Share

Bau Hangus Tengah Malam

"Kenapa, Mas?" tanyaku.

 

 

"Kemarin, untuk pertama kalinya Mas ngasih Ibu uang. Jadi, seharusnya Ibu tak akan meminjam lagi. Kalau Ibu sampai pinjam, berarti dia iseng," jawab Mas Dasep.

 

 

Aku mengangguk. Lalu mengajak Mas Dasep ke warung menemaniku memasak. Azan subuh masih cukup lama, aku ingin ngobrol dulu dengannya sebentar.

 

 

"Barang-barang dagangan ini pemberian Bi Tika, Mas. Kemarin aku mau cerita. Tapi, Mas buru-buru ke rumah Bapak dan pulang malam," kataku begitu tiba di warung.

 

 

Aku tak ingin Mas Dasep salah paham dan mengira uangku masih cukup banyak setelah kemarin menagih ke Ibu.

 

 

"Bi Tika yang dulunya tetangga kita?" tanya Mas Dasep sambil membantuku memarut tiga buah jagung berukuran besar untuk dijadikan puding.

 

 

"Iya, Mas. Sekarang kehidupannya sudah jauh berubah. Dia buka usaha kerupuk mentah. Produksi sendiri, dijual sendiri dan juga disuplay ke toko dan warung-warung. Dia juga jual grosiran kebutuhan rumahtangga," jawabku. 

 

 

"Wah ... alhamdulillah, Mur. Padahal baru aja setahun yang lalu dia pindah dari sini karena gak bisa bayar kontrakan, sekarang sudah sukses aja," katanya.

 

 

"Itulah rahasia rezeki, Mas. Dan barang-barang daganganku ini dikasih dia gratis. Katanya sebagai ucapan terimakasih karena kita dulu telah banyak membantunya," jelasku.

 

 

Mas Dasep menghentikan gerak tangannya yang tengah memeras parutan jagung dan kelapa dengan air. "Itulah kata pepatah, kebaikan yang kita lakukan sejatinya akan kembali pada diri kita sendiri," katanya.

 

 

"Ciee ... Mas so bijak, nih," godaku.

 

 

Kami lalu tertawa bersama.

 

 

"Ini sudah dapat 1,5 liter air perasannya, Mur." Mas Dasep memperlihatkan gelas ukur berisi air perasan jagung dan kelapa.

 

 

"Oh iya, tolong tuangkan semua ke panci sama agar-agar dua bungkus, sejumput garam, 200 gram gula, dan daun pandan ya Mas. Aku lagi tanggung ini nuang adonan bakwan ke wajan," kataku.

 

 

Mas Dasep kemudian merebus adonan puding di panc,i dan setelah mendidih dia menuangkannya ke loyang. Sementara, aku sibuk mengangkat goreng bakwan terakhir dari wajan.

 

 

"Kemarin Bapak ngasih jagung, aku jual jagung bakar aja. Ini sisanya dibikin puding. Sebagian kita makan, sebagian kita jual ya Mas," kataku saat kami telah selesai memasak.

 

 

"Ya, baguslah. Mas seneng punya istri yang kreatif," balasnya seraya tersenyum padaku. Senyum manis yang selalu membuatku tertarik padanya.

 

 

Kami duduk di bangku depan warung sambil meminum teh hangat. 

 

 

"Aku punya rencana, Mas. Nanti setelah pulang belanja dari pasar, aku mau ke rumah Bapak beli hasil kebunnya untuk kuolah jadi makanan dan dijual. Kan lumayan, Mas, itung-itung membantu Bapak," kataku.

 

 

"Ya, boleh. Asal kamu senang melakukannya. Berjualan, mengolah makanan, apapun ... asal jangan sampai kecapean, kasihan anak kita yang ada di perutmu ini," balas Mas Dasep seraya mengusap perutku.

 

 

"Iya, Mas. Nanti tolong jagain warung ya, Mas kan libur kerja hari ini," pintaku.

 

 

Mas Dasep menyanggupi, lalu kami masuk ke dalam rumah untuk bersiap salat subuh.

 

 

*

 

 

Selesai mengantar belanjaan ke warung, aku langsung ke rumah Bapak Mertua. Jam enam pagi Bapak pasti masih berada di rumah dan belum berangkat ke kebun.

 

 

"Ada apa pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Ibu Mertua. Mukanya sedikit jutek begitu aku sampai.

 

 

"Mau ketemu Bapak, Bu," jawabku.

 

 

"Mau ngadu lagi, kayak Dasep kemarin?" sindirnya sinis.

 

 

Ibu Mertua sedang berjaga di dalam warung.

 

 

"Nggak, Bu. Aku ke sini mau beli jagung," kataku.

 

 

"Tuh, Bapak di belakang!" Ibu Mertua menjawabku dengan ketus.

 

 

Segera kutemui Bapak, dia sedang merapikan hasil kebun yang tampak berserakan di pekarangan belakang rumah.

 

 

Bapak Mertua menoleh ketika aku datang dan mengucap salam. Dia menyuruhku duduk di bangku.

 

 

"Aku mau beli jagung, Pak," kataku, memulai pembicaraan.

 

 

"Ambil saja, gak usah beli."

 

 

Bapak memang selalu baik padaku, tidak seperti pada Mas Dasep. Jika pada suamiku itu, Bapak terkesan selalu menganggap remeh 

 

 

"Nggak, Pak. Aku mau beli karena ini untuk dijual lagi," jawabku.

 

 

"Lho, kerajinan banget kamu jualan jagung, Mur. Apa warungmu sudah gak laku?" Bapak malah bertanya seperti itu.

 

 

"Justru dengan adanya jagung ini, warungku semakin ramai, Pak. Aku jual jagung bakar, dan rencananya jagung-jagung ini mau kuolah jadi makanan lain untuk dijual," jawabku.

 

 

Bapak menghentikan pekerjaannya, lalu duduk di sampingku menyeruput kopi. "Aduh, bagaimana ya ngasih harganya. Bapak bingung kalau jual ke anak," katanya.

 

 

"Lima belas ribu sekilo!" Ibu Mertua tiba-tiba datang dari pintu belakang rumah. Suaranya begitu kencang, sampai-sampai aku dan Bapak  terkejut.

 

 

"Kemahalan itu, Bu. Kita biasa jual Rp. 7000, kok," kata Bapak sambil melirikku sekilas, seperti merasa tidak enak padaku.

 

 

"Ya biarin aja, Pak. Dia juga mau jual lagi jagungnya dengan harga yang lebih mahal. Kita kasih harga segitu pun, dia masih akan dapat untung banyak nanti," jawab Ibu Mertua.

 

 

"Bu, sama anak sendiri kok perhitungan," kata Bapak.

 

 

"Ya sudah, sepuluh ribu aja. Mau beli monggo, enggak juga gak apa-apa," kata Ibu Mertua pada akhirnya. "Lagian dia menantu, Pak. Yang anak kita itu Dasep."

 

 

Sepertinya, Bapak malas menjawab Ibu lagi. Dia langsung membungkus lima kilo jagung yang kupesan. Tak ketinggalan juga singkong, ubi, dan pisang masuk ke dalam kantung kresek. Aku membeli masing-masing lima kilo.

 

 

Ibu Mertua masih berdiri di ambang pintu, memperhatikan aku dan Bapak yang sibuk memilih.

 

 

"Mur, apa Dasep gak cukup ngasih nafkah sampai-sampai kamu jualan ini-itu untuk cari uang? Ya, Bapak paham dia cuma kerja nyablon, wajar duitnya sedikit. Dulu, setelah anak itu lulus SMK, Bapak ikutkan dia kursus komputer. Tapi setelah mahir, disuruh nyari kerja kantoran gak mau. Cape-cape Bapak nyekolahin, biayain kursusnya, ujung-ujungnya malah jadi tukang sablon. Bapak kecewa sama dia," kata Bapak. "Coba lihat Husni, pekerjaannya bagus dan menjanjikan."

 

 

Aku diam, bingung mau jawab apa.

 

 

"Lagipula kamu gak usah bantu Dasep cari uang!" timpal Ibu Mertua. "Biar kalian gak usah ngontrak, tinggal di sini saja sama Ibu dan Bapak. Dasep itu anak lelaki satu-satunya. Kalau dia jauh dari kami, siapa nanti yang akan merawat kami di masa tua? Udahlah, Mur. Jangan cari duit banyak-banyak! Untuk apa? Mau bikin rumah? Ibu gak rela Dasep tinggal di rumah hasil kerja kerasmu, nanti kamu semakin merasa menguasai dia." 

 

 

Kata-kata Ibu Mertua itu begitu menyakiti hatiku.

 

 

"Ibu kalau ngomong suka gak dikontrol!" tegur Bapak pada Ibu. Lalu Bapak segera menyerahkan pesananku. "Ini Mur, kamu pulang saja cepat, sebelum kupingmu panas," lanjut Bapak Mertua padaku.

 

 

Aku pun langsung pulang.

 

 

"Murni, sekalian antarkan jagung dan ubi rebus ini ke rumah Mila! Kasihan dia sedang ngidam," panggil Ibu Mertua ketika aku sudah cukup jauh dari rumah.

 

 

*

 

 

Rumah Mila tampak sepi ketika kuminta Mang Ojak—ojek yang mengantarku—berhenti di depan rumahnya. Aku mengetuk pintu berkali-kali, namun tidak ada sahutan.

 

 

"Assalamualaikum, Mila ... ini Kakak antarkan jagung dan ubi rebus dari Ibu!" kataku setengah berteriak.

 

 

Terdengar suara orang muntah dari dalam. Lalu tak lama kemudian Mila membuka pintu sambil memegangi perutnya.

 

 

"Kamu hamil, Mil? Selamat ya, Kakak seneng deh dengernya," kataku. "Ini titipan dari Ibu."

 

 

Mila mengambil keresek dari tanganku dengan sangat kasar. Wajahnya menunjukkan ekspresi kebencian padaku. Hati ini jadi merasa tak enak saat ucapan selamatku direspon begitu oleh Mila.

 

 

"Dasar munafik!" katanya. "Sukanya ngadu terus. Gara-gara Kak Dasep ngadu ke Bapak tentang aku dan suamiku, semalam Bapak datang ke rumah sambil marah. Untung aja aku bilang kalau aku lagi hamil, jadinya Bapak gak jadi marah-marah! Dia cuma datang, melotot, lalu pergi lagi!" lanjut Mila dengan membentak.

 

 

Ternyata benar dugaanku, akan seperti ini jadinya setelah Mas Dasep mengadu.

 

 

"Mil—"

 

 

"Diam, Kak!" potong Mila sambil menunjuk batang hidungku. "Asal Kakak tahu, ya, semua yang kulakukan pada orangtuaku atas nama Kang Husni, itu semata-mata demi kelanggengan rumahtanggaku dengannya! Supaya Bapak dan Ibu dapat menerima Kang Husni, sehingga suamiku itu akan betah tinggal di kampung ini. Jangan merusak kebahagiaanku, Kak. Jangan ikut campur urusan rumahtanggaku! Aku lebih tahu apa yang terbaik untuk rumahtanggaku dibanding kalian!" lanjut Mila dengan begitu memburu.

 

 

Aku maju selangkah, hendak menjelaskan bahwa maksud Mas Dasep bicara ke Bapak tidak seperti itu. Namun lagi-lagi Mila keburu emosi.

 

 

"Dan masalah uang itu, aku pasti bayar! Gaji suamiku sangat besar, aku pasti sanggup membayar utang puluhan juta sekalipun! Kakak jangan sombong, mentang-mentang sudah memberi utangan padaku! Ingat, Kak ... warung Kakak itu tidak akan berkah kalau Kakak terus-terusan mengungkit masalah uang yang sudah Kakak pinjamkan. Karena yang namanya menolong itu tidak boleh selalu diungkit! Lihat saja nanti!" 

 

 

Mila menangis sambil mengeluarkan sumpah serapah. Aku sangat kaget sampai-sampai tak bisa berkata apa-apa untuk membalasnya.

 

 

Sedetik kemudian Mila membanting pintu. Aku yang berdiri beberapa senti dari ambang pintu, tentu tersentak dan mundur beberapa langkah.

 

 

"Sana pulang, Kak! Amit-amit jabang bayi lihat muka Kakak!" teriak Mila dari dalam rumah.

 

 

Aku dapat mengerti kemarahannya. Mila pasti sangat kesepian karena LDR dengan suaminya, sehingga ketika ada masalah dia stress karena harus menghadapinya sendirian.

 

 

Mang Ojak yang melihat kejadian ini tampak menunduk, dia pasti merasa tak enak karena telah menyaksikannya.

 

 

Di perjalanan pulang, aku melihat dua mobil sales parkir di depan rumah Pak RT. Tampak garasi rumah itu kini hendak dijadikan warung oleh pemiliknya. Beberapa etalase dan rak sudah terpajang, hanya barang-barangnya saja yang masih kosong.

 

 

"Adiknya Bu RT pindah dari kota ke Kampung kita, Mur. Dia mau buka warung, dan warungnya nanti pasti bakal jadi warung terbesar dan terlengkap di kampung kita," kata Mang Ojak tiba-tiba. "Siap-siap kamu punya saingan."

 

 

Motor berbelok dan berhenti di depan rumahku. Aku pun turun, "rezeki gak akan ke mana, Mang."

 

 

"Tenang aja, Mur. Aku dan istriku akan setia belanja di warungmu," jawab Mang Ojak.

 

 

*

 

 

Sekitar jam satu malam aku dan Mas Dasep terbangun karena ada yang menggedor jendela kamar.

 

 

Begitu membuka mata, kami langsung mencium bau hangus dan udara juga terasa panas. Lalu, dari luar kamar terdengar orang berteriak.

 

 

"Mur! Bangun! Mur, Bangun! Ada yang mau bakar rumahmu!" katanya begitu panik.

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Senja Rhizma
gilaa...minta koinnya banyak banget. Auto kabur kalo gini.
goodnovel comment avatar
subhandepok karet
manarik, lanjutkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status