Share

4. Kiriman Untuk Dinara

"Lain kali izin H-1 sama gue!" 

Dinara menerima kunci sembari sebelah tangannya menoyor pelan adik sepupunya. Keenan meringis, dia memasang tampang kesal karena Dinara masih saja suka menoyornya sembarangan.

"Ya namanya juga mendadak, kak. Gue juga gaktau kalo si semok mogok begitu," ujarnya membela diri.

Dinara mengernyit, "si semok?" 

Keenan memutar bola matanya malas, "mobil gue," balasnya. 

Dinara hampir menganga mendengar jawaban acak adik sepupunya itu. Lelaki dua puluh tahun yang merupakan putra dari adik ayahnya. Rumah mereka kebetulan berada di kompleks yang sama sehingga kalau ada apa- apa jadi mudah saling bantu. Apalagi baik orang tua Dinara ataupun Keenan sama-sama pebisnis yang sering hilir mudik keluar kota meninggalkan anak- anak di rumah.

Gadis itu tidak ingin meladeni lebih jauh perbincangan tidak penting tentang nama aneh mobil sepupunya itu. Dia bersidekap sembari mengusir Keenan dari wilayah tempat kerjanya. Namun sekali lagi laki- laki itu melebarkan senyuman menyebalkan. 

"Gue balik ke kampus naik apa, kak?"

Dinara mengernyit, "lah, emang lo gak ngajak temen kesini? Atau naik grab kan bisa?" 

Tangan Keenan menadah ringan seirama dengan senyum sok menggemaskan yang dia buat, "bagi duit buat ongkos dong kakakku sayang," ujarnya.

Dinara mendecih jijik, memang sepupunya satu ini paling bisa membuatnya kesal. Padahal Dinara yakin om dan tantenya itu pasti memberi uang jajan yang cukup untuk putra semata wayangnya itu. Apalagi Keenan dari kecil memang paling jago mengeluarkan rayuan maut untuk minta uang dari orang tua. 

Dasar pelit! Giliran begini tetap saja dia minta lagi pada Dinara. Namun karena Dinara tak mau berlama-lama lagi meladeni, dia akhirnya menyerahkan selembar uang berwarna merah.

Keenan membalas dengan senyuman culas.

"Gitu dong, kan cantik!" ujarnya mencolek dagu Dinara lalu langsung berlari secepat kilat menjauh dari sang kakak yang hendak meledak. 

Dinara syukurnya tak mau berlarut- larut pada si bocah tengik, dia langsung berbalik badan dan masuk kembali kedalam kantor untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.

Begitu sampai ruangan, dia mendapati seluruh meja telah kosong. Baru lah Dinara menyadari bahwa ini sudah jam makan siang. Para Karyawan pasti sudah turun ke kafetaria.  

Omong-omong tentang makan siang, perusahaan Dinara menyediakan makan siang untuk seluruh pekerja. Namun karyawan juga boleh makan siang keluar kantor selama waktu memadai. Dinara hendak menyusul ke kafetaria, namun saat ia hendak keluar ruangan,  seorang office boy mendekat kearahnya sembari menyerahkan satu buah paperbag. 

"Mbak, ini ada titipan g*jek," tuturnya sopan.  

Dinara mengernyit heran, seingatnya dia belum memesan apapun. 

"Gak salah orang, pak? Soalnya saya gak merasa pesan apapun," ujarnya keheranan.

"Betul itu buat mbak Dinara. Ada nama penerimanya juga," si bapak menunjuk detail note yang berada di depan kemasan. Lelaki itu tersenyum ramah sembari pamit setelah Dinara dengan pasrah berucap terimakasih. 

Dinara mengintip kedalamnya. Ada satu paket bento dari restoran cepat saji langganannya. Ini merupakan paket yang paling sering dia beli kalau memang mendesak. Tapi siapa yang mengiriminya?

Rasa penasarannya masih menggebu- gebu saat satu buah panggilan masuk dari nomor asing dia terima. 

"Udah terima paketnya, kan?" ujarnya.

Suaranya cukup familiar, "Sandi?" terkanya. 

Terdengar kekehan diseberang, "iya ini gue, Nar. Jangan lupa save nomor gue, ya! Ah, gue dapet nomor lo dari Tante Naira," ujar Sandi. 

Dinara mengernyit, kapan mama-nya membagikan nomor telepon Dinara kepada Sandi? 

"Gue pesen yang itu karena gue pikir lo suka sama sesuatu yang basic. Ya semoga aja tebakan gue gak salah kali ini."

Memang tidak salah. Namun Dinara harus percaya berapa kali lagi pada kebetulan? Bagaimana bisa Sandi memberinya set  makanan yang memang merupakan favorit item-nya? Dinara jadi takut, Sandi tidak sedang memata-matai dia, kan?

"Ngapain lo kirim makanan?" tanyanya setelah lama terdiam. 

Sandi terkekeh diseberang telepon, "jangan galak- galak, Nar! Anggap aja itu sapaan dari gue, kita udah lama banget gak ketemu, kan?" 

Dinara masih setengah jengkel, "yaa maksudnya buat apa? Kenapa mesti repot?" tanyanya lagi. 

"Gak usah kaku gitu! Rejeki gak boleh ditolak," Sandi  masih lanjut terkekeh.. 

Dinara tak terbiasa menerima pemberian orang tanpa alasan jelas. Dia juga punya wewenang untuk menolak.

"Kirim alamat, gue balikin sekarang!" Dinara secara ketus menambahi.

Suara kekehaan Sandi terdengar lagi, "santai aja, Nar! Makanannya gak sempet gue sentuh sama sekali, kok! Jadi gak mungkin ada racunnya. Lagipula ini cuma traktiran biasa, anggap aja gue seneng karena akhirnya ketemu lo lagi, apalagi kita sekarang tetangga, kan?

Dinara menghela nafasnya kasar, dan itu masih bisa didengar lelaki yang kini senyam-senyum berbincang dengannya meski hanya via telepon.

"Dinara.." suara lelaki itu jadi lebih dalam yang membuat Dinara terdiam beberapa saat. 

"Gini, pokoknya gausah dibalikin, ya.  Kalo gak suka ataupun mungkin gak percaya, lo bisa buang aja makanannya," jelasnya dengan nada yang lebih lembut.

Mana tega Dinara buang- buang makanan? Meskipun dia juga berasal dari golongan menengah keatas, orang tuanya akan menegurnya kalau sampai membuang- buang makanan.

"Nanti pulang jam berapa? Gue jemput," potong Sandi mengganti topik akhirnya. 

Dinara tersadar dan membalas sedikit lebih lembut daripada sebelumnya, "mobil udah dibalikin, jadi gue bisa balik sendiri," balasnya. 

"Oh gitu, yaudah nanti hati- hati aja di jalan," balas Sandi.

Dinara hanya membalas dengan deheman pelan lalu sedetik kemudian mematikan panggilan tersebut. Gadis itu menghela nafas pelan, mengapa dia harus terlibat dengan Sandi lagi? Meskipun ini mungkin bukan apa- apa, namun Dinara yakin semuanya tidak akan semudah itu. Apalagi kini keduanya tinggal di daerah yang sama. 

Bagaimana Sandi bisa bersikap biasa saja setelah apa yang terjadi pada mereka sebelumnya? Apakah lelaki itu tengah merencanakan sesuatu untuk kembali mengusik hidup Dinara? 

Apapun itu, Dinara harap kali ini dia bisa menghadapinya dengan cara yang jauh lebih bijak. Dinara Jeandra sekarang bukan lagi siswa SMA yang akan terpengaruh oleh efek patah hati. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Baeblue xx00
ehem modus banget, sandi !
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status