Share

Close to You

 Hari semakin gelap, cafe bernama ''Treasure' ini pun menjadi semakin ramai. Kebanyakan tamu yang datang berusia sekitar remaja akhir hingga usia pertengahan dua puluhan. Sementara menunggu pesanan datang, mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol, berfoto, dan bermain permainan papan yang tersedia di cafe ini.

 "Jadi, Bapak mau bicara apa?" tanyaku tak sabar.

 Pria yang sudah dua tahun menjadi atasanku itu tersenyum, lalu menjawab, "Saya tidak kira kalau kamu ternyata setidak peka itu."

 Jawabannya itu justru membuatku semakin bingung. Memangnya apanya dari diriku yang tidak peka?

 "Maksud Pak Alfa?" tanyaku lagi.

 "Hah... gimana ya? Saya paling susah kalau ngomongin hal begini."

 Selama kalimatnya terjeda, pesanan kami pun datang. Dua cangkir teh earl grey panas, dan tiga makanan yang masing-masing adalah dua milik Pak Alfa dan satu punyaku.

 "Selamat menikmati. Kalau mau pesen lagi, langsung bilang aja, yak." kata Dewo yang kemudian langsung pergi ke counter lagi.

 Aroma dari teh earl grey begitu menggoda dahaga yang baru ku sadari. Aku pun pelan-pelan menyeruput teh dari cangkir bermotif bunga matahari itu pelan-pelan. Tidak ada setengah cangkir aku seruput, teh itu ku taruh kembali di atas tatakannya.

 "Saya ajak kamu ke sini jujur cuma karena ingin lebih dekat dengan kamu aja." katanya melanjutkan.

 Aku pikir ada apa. Ternyata cuma seperti itu.

 "Kalau cuma ingin dekat dengan bawahan, ya tinggal ikut makan siang bareng kami saja, Pak. Seperti tadi dan kemarin."

 Mendengar kata-kataku, wajah Pak Alfa menjadi muram. Sepertinya aku mengatakan hal yang salah. Tetapi apa? Bukankah solusi dariku itu sudah benar?

 "Maksud saya bukan seperti itu. Apa kalimat saya kurang jelas tadi?"

 Aku mengerutkan dahiku. Sebetulnya bukannya aku tidak menyimak dengan baik kalimat Pak Alfa sebelumnya. Aku hanya tidak yakin saja. Masa iya, Pak Alfa ingin dekat 'denganku', bukan dekat dengan 'bawahannya'.

 Dalam otakku aku selalu menganggap bahwa jelas sekali bahwa Pak Alfa menyukai Wina. Jadi, kalau maksud Pak Alfa adalah ingin dekat denganku sebagai lawan jenis, kurasa itu mustahil. Sepertinya maksud Pak Alfa adalah dia ingin lebih dekat denganku agar menjadi temannya.

 "Oh... Oke. Saya paham, kok. Saya juga dari dulu ingin lebih kenal sama Bapak." ucapku.

 "Baguslah kalau gitu." kata Pak Alfa yang akhirnya menyantap nagasarinya.

 Tuh, kan benar. Memang maksud Pak Alfa itu adalah dia ingin lebih dekat denganku sebagai teman. Karena aku karyawan yang baik dan rajin. Pasti dia juga melihat betapa baiknya diriku sebagai teman. Hehehe...

 Sementara aku terlena dengan rasa percaya diriku karena Pak Alfa ingin menjadi temanku, aku juga mulai memakan pesananku. Selain earl grey, aku hanya memesan klepon isi selai stroberi. Baru dengar, bukan? Aku juga baru tahu ada cafe yang menjual makanan seunik ini. Apa lagi nagasari dengan saus greentea. Entah siapa orang jenius yang mengkreasikannya.

 Tidak hanya jenis menunya saja yang unik, rasanya pun cukup enak menurutku. Baru kali ini aku mencoba perpaduan kelapa dan stroberi. Ternyata cukup masuk rasanya, apalagi kleponnya juga kenyal, tetapi mudah dikunyah. 

 Karena keunikannya itu, fokusku jadi berpindah pada makanan yang ku makan. Aku tidak menyadari tangan Pak Alfa yang menjulur ke pipiku. Karena itu aku tertegun saat mendadak dia menyingkirkan rambut yang hampir masuk ke dalam mulutku.

 "Rambutmu hampir aja kekunyah." ucapnya.

 Ku telan air liurku sendiri karena canggung dengan apa yang dia lakukan.

 "T... tinggal bilang aja, Pak. Nanti e... saya benerin sendiri rambut saya." kataku terbata.

 Segera ku singkirkan rambut-rambutku yang menjuntai di pipi. Ternyata cukup banyak, dan ini membuatku sadar betapa berantakannya aku saat ini. Sungguh bikin malu saja.

 "Pak, saya ke belakang dulu, ya." aku meminta izin sambil berdiri untuk bersiap.

 "Kamu tahu di mana toiletnya?"

 Aku menjawab pertanyaan Pak Alfa tadi dengan gelengan kepala. Karena, tadinya aku berniat untuk bertanya pada Dewo.

 "Dari belokan ini ke kiri, ada lorong kecil, terus mentok hadap kanan. Atau kamu masih butuh bantuan saya buat antar kamu ke sana?"

 Segera ku jawab, "Makasih, Pak. Tapi saya sudah paham, kok." Kemudian, aku pergi menuju tempat tujuanku.

 Memang yang namanya cowok ganteng tuh berbahaya bagi kemaslahatan hati anak gadis. Bisa-bisanya dia menggodaku sambil tersenyum manis begitu. Untung aku masih bisa bernapas.

 Sambil bercermin di toilet, aku membuka ikatan rambutku dan membiarkannya tergerai. Setelah itu, kurapikan dengan tangan dan kuikat kembali. Inilah repotnya memiliki rambut dengan panjang medium cenderung pendek. Kalau diikat mau sekencang apapun, lama-lama lepas juga. Apalagi rambutku juga tipis, jadi sudah pasti tidak akan bisa menghindar dari serangan listrik statis yang akan mengoyak rambut meski tanpa disentuh.

 Selesai membereskan rambut, aku pun kembali ke tempat kami duduk tadi.

 "Maaf lama, Pak." kataku saat sudah dekat dengan kursi.

 "Santai aja." sahut Pak Alfa.

 Lalu, aku duduk di tempat semula. Dan saat aku akan kembali menyantap klepon tadi, tiba-tiba Pak Alfa kembali bersuara.

 "Oh, iya. Kamu di kota ini tinggal dengan siapa?"

 Ku taruh lagi klepon yang baru sepertiga jalan menuju mulutku ke atas piring, lalu menjawab, "Sendirian, Pak. Keluarga saya tinggal di kota lain."

 Pak Alfa manggut-manggut paham.

 "Raga sering main ke rumah kamu?"

 Kok Pak Alfa jadi kepo sekali, ya? 

 

 "Sering. Soalnya rumah kami searah, jadi dia sering boncengin saya." aku menjawab jujur.

 

 "Oh." tanggap Pak Alfa singkat.

 

 Semoga saja ini hanya perasaanku. Tanggapan singkat Pak Alfa tadi terdengar cukup dingin. Apalagi dia jelas-jelas memperlihatkan rasa tidak sukanya.

 "Pak Alfa kalau mau main di kontrakan saya juga boleh. Mbak Bella juga sering main di tempat saya." lanjutku untuk menghilangkan kecanggungan.

 "Oh, ya?"

 Hawa suram itu akhirnya menghilang. Kira-kira tadi itu kenapa, ya?

 "Kami lumayan dekat soalnya. Yah... namanya juga rekan kerja selama 6 tahun. Udah gitu, Raga juga teman saya sejak SMA. Walaupun kami terpisah saat kuliah, dari dulu kami gak pernah lost contact. Dia juga satu-satunya cowok yang nyambung obrolannya sama saya."

 Usai sedikit bercerita, kami berdua terdiam. Padahal kupikir tadi kami sudah tidak canggung. Tetapi, nampaknya sekarang bukan hanya canggung yang ada di antara kami. Karena jelas sekali terlihat wajah Pak Alfa yang menunjukkan kekesalannya.

 Bukankah seharusnya dia adalah atasan yang lembut, pengertian, dan suka menebar senyum kepada setiap orang yang dia sapa? Dan tadi juga dia berkata bahwa dia ingin dekat denganku. Jadi, kenapa sekarang dia terlihat suram sekali?

 "Ehm... Cil, bisa gak kita obrolin teman kamu yang selain Raga?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status