Share

Keputusan Suamiku

Tangan Mas Dasep sudah mengepal, otot-otot lengannya menegang kencang saat kutahan dia agar tak jadi pergi.

 

 

Mas Dasep terbakar amarah. Aku mengerti bagaimana perkataan Bapak tadi sangat menyakitkan bagi suamiku ini. Wajah yang berubah merah padam dan ekspresi menakutkan, menguatkan hatiku untuk berani menghadapi kemarahan Mas Dasep.

 

 

Mas Dasep marah terhadap Mila dan Husni, tapi api kemarahannya itu bisa membakar semua anggota keluarga yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Untuk itulah, aku harus berani menghadapi kemarahan Mas Dasep saat ini. 

 

 

Seperti halnya suamiku itu selalu menenangkanku saat aku menangis, maka aku pun harus bisa menenangkannya saat dia marah.

 

 

Mas Dasep mewarisi emosi Bapak Mertua, dia akan marah semenakutkan saat Bapak Mertua marah. Jika Mas Dasep bicara dalam keadaan emosi, sudah pasti Bapak pun akan meladeninya dengan emosi pula. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Itulah sebabnya, aku mencegah Mas Dasep.

 

 

"Kali ini jangan halangi aku, Mur. Sesekali, berhentilah jadi orang baik!" kata Mas Dasep bicara padaku, tapi matanya melihat entah ke mana. "Aku tak terima Bapak menilai Husni kejauhan seperti itu, sudah saatnya Bapak tahu yang sebenarnya!"

 

 

Napas suamiku itu memburu diiringi peluh yang mengucur dari kening. Aku paham, dia lelah sehabis bekerja. Menyablon karung secara manual pasti membuatnya capek dan pegal-pegal, ditambah lagi harus mendengarkan kata-kata yang menyakitkan sepulang kerja.

 

 

"Mas, dengarkan aku dul—"

 

 

"Tidak, Murni. Diamlah. Minggir, aku mau menyusul Bapak ke rumah. Aku harus bicara dengannya!" potong Mas Dasep, masih dikuasai emosi.

 

 

"Aku janji, Mas akan bicara dengan Bapak. Tapi, dengarkan aku dulu, Mas," tahanku.

 

 

Sepuluh tahun mengenalnya—dua tahun masa pacaran dan delapan tahun berumahtangga, aku sudah hapal bagaimana cara meredam amarah suamiku. Kuusap kening Mas Dasep yang bercucuran peluh dengan ujung lengan gamisku, dan hal itu membuat amarahnya berkurang. Aku selalu melakukan trik ini ketika Mas Dasep marah.

 

 

Begitu aku selesai mengelap peluh di keningnya, Mas Dasep mengatur napas, dia mengendalikan emosinya sendiri. 

 

 

"Ayo, masuk dan duduklah dulu di dalam rumah. Tak baik kita seperti ini di luar, gak enak jika dilihat tetangga."

 

 

Selesai menuntun Mas Dasep duduk di dalam rumah, aku langsung ke warung untuk membuatkannya minuman dingin rasa jeruk. Setelah itu, aku kembali.

 

 

"Minum dulu, Mas. Cuaca sedang panas terik, Mas juga belum minum apa-apa sejak pulang kerja. Ini pasti menyegarkan. Mulai hari ini, aku jualan minuman dingin juga, Mas," kataku sambil menyuguhkannya ke Mas Dasep, sengaja kualihkan pembicaraan agar suamiku dapat sejenak melupakan kejadian barusan.

 

 

Tak butuh waktu lama bagi Mas Dasep untuk meneguk minumannya sampai habis. Sudah pasti dia kehausan.

 

 

"Tadi kenapa kamu diam aja waktu Bapak muji-muji Husni? Kan kamu tahu sendiri kenyataannya Husni tidak seperti yang Bapak bilang?" tanya Mas Dasep. Emosinya masih ada, tapi tak sekuat tadi.

 

 

"Mas pikir, kalau kita beritahu Bapak yang sebenarnya, Bapak akan langsung percaya dan terima? Mas tahu sendiri bagaimana watak Bapak, jika dia sudah punya penilaian sendiri, sangat sulit untuk mengubahnya meskipun kenyataannya kitalah yang benar. Yang ada, nanti malah kita yang dianggap memfitnah Husni, iri sama Husni karena Bapak lebih membanggakannya. Coba dipikirkan lagi, pasti akan jadi masalah baru nantinya," jawabku.

 

 

Mas Dasep mendengus. Dia masih belum bisa menatapku, pandangannya kemana-mana, tak fokus. Artinya, dia memang masih marah. Aku harus hati-hati menjelaskan.

 

 

"Itulah sebabnya aku mencegahmu, Mas. Lagipula, Mas dalam keadaan emosi. Apa yang akan Mas katakan pada Bapak nanti, sementara Mas tak bisa berpikir jernih? Tenangkan dulu dirimu, baru bicara ke Bapak. Tapi, aku ingatkan satu hal," jelasku pelan.

 

 

"Apa itu?"

 

 

"Tidak ada gunanya mengadu. Mas ingat kan, waktu kita masih serumah dengan Bapak, Ibu, dan Mila?" tanyaku.

 

 

Kali ini, Mas Dasep menoleh dan menatapku. Pandangan kami bertemu. Tampak dia berpikir, mengingat saat-saat itu.

 

 

"Waktu itu, Mila belum bersuami. Setiap hari kerjanya rebahan dan main ponsel di kamar, sedangkan aku mengerjakan semua pekerjaan rumah, bahkan baju-baju Mila pun aku yang nyuci. Ibu selalu ikut Bapak ke kebun, kadang ke sawah, dan baru pulang sore hari. Dan waktu Ibu pulang, Mila mengaku mengerjakan pekerjaan rumah dan bilang pada mereka bahwa kerjaku hanya rebahan saja. Mas ingat, kan?"

 

 

Suamiku mendengarkan sambil manggut-manggut. "Lalu?" tanyanya.

 

 

"Kejadian itu tujuh tahun yang lalu, setahun pernikahan kita dan aku masih sangat labil, belum bisa berpikir dewasa seperti sekarang. Waktu itu aku sangat marah, aku melawan Mila. Kuadukan pada Ibu, tapi Ibu malah membela Mila. Akhirnya kuadukan ke Bapak. Bapak memarahi Mila, tapi Mila dan Ibu malah memusuhiku," kenangku.

 

 

Mas Dasep manggut-manggut, sepertinya dia mulai mengingat kejadian itu.

 

 

"Sejak saat itu, aku jadi tak nyaman di rumahmu, Mas. Dan akhirnya kau mengambil tindakan, menasihati Mila sampai bicara pada Ibu dan Bapak. Tapi apa selanjutnya ... tak ada yang mau mendengarkan kita. Pada akhirnya, Ibu dan Bapak lebih percaya Mila, karena anak itu memang berbakat mengarang cerita. Dan karena itu pula lah kita pindah ke sini, mengontrak karena tak tahan dengan situasi di sana." Aku melanjutkan.

 

 

Terdengar embusan napas panjang. Mas Dasep tampaknya kini sudah bisa mengingat kejadian itu dengan jelas. Tentu saja, itu adalah hal yang tak akan pernah kami lupakan. 

 

 

"Iya, Mur. Waktu itu kita serumah bertengkar hebat. Semua gara-gara Mila. Ah ... adikku itu susah dikendalikan," respon Mas Dasep. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

 

 

"Aku tak mau kejadian itu terulang lagi. Tak ada gunanya mengadukan Mila, ujung-ujungnya kita yang akan kena masalah karena dia pasti akan membela diri. Lagipula, soal pemberian itu ... Alloh kan tidak tidur, Mas. Biarkanlah Mila mengarang cerita, toh balasan perbuatan manusia tidak akan salah alamat, baik-buruknya pasti akan kembali ke manusia itu sendiri. Kita fokus saja pada urusan kita, Mas. Biarkan Mila bermain dengan permainannya, nanti juga lama-lama kebusukannya akan terbongkar," kataku.

 

 

Setelah cukup lama kami berdiam diri dan tak saling bicara, akhirnya Mas Dasep membuka suara. Tampaknya dia telah memikirkan perkataanku tadi.

 

 

"Kamu benar, Mur," katanya. "Tapi, Mas tetap harus bicara pada Bapak," katanya.

 

 

"Silakan. Tugasku hanya mengingatkan. Dari awal aku tak melarangmu bicara ke Bapak, aku mencegahmu bicara dengan orangtua dalam keadaan emosi. Itu saja," balasku.

 

 

Bagaimana pun, aku hanya bisa memberi pendapat dan mengingatkan suamiku atas konsekuensi tindakan yang akan diambilnya. Namun tetap, keputusan akhir ada di tangan suamiku sebagai pemimpin rumah tangga. 

 

 

Dan aku harus menghormati keputusan Mas Dasep. Sekarang, tinggal menunggu hal apa yang akan terjadi. 

 

 

Mungkin, tak lama lagi Mila atau Ibu akan melabrakku ke sini, karena Mas Dasep mengadu ke Bapak.

 

 

Mas Dasep kini jauh dari pandanganku, dia sudah berangkat ke rumah Bapak.

 

 

Masalah besar pasti sedang menunggu kami di sana.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status