Share

Bab 3

Reni mengatur napasnya. Kali ini, lukisannya harus selesai dengan sempurna. Palet ditangannya yang masih bersih segera ia isi dengan bermacam-macam warna pastel cat air. Kali ini, ia melukis kamera dengan aksen warna pastel karena tema lukisan untuk pameran kali ini adalah relaxed of life. Reni segera menggoreskan kuasnya ke kanvas yang sudah berisi gambaran. Ia meningkatkan konsentrasinya karena lukisan kubismenya terlalu mendetail. Terlalu banyak kotakan yang ia buat sehingga ia harus memolesnya dengan cat air secara hati-hati.

Ia melirik Rendi yang ada di sebelahnya. Lelaki yang beberapa waktu terakhir diam-diam disukainya itu juga sedang asyik mengarahkan kuasnya ke kanvas. Reni mengintip gambaran Rendi. Di kanvasnya terdapat gambaran dua buah gelas dengan isi yang berbeda. Teh dan kopi. Reni tau bahwa Rendi sangat menyukai kedua minuman tersebut.

“Serius banget!” celetuknya membuat Rendi yang hendak menyentuhkan kuasnya ke kanvas mengurungkan niatnya.

“Kamu juga serius banget tadi.” Rendi tersenyum. “Punyamu udah selesai?”

Reni menggeleng cepat. “Masih dikit lagi.”

“Ya udah, selesaiin aja dulu. Kalo udah selesai, nanti bisa dikeringkan dan kita bikin dekor lagi.” ujar Rendi yang kembali fokus pada lukisannya.

Reni hanya mengangkat bahu kemudian kembali melukis. Tetapi, aktivitasnya kembali terhenti saat rambut ikalnya yang sudah melebihi bahu terjatuh ke depan wajahnya. Ia meletakkan paletnya dan mencari ikat rambut di dalam tasnya. Segera ia cepol rambutnya yang ia warnai dengan warna coklat tersebut.

Rendi yang memperhatikan Reni mengikat rambutnya tersenyum. Ia sangat senang melihat Reni dengan rambut dicepol.

“Hayo, liatin apaan lo!” pekik Fero membuat Rendi tersentak dan menatapnya tajam.

“Heh, apaan sih lo? Entar kalo lukisan gue sampek ancur, muka lo gue ancurin!” ancamnya.

“Hahaha. Lagian elo sih, serius banget ngeliat ke samping. Lo liat apaan sih? Liat lukisannya apa orangnya?” godanya membuat Rendi hanya terdiam.

Reni yang mendengar hal itu hanya tersipu.

“Ah, udah! Sana-sana! Selesaiin tuh gambar singa lo!” usir Rendi. Fero hanya tergelak melihat ekspresi temannya yang tertangkap basah sedang memandangi perempuan di sebelahnya.

📏📏

Reni mondar-mandir sambil menunggu teleponnya diangkat. Sudah tiga kali ia menelepon Papanya tetapi belum diangkat juga.

“Hallo?” seru suara berat di seberang.

“Hallo, Pa? Papa kemana aja sih, dari tadi Reni telepon kok nggak diangkat-angkat?” omelnya tanpa basa-basi.

“Maaf, Sayang. Papa tadi masih ketemu sama temen Papa. Jangan marah dong...

Reni menghela napas. “Gini, Pa. Aku minta ijin nanti nggak pulang ke rumah. Kayaknya aku ke apartemen aja deh. Soalnya nanti mau dekor aula buat pameran besok. Kayaknya sampek larut malam. Boleh ya, Pa?

Beberapa detik terjadi keheningan sampai akhirnya terdengar helaan napas.

“Ya sudah, nggak pa-pa. Tapi kamu harus hati-hati. Jaga kesehatan juga. Jangan terlalu maksain diri. Kalo pulangnya nggak ada teman nanti telepon kakakmu biar dijemput dan dianter ke apartemen kalo kamu memang mau tidur di sana.” Akhirnya Papanya memberikan ijin.

“Yess! Thank you, Papa. Love you. Ya udah, Reni lanjutin dekor aula dulu ya. Doain pameran Reni lancar dan Reni dapet nilai terbaik di kelas!” serunya mantap.

“Iya, Sayang. Papa pasti doain yang terbaik buat kamu. Kamu harus jadi the best kayak kakak kamu itu. Ya?”

“Siap boss! Ya udah, dah Papa!” Reni segera mengakhiri panggilannya. Ia berlari menghampiri Nadya.

“Nanti kamu mau nginep bareng aku nggak? Aku nanti pulang ke apartemen.” Jelasnya.

“Seriusan? Iya deh aku nginep di apartemen kamu aja. Kamu kan tau Ibu kostku itu galaknya minta ampun. Lewat jam sebelas malem nggak mungkin dibukain pintu!” gerutu Nadya sebal. Reni hanya tergelak.

“Ya udah, yuk lanjut dekor lagi!” ajaknya.

📏📏

Ruang Aula di lantai tiga gedung seni lukis masih nampak sibuk. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tidak ada satupun yang hendak beranjak. Semuanya sedang sibuk mendekorasi ruangan yang akan menentukan penilaian untuk tugas mereka.

“Nad, ambilin palu dong tolong!” pekik Reni yang sekarang sedang memegangi paku sambil menaiki meja.

Nadya segera berlari ke arah Reni. “Nih, Ren!” ujarnya seraya menyodorkan palu kepada Reni. Reni segera memasang paku ke dinding dan memukulnya berkali-kali hingga menyisakan sedikit panjangnya untuk digunakan sebagai gantungan.

Nadya memerhatikan penampilan sahabatnya itu. Celana jeans hitam yang terlihat lusuh, kemeja biru kotak-kotak yang tak dikancingkan dengan kaos berwarna hitam sebagai dalamannya dan sepatu kets yang sedikit dekil. Wajahnya yang tanpa make up sedikitpun terbingkai rambut ikal berwarna coklat yang selalu dicepol membuat Nadya masih tak percaya bahwa Reni adalah sahabatnya. Nadya bukan orang yang pemilih, tetapi ia tak pernah membayangkan akan bersahabat dengan perempuan yang bahkan acuh terhadap penampilannya.

“Nah, selesai! Ren, ini hiasannya mana? Paku-pakunya udah siap tuh!” seru Reni pada Rendi membuat Nadya tersadar dari lamunannya.

“Bentar lagi selesai nih! Akhirnya, bisa pulang terus istirahat. Ya kan?” tanya Nadya meminta persetujuan pada Reni.

“Iya. Haduh, punggungku rasanya encok nih! Pegel juga dari tadi angkat-angkat meja, sketsel, euasel sama papan buat pameran. Kalo nggak demi nilai, ogah deh capek-capek kayak begini!” gerutu Reni membuat Nadya tertawa.

“Ya kan kalo kamu nggak berjuang keras, nilaimu bisa turun dan kamu bisa dibuang ke Amerika sama Papamu. Emangnya kamu mau?” Nadya mencoba mengingatkan Reni pada ancaman Papanya.

Reni hanya mendengus kesal seraya memutar bola matanya. Kekesalan yang ia rasakan barusan seakan hilang saat ia mengingat ancaman Papanya.

“Temen-temen, yuk kumpul dulu!” seru Fero. Semuanya segera mendekat ke arah Fero.

“Persiapan kita sudah hampir selesai. Tinggal masang sedikit hiasan, jadilah ruang pameran untuk kelas L2. Gue mau berterima kasih sama kalian semua yang udah bekerja keras untuk persiapan pameran ini. semoga kita mendapatkan nilai yang terbaik!”

“AMIIN!!” seru semuanya bersamaan.

“Ya udah, sekarang yang mau pulang silakan pulang. Silakan istirahat. Yang masih mau lanjut silakan, karena juga kurang dikit lagi kok. Tapi yang paling harus pulang itu yang cewek-cewek nih! Ini udah pagi loh, buruan pulang! Nanti dicariin Ibu kos lagi.” seru Fero mengingatkan. “Ya udah, sekarang bubar!” tak berapa lama setelahnya semua memisahkan diri masing-masing.

“Ren, pulang yuk!” ajak Nadya dengan mata yang sudah mulai memerah.

Reni mengangguk kemudian menghampiri Fero. “Kita pulang duluan ya! Kalian juga jangan pulang pagi. Besok pas pameran ngantuk baru tau rasa!” peringatnya membuat beberapa teman laki-lakinya nyengir.

“Ati-ati ya! Thanks bantuannya.” Ujar Fero seraya tersenyum.

Reni dan Nadya mengangguk kemudian keluar dari ruang Aula menuju parkiran.

📏📏

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status