Share

Bab 7: Janji Bertemu

Adam terlihat pilu saat menempati salah satu meja di sudut ruangan sendirian. Peluhnya membanjiri pelipis, sesekali dia seka dengan tisu yang disediakan restoran. Meski begitu, kenyataan jika hatinya gundah gulana tetap saja mengundang bulir keringat yang baru.

Saat ini, Adam tidak bisa berhenti memikirkan Azizahnya. Gadis menawan yang akan datang sebentar lagi dengan sepupunya itu, ingin berbicara tentang sesuatu yang membuat perasaan Adam kian tidak karuan.

Terpaksa, Adam menghela dalam napasnya kini. Sesaknya mulai terasa saat siluet dari tubuh ramping berbalut gamis biru gelap dan pashmina coklat terlihat. Di sebelahnya, ada gadis muda dengan pakaian yang lebih trendi. Kulot gelap dipadukannya dengan atasan oversize serta pashmina yang terlilit di leher.

Adam segera memindahkan pandangannya, merasa berdosa begitu kedua gadis itu mendekat padanya. Merekalah yang ditunggu Adam, hingga dia duduk sendirian dengan pelipis banjir dan punggung yang basah.

“Abang, sendirian?” Azizah berucap kala duduk di depan Adam.

Dia melepas tas mungilnya yang berwarna senada dengan pashmina, lalu meletakkannya di meja. Di belakang Azizah, gadis yang terlihat lebih muda darinya menyusul. Geraknya sangat tidak beraturan dan cenderung asal-asalan.

Rusuh serta riuh. Dia menempati kursi dengan menghentakkan tulang ekor hingga terdengar bunyi berderak kayu. Setelahnya melepas tas selempang yang serupa dengan milik pria lalu meniru Azizah, “Pak Adam sendirian?”

Lekas Adam menaikkan sorot matanya. Suara nan familier itu kini menusuk gendang telinga Adam. “Na-ya?” Hampir Adam berjengit. Paras yang selalu menghantuinya di sekolah juga masuk ke dalam kesehariannya kini.

“Dunia ini selebar kuaci,” balas Naya dengan bibir yang mengerucut.

Bara api cemburu mulai membakar dada gadis itu.

Sesaat lalu, dia masih berharap jika pria yang ingin ditemui Azizah secara sembunyi-sembunyi dan bernama Adam itu bukanlah pria yang sama dengan yang dipikirannya. Tetapi, kenyataan yang disuguhkan di depan Naya saat ini tentu menjadi penyangkal keinginan Naya. Adam telah duduk sedari tadi, gugup berbaur gelisah menanti gadis pujaan hati.Naya bisa mengenal Adam meski baru langkah pertama memasuki restoran yang dicintai Azizah.  

“Bang Adam kenal, ya?” Azizah bertanya dengan lembut.

Rona pipi merahnya ditemukan oleh Adam, sebelum kemudian dia kembali berpaling. Hati Adam bagaikan gedebuk gendang, terlalu kuat hingga menggetarkan rongga dadanya yang kokoh.

“Iya, Kak Zizah. Pak Adam gurunya Naya di sekolah.” Naya lebih dulu memotong, dia sengaja mendelikkan mata pada Adam, demi menjelaskan apa yang sebenarnya tergambar di kepala gadis itu saat ini.

Adam tersenyum lebih kecut mendapati sikap Naya. Kepalanya tidak bisa mendustai jika dia pun mengerti akan apa yang diinginkan oleh Naya. Tetapi bagi Adam, tidak ada gadis lain lagi selain Azizahnya. Sebab itulah, semustahil apapun, Adam akan bertahan agar bisa bersama gadisnya.

“Mau minum apa, Naya? Biar Bapak belikan,” tawar Adam mencoba bersikap ramah pada Naya.

Salah langkah, nama baiknya di depan Azizah bisa hancur berantakan, tenggelam bak kapal Titanic dan karam di tengah lautan nan dingin. “Sekalian makannya juga, Nay. Kamu suka kentang goreng, kan? Atau siumay seperti di sekolah?” sambung Adam yang disambut Naya dengan cebikan keras. “Tsk! Basi, Pak. Kalau mau ngebujuk aku buat tutup mulut soal siswa dan guru muda yang naksir Bapak di sekolah, aku enggak akan tergoda!”

Wajah Adam seketika memucat. Keinginannya untuk membungkan bibir Naya nyatanya berbalas dengan terbongkarnya segala rahasia.

Adam sedari lama tidak ingin Azizah salah sangka dengannya. Dia tidak pernah mengumbar rasa pada siapapun, kecuali pada Azizah. Itu pun, dengan cara yang baik demi menjaga hubungan mereka agar tetap bersih.

Kini, hanya dengan satu kalimat sentilan, Adam kehilangan muka di depan Azizah. “Na-ya ....”

“Apa, Bapak? Mau pesenin minum dan makan, kan? Aku mau jus jeruk dan bakso beranak, tapi kalau bisa yang lagi melahirkan!” celetuk Naya.

Adam terperangah, dia mencoba melirik Azizah demi menemukan jawaban atas kegelisahannya kini. Dan benar saja, Azizah berubah diam. Ekspresinya kusut tidak tertahankan.

“Bangun, Pak! Aku laper!”

Adam terpaksa bergeser, hendak meninggalkan kursi usai mendengar tuntutan dari Naya walau Azizahnya mulai gundah. Namun, Azizah bergerak lebih dulu. Jemari lentiknya yang terawat baik mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas. Diulurkannya benda itu ke arah Adam, yang membuat wajah Adam melongo seketika.

“Ini, Teuku Idris, Bang.” Suara sedih Azizah membelah dada Adam yang sedari tadi gelisah. Pemuda itu berhenti bergerak, lantas kembali duduk di kursi meski sakit mulai merambati hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status