"Mama Rosa?"
Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada.
Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brangkar rumah sakit. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam satu tangan Deaz dengan tangan kanan, lalu menyentuh dahi suaminya itu yang berkeringat dengan punggung tangan satunya lagi.
Deaz tampak menggumam pelan dalam tidurnya, lantas bergerak memeluk tangan Naya dalam tidur lelapnya itu. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia tak jauh dari brangkar mengingat Naya sedang mengandung.
"Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan banyak cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khaw
Hoeek! Hoeek! Naya terlonjak bangun dari atas ranjangnya. Mengusap pelan kedua mata ketika mendengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi, Naya memungut cepat celana dan baju untuk dia kenakan dan langsung bergegas menyusul suara yang Naya tebak adalah suaminya. "Deaz?" Dari pantulan cermin, Naya bisa melihat wajah kusut bangun tidur Deaz yang tampak begitu kacau dengan rambut berantakan. Naya mendekat ketika tatapan mereka bertemu melalui pantulan cermin. "Kenapa masuk kesini?" "Kamu muntah lagi?" "Keluar, Nay. Nanti kamu jijik."
"Yakin, aku tinggal sendirian gak papa. Teman-teman kamu belum datang loh." Naya mengangguk meyakinkan suaminya itu. Saat ini, Naya sudah tiba di mall kawasan jabodetabek. Deaz yang mengantarkan Naya kesini, sementara lelaki itu akan berangkat ke bengkel. "Yakin kok. Sebentar lagi, palingan Celine sama Agatha udah nyampe. Kamu berangkat kerja aja sekarang." Deaz mengangguk. "Sini, aku mau cium kamu dulu." Dari jendela depan mobil, Deaz segera melabuhkan satu ciuman di kening untuk Naya sebelum melajukan mobilnya pergi meninggalkan gadis itu sendiri. Melihat kepergian mobil Deaz, yang telah berbaur dengan mobil-mobil yang lain di jalan raya itu, Naya segera merogoh ponselnya dari dalam tas. Mendial nomor salah satu
Tok Tok Tok. "Woi ... Keluar lo! Lagi berbuat mesum ya?" "Udah dobrak aja pintunya bang." "Jangan! Tolong jangan di dobrak!" Naya berseru panik. Sementara para lelaki diluar terdengar makin menggerutu kesal. Mereka berpikir Naya sedang berbuat mesum di dalam bersama seorang lelaki. Naya ingin keluar, tapi terlalu malu jika harus dihadapkan pada sekumpulan lelaki di balik pintu bilik toilet tersebut. "Yang lagi di dalam. Kalau gak keluar, kita ikut dong!" "Goblok! Panggil security lah." "Lah, mana tahu bisa threesome?" "Heh, otak lo!" Suara diluar sana terus terdengar. Sementara Naya menggigit ujung kuku jari tangannya dengan kedua kaki bergerak resah. Masih menahan pintu bilik agar tidak dibuka paksa dari luar. "Aku harus gimana nih?" gumam Naya pelan.
Naya meremas kedua tangannya sendiri, menatap tajam punggung Deaz yang sedang berdiri membelakanginya, membantu Monica yang sedang memutar entah apa menggunakan kedua tangannya, tampak sedikit kesusahan. Jika dilihat dari sudut Naya saat ini, posisi Deaz lebih mirip disebut sebagai pelukan mesra. Ditambah tawa renyah dari kedua orang itu. Entah di sengaja atau tidak, Deaz jelas-jelas tidak lagi memperhatikan keberadaan Naya sejak kedatangan perempuan bernama Monica itu. Naya rasanya ingin menangis saja sekarang. Melihat bagaimana suaminya tampak begitu akrab dengan perempuan lain, meski hanya dilabeli sebagai teman, tentu saja Naya merasa sakit hati. Apalagi, Monica jelas selalu berusaha melakukan skinship, meski tahu bahwa dirinya ada disana dan telah Deaz perkenalkan sebagai istri beberapa menit yang lalu. "Deaz! Aku laper!" Sengaja, Naya berusaha mengalihkan fokus Deaz. Suaminya itu me
Naya meringis, menatap posisi tubuh nya yang masih terbaring di atas lantai dapur. Hari sudah berganti menjadi malam, entah sudah berapa lama dia jatuh pingsan. Naya langsung menyentuh perutnya sendiri, sudah tidak lagi sakit, tapi Naya sedikit pusing, mungkin karena baru saja pingsan. Bangkit berdiri dengan hati-hati, Naya melangkah menuju kamarnya. Membuka loker hendak mencari minyak angin, namun sebuah amplop dengan logo rumah sakit tersimpan disana membuat Naya mengerutkan keningnya penasaran. Mengambil amplop putih tersebut, Naya baru saja hendak membuka isinya namun terkejut ketika seseorang sudah menarik amplop itu terlebih dahulu. "Deaz?" "Mau cari apa?" Deaz yang entah kapan sudah tiba di rumah itu, tampak berjalan kearah lemari, membuka sebuah brankas dengan kode sandi dan menyimpan amplop tersebut di sana. Melihat itu
"Loh, Nay kok sendirian aja. Ayo masuk." Naya mengangguk. Mengikuti ibu mertuanya yang langsung mengajak Naya menuju ruang keluarga. Rumah mertuanya, sama besarnya dengan rumah kakek Naya. Hanya saja perabotannya terlihat jauh lebih klasik namun tetap berkelas. Naya segera mengambil posisi duduk di kursi sofa, sementara Rosalinda membantu pelayan menyajikan berbagai macam camilan yang sudah ia siapkan untuk menantunya. Naya tersenyum lebar melihat beberapa camilan kesukaannya yang sudah tersaji di atas meja. Sepertinya, dia akan betah berada di rumah mertuanya. "Mama, yang bikin semua ini buat Naya?" "Iya. Tapi dibantu sama pelayan juga." "Katanya, kamu suka cookies dan segala macam pudding. Omong-omong, di dalam kulkas juga masih ada es krim sama coklat. Naya mau?"
Atmosfir di dalam ruangan itu mendadak jadi panas. Jeni berdiri kikuk diantara Naya dan Deaz, merasa tidak nyaman, sekertaris Deaz itu segera pamit undur diri meninggalkan ruangan. Memberikan Deaz dan juga Naya waktu pribadi. Deaz segera melangkah maju, mendekati Naya yang masih diam ditempatnya berdiri. Ribuan pikiran berkecamuk dalam otaknya, mengenai darimana Naya tahu alamat kantor tempatnya bekerja, dan siapa yang memberi tahu Naya tentang pekerjaan yang sengaja Deaz sembunyikan selama ini. Deaz hendak membuka mulutnya, namun suara Naya telah lebih dulu menyela. "Aku tadi ke bengkel, tapi kamunya gak ada." Deaz diam. Memberikan Naya kesempatan untuk melanjutkan bicara.
"Apa benar kakek yang meminta Deaz menyembunyikan pekerjaan utamanya dari Naya?" "Darimana kamu tahu?" "Jadi, benar." "Naya ...." "Ya atau tidak?" "Ya." "Kenapa?" "Kakek hanya ingin kamu berubah. Lebih menghargai uang dan mensyukuri arti hidup. Maafkan kakek, Naya." "See ...." Deaz langsung mengambil paksa ponsel itu dari tangan Naya dan melempar benda tersebut menjauh dari jangkauan mereka. "Bukan aku yang salah," lanjut lelaki itu. Deaz kemudian dengan cepat bergerak, melanjutkan sesi percintaan mereka yang sempat tertunda. Suara erangan dan desahan itu kembali saling bersahutan dan bergema di dalam kamar, setelah keduanya juga sempat melakukannya di dalam kamar mandi.