imbalan apa yang kudapat dari kegiatan balas dendam ini? Kamu pasti paham prinsip no free lunch, iya kan?" Dia berucap seraya memutar gelas berisi wine itu perlahan, persis predator yang menanti mangsanya masuk perangkap. 

Tepat dugaanku. Pengusaha besar seperti dirinya pastilah hidup dalam zona abu-abu. Kalau bukan terhubung dengan mafia asli, setidaknya dia pasti punya akses dengan mafia berkedok aparat demi kelancaran bisnis. 

Lihatlah betapa santainya dia membicarakan balas dendam, seolah melakukan tindak kriminal pada orang lain bukan masalah besar. Hanya hal remeh sebagaimana berita naik-turunnya nilai saham yang dia pantau setiap hari 

"Aku bisa memberikan apapun, termasuk... tubuhku," bisikku Lirih. 

Dari ekor matanya dia mengamatiku tak berkedip. Ujung kaki hingga rambut tak luput dari mata elang itu. Tanpa sadar aku berjengit, menundukkan bahu dalam sikap defensif, seolah ada tangan tak kasat yang menggerayangi sekujur tubuhku. 

"Hahahaha, wanita cantik dan berani. Sekarang ini jadi menarik!" Perlahan dia menyesap wine itu lalu melanjutkan ucapannya yang terjeda, "Apa kamu pernah menonton Fifty Shades of Grey?"

Aku tercenung lalu membuka lembaran memori yang berkabut. Sepertinya aku pernah mendengar judul ini, entah novel atau film. 

Ah! aku ingat sekarang. Film ini bercerita tentang petualangan cinta Christian Grey, seorang pengidap sadomasokis. Dulu film ini sempat booming. Sebelum film itu jadi ramai, aku sudah membaca novelnya duluan di aplikasi online. 

"Ya, pernah. Lantas?" balasku santai, meski jantungku sudah berdegup tak karuan. 

"Bagaimana kalau ternyata aku seorang Grey, apa kamu bersedia menjadi Anastasia Steele?"

Deg!

Walau sudah mengantisipasi, tetap saja jantungku berdegup kencang, bahkan telapak tanganku mulai berkeringat. Sekilas ingatanku melayang pada scene menjijikkan dalam film brutal berbalut romansa itu. 

"Takut sekarang?" Dia berucap dengan seringai lebar. Wajah tampannya saat ini persis Vampire dalam film horor Eropa.

"Tak apa. Kamu boleh mundur jika tak berani. Aku selalu bisa menemukan wanita lain." Dia menutup perkataannya. 

Perlahan kulepaskan napas yang tertahan. Aku tak bisa lagi mundur. Tidak setiap hari aku bertemu peluang seperti ini. 

"Baik, aku bersedia. Tapi aku perlu tahu berapa kali kamu akan melakukan 'itu' padaku," balasku pasrah. Betapapun siapnya, aku perlu tahu berapa kali akan 'dibantai' demi memuaskan nafsu pria sesat ini.

"Aku suka keberanianmu. Sangat sedikit perempuan yang berani mengambil resiko." Ada rasa tertarik samar pada manik matanya yang kelam sebelum dia melanjutkan ucapannya, "Tak banyak. Paling dua atau sekali dalam sebulan, aku tidak sebuas itu."

Entah sadar atau tidak, aku mendesah lega. Paling tidak tubuhku masih sempat menyembuhkan lukanya sebelum 'dibantai' lagi dan lagi. Lagipula aku bisa minta cerai kapan saja begitu 'tugas mulia' yang kuemban selesai. 

Seperti bisa membaca pikiranku, lelaki bermata tajam itu berujar lagi, "Tentu saja kamu bisa pergi kapanpun begitu tak sanggup lagi."

"Apa sejelas itu ekspresiku?" 

Dia hanya melengos tanpa minat lalu menekan ponselnya, berbicara dengan seseorang di ujung sana, lalu menatapku kembali, "Aku sudah meminta Edbert mengantarmu." Seperti paham dengan tanda tanya di wajahku, dia menukas kembali, "Jangan khawatir, dia asisten pribadiku. Mulai saat ini kamu tidak lagi bisa berkeliaran tanpa mengabariku, mengerti?"

"Baik," sahutku singkat lalu mengikuti langkahnya yang sudah berjalan di depanku. 

Aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya mampu membangkitkan getaran di dadaku. Mungkin ini bukan cinta karena aku tidak tahu apa itu. Terpesona mungkin lebih tepat. Ada rasa aman waktu berjalan di sisinya, seolah semua bahaya menjauh seketika. 

Sensasi yang kalian dapatkan ketika berjalan di sisi Alpha Male. 

Sebuah Bentley sudah nangkring manis di depanku begitu kami keluar dari lift yang menuju parkiran bawah tanah. Dengan gesit, pria muda dalam balutan suit hitam menghampiri kami dan membungkuk di depan Hartono. 

"Tolong antar Shanty ke apartemennya, pastikan dia tiba dengan aman di sana."

"Baik Tuan."

Tanpa menunggu lama pria itu membukakan pintu mobil dan mempersilakanku masuk. 

Ah, beginikah rasanya jadi nyonya besar yang sesungguhnya? Hmmm, tidak buruk. 

"Mau diantar ke mana, Ma'am?" Pria itu bertanya namun matanya tak menatapku, tetap fokus memandang jalanan yang terbentang di depan sana. 

"Di pertigaan sana belok kiri, apartemen yang paling pertama."

"Yang dekat swalayan?"

"Betul."

Kami melanjutkan perjalanan dalam keheningan, bukan yang mencekam seperti dengan Hartono, hanya asing. Mungkin karena aura asisten ini tidak sekuat tuannya. 

Sambil memandangi jalanan yang mulai sepi, aku memikirkan kesepakatan dengan Hartono tadi. Jujur, hati ini sangat takut. Meski sebagai tenaga medis, hari-hariku diisi dengan kegiatan yang berhubungan dengan luka, tetap saja menakutkan rasanya bila membayangkan diri sendiri yang berdarah-darah. 

"Kita sudah sampai, Ma'am." Suara bariton yang rendah itu memanggilku kembali ke alam nyata. 

Sebagaimana yang dilakukannya tadi, kembali dia membukakan pintu untukku dengan sikap hormat. Benar-benar prajurit yang patuh. Aku lekas berjalan menuju lift yang mengarah kelantai empat - ruangan di mana aku tinggal - ketika menyadari sesuatu yang janggal. Asisten berambut plontos itu tetap mengikuti langkahku. 

"Maaf Ma'am, tapi ini perintah. Saya harus memastikan anda tiba dengan selamat," ujarnya begitu mata kami bertemu. Mungkin dia tak enak hati melihat roman mukaku yang kurang nyaman. 

Di mana pula karyawan sepertiku dikawal begini, jelas saja aku risih. Namun kubiarkan saja dia mengikuti. Buat apa berdebat dengan kacung yang tidak punya kewenangan. Paling-paling dia akan membawa-bawa nama atasannya lagi.

Untung lantai tempatku tinggal itu tak jauh, cuma di lantai empat yang tertulis sebagai tiga A di lift. Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, angka empat itu membawa sial karena pengucapannya bersinonim dengan kematian. 

"Kamu boleh pergi sekarang. Aku sudah sampai di depan pintu kamarku, " ujarku sembari memasukkan kartu yang berfungsi sebagai kunci. 

"Baik, Ma'am. Kalau begitu saya pamit dulu, selamat malam."

Aku mengangguk sembari menatap kepergiannya. Setelah bayangannya hilang ditelan malam, barulah aku berani membuka pintu kamar. 

**

Aku sedang sibuk merapikan barang-barang ketika Jane mendadak memasuki ruangan. Dari balik kacamata berbingkai gelap itu, aku bisa merasakan tajam tatapan matanya. 

"Huh, akhirnya kamu benar-benar pergi dari sini."

Begitu kalimat pembuka yang diucapkannya seraya bersedekap di ambang pintu. Kubiarkan saja betina itu dengan segala tingkahnya. Sebentar lagi aku akan hengkang dari sini, buat apa menghabiskan tenaga dengan manusia nggak penting macam dia. 

Dua hari lalu aku memang sudah menyampaikan surat resign pada direktur kami. Beliau hanya menanyakan alasan pindah dadakan ini sekilas, lalu memberi basa-basi semoga berhasil di tempat yang baru. Sungguh aku tidak kecewa. Dari awal sudah paham betapa dingin suasana kerja di sini. 

Malah aku juga sengaja tidak berteman dekat dengan siapa pun. Semakin banyak teman, semakin banyak beban. Bergaul membuatmu harus mengeluarkan tenaga extra untuk memikirkan masalah orang lain, perayaan penting orang lain, perasaan orang lain. Demi apapun aku tak punya cukup tenaga lagi. Sebelum Roy mendapat balasan dari perbuatannya, tidak ada tempat untukku berleha-leha di bumi. 

"You anggap aku sampah sekarang?!"

Ups, ternyata nyonya besar mulai kesal dicueki mantan kacungnya. 

"Maaf Ma'am, saya sibuk. Bisa ulangi yang Ma'am cakap barusan?"

Jane paling kesal diminta mengulang ucapannya, dan itulah persisnya yang kulakukan saat ini. Wajahnya yang sangat biasa itu sudah merah seperti tomat busuk, saking kesalnya barangkali. 

"Oh really? You mulai berani, ya?" Tanpa menunggu responku dia melanjutkan ujarannya yang tak berguna, "Jadi Shanty, jaga perilakumu. Jangan nak belagak. You bukan orang kaya, jangan nak merasa hebat sangat. Muka you juga tak cantik sangat, " tambahnya dalam kegilaan yang makin menjadi. 

Dari pengalaman selama bekerja di sini, bisa kusimpulkan kalau nona Jane Yeoh yang malang adalah epitome dari kesuraman. Bukan lantaran dia sangat payah, namun dia gemar membuat dirinya terlihat payah. 

Wajahnya itu, meski biasa saja, sebetulnya bisa ditutupi dengan kulit putih bersihnya dan tubuh yang padat berisi. Tapi entah kenapa gadis ini suka sekali merusaknya dengan sikap angkuh dan tutur kata kasar, terlebih pada mereka yang punya status sosial di bawahnya. 

Otak Jane, meski tidak terlalu pintar, sebenarnya bisa didukung dengan gelar akademik yang didapat. Asalkan dia nggak usah banyak bicara, pasti orang nggak akan tahu kemampuannya yang pas-pasan. Tapi entah kenapa pula gadis satu ini suka betul mengajari orang lain, padahal apa yang dia ucapkan selalu salah. 

Untungnya dia keponakan yang punya rumah sakit, jadi amanlah hidupnya sebagai kepala ruangan di sini. Privilege sejak lahir. 

"Terima kasih Miss Jane. Semoga sesudah saya pergi nanti, dokter Vincent propose you." Sebelum senyum terbit di wajahnya, kutancapkan bisa dalam lisanku, "Meski aku nggak yakin sih, soalnya dokter Vincent pernah cakap 'Kamu bukan tipenya ...jadi aku rasa, you are hopeless," tambahku lalu mengangkat box warna biru yang isinya cuma seuprit. 

Dari sudut pandang yang terbatas, bisa kulihat mata Jane mulai berkaca-kaca sedangkan tangannya mengepal erat. Waktu berjalan ke pintu, mau tak mau aku harus berpapasan dengannya. Dia berbisik begitu aku melewatinya, "Tunggu saja, you akan dapatkan balasan untuk mengejekku!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status