Share

10). Bengkel

Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai.

"Nyonya sudah bangun?"

"Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun.

"Panggil saja Naya, atau Non."

Wanita paruh baya itu mengangguk.

"Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam."

Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini.

"Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."

Naya mengernyit.

"Bengkel, Ngapain?"

"Kerja Non."

Kedua bola mata Naya membulat. Terkejut. Bodoh. Naya bahkan tidak tahu apa pekerjaan lelaki yang kini sudah menjadi suaminya itu. Awalnya, Naya pikir. Deaz bekerja di perusahaan ayahnya. Karena setahu Naya, keluarga Adam juga memiliki perusahaan yang tak kalah besarnya dengan perusahaan milik kakek Naya.

Tapi, bengkel? Sungguh diluar dugaan. Naya jadi penasaran, seperti apa tempat bekerja suaminya itu. Jika Naya boleh menebak, sepertinya Deaz adalah bos sekaligus pemilik bengkel. Tidak papa, Naya yakin Deaz tetap bisa mencukupi kebutuhan mereka meski hanya bekerja sebagai bos sebuah bengkel.

Naya menatap kearah Mbok Sam yang kembali menyapu lantai.

"Kalau boleh tahu, dimana tempat kerja Deaz ya, Mbok?"

"Kalau Non mau diantar kesana, nanti bisa bareng simbok. Kebetulan lokasinya gak jauh dari rumah ini, terus searah sama pasar tempat saya belanja."

Naya mengangguk.

"Tapi, Naya mau mandi dulu."

"Iya Non. Monggo."

***

"Permisi."

Jay yang tengah duduk di kursi langsung bangkit berdiri, melihat Naya dari ujung rambut hingga ujung kepala. Lelaki yang tengah mengulum satu batang permen kaki itu tentu mengenal siapa gadis cantik yang berdiri dihadapannya kini, karena dia datang ketika Deaz dan Naya menikah.

Hanya saja, Jay merasa heran sekaligus kagum karena gadis secantik Naya mau menginjakkan kaki di bengkel seperti ini.

"Deaz-nya ada?"

"Ada mbak. Ada."

Jay tersenyum, tampak menendang-nendang kaki dibawahnya. Sementara dari bawah mobil, Deaz mengerang kesal karena tendangan di kakinya itu.

"Bini lo nih. Buruan keluar."

"Sebentar."

Naya terperangah. Dia tidak mengira bahwa lelaki yang tengah terbaring masuk kedalam kolong mobil tadi adalah Deaz. Suaminya itu sudah menampakan diri, tersenyum begitu pandangan kedua matanya bertemu dengan Naya.

"Kok kesini?"

Naya menelan ludah tanpa sadar.

Penampilan Deaz kenapa tampak menggoda iman. Mengenakan kaos putih tanpa lengan yang memperlihatkan otot lengan atasnya yang kekar, serta mencetak jelas bentuk tubuhnya, Deaz dua kali lipat jauh lebih tampan meskipun tubuhnya kotor karena oli. Celana bengkel yang dikenakan lelaki itu, juga mencetak jelas bokong Deaz yang kebetulan memang cukup montok untuk ukuran lelaki, membuat Naya buru-buru mengusap sudut bibirnya, takut ada air liur yang menetes disana.

Deaz langsung melempar kain lap kearah Jay yang dengan sigap langsung diterima lelaki bertindik sebelah itu, setelah mencuci tangannya hingga bersih.

"Kesini sama siapa, Nay?"

Deaz segera menggiring Naya untuk masuk kedalam, mengabaikan siulan beberapa rekan kerjanya yang terus menggoda. Setelah menutup pintu, Deaz duduk di atas meja sementara Naya duduk di kursi, saling berhadapan.

"Aku dianterin Mbok Sam, sekalian pergi kepasar karena katanya searah."

Deaz mengangguk. Satu tangannya terulur membenarkan rambut Naya yang sedikit berantakan. Mungkin terkena angin. Diperlakukan seperti itu, mendadak Naya jadi salah tingkah.

"Nay, kamu sakit? Pipi kamu merah gini?"

Naya reflek langsung menyentuh kedua pipinya. "Masa sih?"

"Iya, nih." Deaz menyentuh pipi Naya dengan lembut. Sementara Naya, merasakan wajahnya kian memanas. Menyadari bahwa Naya ternyata sedang gugup, Deaz tersenyum geli setelahnya.

"Kayaknya, aku kepanasan karena sinar matahari." Naya kemudian mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah.

Kemudian Deaz mengangguk, sambil mengulum senyum.

"Bukan karena pesonaku kan ya?" godanya, membuat wajah Naya semakin memerah. Namun jangan panggil dia Abinaya jika tidak pandai berkilah.

"Nggak lah. Pede banget kamu."

Naya lalu memalingkan wajah. Menghindari senyum menyebalkan Deaz yang terus menggodanya.

"Bukannya pede. Tapi, emang kenyataannya gitu kan?"

"Nggak ya."

Deaz menyerah. Kemudian beranjak berdiri untuk mengganti kaosnya karena kurang nyaman dan bau keringat. Melihat kepergian suaminya itu, Naya malah jadi panik sendiri.

"Deaz, mau kemana?"

"Ganti baju, sayang."

"Jangan!"

Deaz berhenti, menoleh kearah Naya dengan kening berkerut bingung.

"Kok jangan?"

'Soalnya, kamu ganteng banget dengan penampilan begitu.' suara batin Naya, menjelaskan.

Deaz tidak jadi pergi. Lelaki itu kembali berjalan kearah Naya berada. Mengangkat dagu gadis itu dengan telunjuk kanannya.

"Kenapa sayang?"

"Itu," Naya menggigit bibir bawahnya gelisah.

Naya menarik ujung kaos Deaz membuat tubuh lelaki itu condong kearahnya. Naya segera mendekatkan bibirnya kesamping telinga suaminya itu.

"Kamu ganteng."

Deaz tersenyum.

"Pasti ada maunya?"

Naya mengangguk. Mengusap perutnya yang masih datar. Menyadari gelagat itu, mau tak mau Deaz segera menarik tubuh Naya berdiri dan menggendongnya.

"Keberatan, kalau kita main di sofa?"

Naya menggeleng, tersenyum malu-malu.

"Shit! Ingatkan aku untuk menyediakan ranjang ditempat ini, sayang."

***

"Ahh! Sebentar sayang."

Naya berhenti, merintih. Memeluk tubuh Deaz yang licin oleh keringat. Sementara Deaz segera meraba-raba meja dengan satu tangannya, meraih benda pipih panjang miliknya dan mendial sembarang nama rekan kerjanya di bengkel.

"Jay, jam istirahat dipercepat. Ajak yang lain pergi ke warung atau kemanapun sekarang."

Tidak peduli dengan balasan Jay, Deaz segera menutup sambungan dan meletakkan kembali ponselnya keatas meja. Diusapnya punggung telanjang Naya yang saat ini tengah duduk diatas pangkuannya, dengan kedua tubuh mereka yang manyatu dibawah sana.

"Kita lanjut?" Bisikan Deaz serak, menggigit daun telinga Naya hingga gadis itu bergidik. Mengangkat wajahnya yang semula bersembunyi di ceruk leher Deaz. Naya segera meraih rambut suaminya itu, kembali bergerak ketika Deaz mengecupi lehernya, menjilat dan meninggalkan banyak tanda di antara belahan payudara.

Deaz mengerang karena mulai pening, Naya merintih sementara gerakan semakin tidak beraturan. Suara desahan mereka saling bersahutan dan suara persenggamaan yang tidak ada jeda membuat suasana semakin panas dan erotis.

Itulah alasannya kenapa Deaz harus mengusir Jay dan pekerja lainnya yang mungkin sedang menguping diluar pintu. Deaz tidak ingin suara percintaan mereka menjadi fantasi liar para lelaki diluar sana, yang tentu saja bisa membuat Naya malu nantinya.

Deaz menyukai sensasi ini. Naya yang merintih lirih ketika mencapai pelepasan. Sementara dirinya masih bergerak untuk mendapatkan klimaksnya sendiri.

"Capek?"

Naya mengangguk.

"Butuh mandi nggak?"

"Mandi doang. Gak ada ronde lain kan?" tanya Naya memastikan.

"Itu, kita pikirkan nanti di dalam."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status