Gian sedang memberikan terapi penting pada seorang bapak untuk mencegah si bapak menderita penyumbatan darah di saluran yang ada pada jantungnya, tapi ternyata ada copet yang sedang dikejar seseorang yang mungkin saja korbannya.Haruskah Gian menghentikan terapi untuk menolong korban copet? Ternyata tidak perlu.Dengan santai, Gian cukup menjulurkan kakinya ke belakang saat dia sedang memberikan terapi di dada si bapak, dan copet yang berlari tadi tersandung dan terjungkal akibat itu sehingga dia bisa diringkus dengan cepat.Sepertinya Gian mulai menyukai misinya yang menyenangkan karena bisa membuat seseorang tersenyum bahagia usai ditolong. Apalagi, misi ini juga tidak memerlukan banyak tantangan. Mudah untuknya.Benarkah akan selalu mudah?***"Jangan kamu kira kamu yang paling hebat hanya karena kamu kuat!" Seorang lelaki menatap penuh dengki ke Gian saat mereka saling berhadapan di sebuah kebun kosong di sebuah desa. "Aku tidak merasa yang paling hebat. Aku hanya meminta kamu be
“Ya, misimu sudah selesai. Kau bisa melanjutkan hidupmu seperti dulu atau seperti apapun yang kau inginkan.” Gumpalan itu menyahut Gian. Meski menyenangkan mengetahui bahwa dia sudah menyelesaikan misi, tapi ada keengganan di hatinya. Wajah gembira Gian berganti ke muram dan bertanya, “Apakah aku boleh tetap memiliki kekuatan ini dan meneruskan misi? Aku … jujur saja aku mulai menyukai menolong orang.” Dia sedikit malu saat mengatakannya dan menggaruk belakang kepalanya. Si gumpalan terdiam sesaat, tapi kemudian ada suara lain muncul dan itu barulah suara Dewa Milhesh. Mungkin ucapan Gian segera diteruskan ke sang dewa oleh gumpalan tadi. “Kau ingin tetap melakukan misi kemanusiaan?” tanya Dewa Milhesh ingin memastikan dari Gian sendiri. “Benar, Tuan Dewa.” Gian mengangguk dan meneruskan, “Saya sudah terbiasa melakukan misi ini dan rasanya sedih jika harus menyudahinya. Kalau Tuan Dewa berkenan, bolehkah saya meneruskan misi?” “Hm, ya sudah, kau bisa lanjutkan misimu sampai kau pu
Seorang pemuda berusia 17 tahun yang masih duduk di kelas 2 SMA, berjalan dengan memegangi pipi dan perutnya. Bukan karena lapar, melainkan karena dia baru dipukuli geng kakak kelasnya dikarenakan cemburu.Dia, Manfred Argianta Bergmans, pemuda blasteran Indonesia-Jerman, bersekolah di SMA Budi Luhur, sebuah sekolah yang cukup mentereng di kotanya.Sambil berjalan, Gian, demikian dia biasa dipanggil, mengingat kekesalannya di angkot ketika semua orang memandang dia dengan pandangan menuduh.Apalagi ibu-ibu berbisik keras sembari mencibir, menuduh dia tukang berkelahi, ahli tawuran, sampah generasi, dan masih banyak fitnahan lainnya.Maka dari itu, Gian lekas meminta turun dari angkot meski belum tiba di dekat area rumahnya. Telinganya sakit mendengar celotehan ngawur mereka.Kini, sambil berjalan, Gian mengingat peristiwa tadi. Sejak pagi, kemalangan seperti terus merundungnya. Dimulai dari kawan-kawan di kelasnya yang meminjam PR kimia, lalu ada juga yang menyuruh dia untuk menyalink
Gian masih belum percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya, mendadak saja muncul aliran listrik dari ujung jari kanannya. Awalnya dia mengira dia masih di alam mimpi, tapi ternyata tidak.Karena masih diliputi kebingungan, dia mencoba mengingat-ingat apa yang tadi terjadi.Sepertinya tadi dia bermimpi aneh mengenai seorang kakek berambut dan berjenggot putih dengan jubah serba putih pula.Hei! Bukankah tadi si kakek di mimpinya mengaku sebagai kucing kecil yang dia tolong? Ya! Kakek itu berkata demikian! Bahkan Beliau menempelkan tapak tangan ke dahi Gian.Baru saja dia memikirkan mengenai si kakek aneh yang mengaku sebagai jelmaan kucing malang itu, mendadak saja Gian merasakan seluruh otot dan sendinya terasa sakit, bahkan semua tulangnya juga terasa berdenyut hebat, ngilu sampai ke sumsumnya.Kenapa sekedar tidur saja bisa berakibat segila ini? Rasanya seperti ditabrak kereta atau bus, meski dia belum pernah mengalami keduanya. Amit-amit!“Erghh … urrfhh ….” Gian berguling ke ka
Gian menimbang apakah dia perlu membeberkan penyebab ayahnya kembali ke Jerman? Tapi, ini adalah Alicia yang bertanya.“Oh! Kalau kau tak nyaman mengatakannya, tak perlu dijawab, Gian.” Alicia menyadari keterdiaman Gian.“Ayahku kembali ke negaranya karena tugas pekerjaan,” ucap Gian pada akhirnya, berbohong. Sebenarnya, sang ayah kembali ke Jerman karena menikah lagi dengan perempuan di negara asalnya dan meninggalkan anak dan istri di Indonesia.Untungnya, meski sang ayah brengsek, Beliau masih bersedia memberikan uang secara rutin ke Melinda walau tidak fantastis jumlahnya. Setidaknya, bisa untuk makan sehari-hari.“Kau punya saudara? Kakak atau adik?” Alicia bertanya lagi. “Maaf, yah! Aku jadi ingin tahu banyak mengenaimu. Selama ini kita hanya mengobrol ringan dan singkat saja, tak pernah seserius ini, he he ….”“Tak apa.” Lalu, Gian menyebutkan nama ketiga saudaranya. Di akhir ceritanya, dia menuturkan, “Mereka semua sangat berbeda denganku.”“Berbeda bagaimana?” Alicia makin te
Melihat baju Melinda ternyata robek akibat kucekannya, Gian ketakutan. Dia sudah pasti tidak akan lolos dari amukan ibunya.Panik, dia bangun dari jongkok dan mencari tempat yang sekiranya bisa digunakan untuk menyembunyikan baju itu. Ah! Sepertinya ember kecil itu tidak pernah dipakai, taruh sana saja dulu.Lega mendapatkan tempat menyembunyikan baju robek Melinda, Gian meneruskan mencuci.Namun, telinganya mendengar suara kakak keduanya, Zohan atau biasa dipanggil Hanz. Pemuda itu pasti baru pulang dari kampus.Tak berapa lama, muncul Zohan di ruang cuci, bicara ke Gian, “Heh, anak haram! Nih, aku tambah cucianmu!” Lalu dia melemparkan beberapa baju dan celana dalam ke ember cucian sehingga mengenai tangan Gian. “Yang bersih, yah! Oh! Celana dalamku sedikit kotor, cuci yang bersih, OK!” Setelah itu, dia melenggang santai, berlalu dari ruang cuci.Gian memperluas lautan kesabarannya.Usai mencuci dan menjemur di halaman sempit belakang rumah, Gian lekas masuk ke kamar untuk mandi sor
Melinda dan Gian sama-sama menoleh ke Carlen ketika lelaki itu berkata kemejanya banyak hilang dan memberikan tuduhan ke Gian. Hati Gian menjerit, ‘Kapan dia menghilangkan kemeja Carlen? Tidak pernah!’Jelas bahwa Carlen sedang memfitnah dia!“Kau! Kau ternyata sudah biasa begini ke baju kami, yah! Kau kesal karena mencuci baju kami?” Suara Melinda berpadu dengan bunyi tongkat dihantamkan ke tubuh Gian, seakan itu bukan anaknya melainkan orang jahat.Setelah sekian belas menit menghajar Gian, Melinda kelelahan dan melihat tongkat di tangannya sudah rusak! “Lihat! Kau tak hanya merusak baju, kau juga merusakkan tongkat ini!” Lalu dilemparnya tongkat rusak itu ke Gian sebelum Beliau masuk ke kamarnya sendiri.Carlen terkekeh culas dan masuk ke kamarnya juga, tontonan sudah berakhir. “Sayang sekali Hanz tidak melihat mama sedang memukuli anjing. Ha ha ha!” Lalu, dia menghilang di balik pintu.Sementara itu, Gian termangu. Dia memandangi tongkat pramuka adiknya yang sudah terburai bambuny
Tikus! Itu benar-benar seekor tikus, dengan tinggi dan bentuk begitu mirip dengan makhluk yang dinamakan tikus putih yang biasa digunakan manusia untuk melakukan percobaan ilmiah di laboratorium. “Tolong katakan padaku, kau benar-benar tikus? Kau benar-benar bicara?” Gian hanya ingin memastikan saja. Siapapun di dunia ini tidak akan percaya bahkan meski jika dipukuli, jika mendengar ada tikus yang bisa berbicara kecuali di cerita fantasi saja. Tikus putih itu berlagak jengah dengan memutar bola mata merah mungilnya ke Gian, lalu berkata, “Apakah kau kekurangan otak sehingga tak bisa mengetahui apakah ini bentuk tikus atau bukan? Ya, aku bukan tikus! Aku dinosaurus, rawrgh!” Gian bukannya tertawa malah mundur ke belakang karena kaget. Mengetahui bercandanya malah tidak memiliki efek seperti yang diharapkan, tikus putih itu mendesah pelan sambil kepalanya lunglai seakan sedang kecewa, “Hgh! Sepertinya kawanku terlalu bodoh sampai dia mewariskan kekuatannya padamu.” Mendengar kata ke