"Begini, langsung saja. Yoga, kamu tahu 'kan? Adat istiadat keluarga kita?"
Sampai di sini mataku sudah ingin melebar mendengar lontaran dari Bu Ine.
"Maksud Mama?"
***
"Maksud Mama apa ya?" tanya sang anak pada ibunya. Aku sudah mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi. Dan aku harus siap.
Duduk pun ini sudah tak enak. Karena sebentar lagi, mungkin aku akan diminta untuk diantarkan oleh Mas Yoga. Atau, kemungkinan buruk, aku disuruh pulang sendiri.
"Begini, kamu tahu suku adat keluarga kita 'kan? Kita ini berasal dari Medan dan Minang. Sedangkan Maya berasal dari Betawi."
Bu Ine menjelaskan. Aku sudah tahu, memang mereka keturunan Medan dan Minang. Sedangkan aku ya, aku asli Betawi yang merupakan keturunan dari keluarga sederhana.
"Lalu maksud Mama apa?" Mas Yoga sudah heran dengan apa yang ibunya katakan. Sedangkan aku sejak saat ini sudah harus menerima konsekuensi, kalau hubungan kami tak baik bila diteruskan. Dari kasta pun kita berbeda.
Bu Ine saat ini duduk dengan elegan belum melanjutkan lagi apa yang sebenarnya ia ingin katakan. Maksudnya, inti dari pembicaraan ini belum tersampaikan.
Aku tak bisa bicara banyak, hanya diam menunduk dan mempersiapkan kata-kata mohon maaf yang sebesar-besarnya pada keluarga mereka.
"Mah? Mama ada masalah apa dengan keturunan?" Lagi-lagi Mas Yoga bertanya setelah sebelumnya melirikku. Ya, pasti kami memang berbeda keturunan.
Napasku kini berhembus ragu dan sudah pasrah.
"Begini, ini masalah kamu dengan Maya."
Aku jelas kaget, tapi memang aku harus apa. Diam, hanya itu yang aku lakukan.
"Masalah? Masalah apa?" tanya sang anak kembali.
"Begini. Menurut Mama, adat ketiganya itu harus dipadukan dalam resepsi pernikahan. Maka dari itu, Mama mau adat Minang, Medan dan juga Betawi digabungkan. Atau, meskipun tidak digabung, kalian cari caranya bagaimana supaya dalam waktu sehari semalam, tiga adat tersebut bisa tertampilkan."
Tegh!
Sebuah lontaran kalimat yang mencuat di telinga dengan tajam membuatku merasa keliru.
Kulirik Mas Yoga yang sedari tadi resah kini malah menyeringai perlahan. "Maksudnya?" tanya Mas Yoga.
Bu Ine tanpa senyuman sepertinya ingin menjawab. Sedangkan aku sudah beberapa kali meneguk liur ingin berusaha mengartikan. Apa sebenarnya yang Bu Ine utarakan itu?
"Maksudnya, kalau kalian sudah serius, lebih baik cepat menikah. Tak baik lama-lama berhubungan dekat tanpa ikatan. Tapi ingat, itu kalau serius. Kalau tak serius, lebih baik jaga jarak kalian berdua."
Mulutku sontak menganga. Apa yang aku dengar barusan, apakah itu sebuah restu yang berlebihan?
Kulirik kecil Mas Yoga dan dia malah tersenyum. Saat ini, tubuhku benar-benar gemetar. Aku tak pernah ada di posisi ini sebelumnya. Saat akad dengan Mas Anang pun, suasananya tidak begini, karena tak ada persiapan kemungkinan aku akan ditolak. Karena kami jelas telah mendapatkan restu. Tapi sekarang, aku sungguh kaget sekali. Andai ada Ibu di sini, ingin sekali aku menjerit dan bertanya pada Ibu. Apakah Ibu tahu arti dari kata-kata Bu Ine?
"Mama? Mama … restui aku menikah dengan Maya?" ujar Mas Yoga seakan mempersiapkan kesumringahan.
Bu Ine dengan mimik wajah yang tak begitu meyakinkan itu pun kini manggut-manggut. "Iya. Tak baik lama-lama pacaran begini. Segera diresmikan. Dan ingat, rancang semuanya dengan bagus. Mama mau tiga perbedaan kita itu disatu padukan. Ya, terserah kalian mau bagi-baginya bagaimana. Kalian segera meeting dengan wedding planner. Mama ada kenalan yang udah profesional. Kalau mau, Mama bisa hubungi dia. Dan kalian atur. Designer untuk akad juga udah Mama siapkan, itu sahabat Mama. Mama tahu desainnya bagus-bagus."
Mas Yoga tiba-tiba semakin sumringah. "Boleh, boleh, Mah. Apapun menurut Mama. Aku oke saja. Bagaimana dengan kamu, Say … eh, May?" Mas Yoga membuatku malu dengan keceplosan ingin memanggilku dengan kata sayang.
Bagaimana aku bisa menjawab, ini sangat gemetar sekali. Andai bukan di tempat umum, aku akan sejenak melubangi tanah lalu jingkrak-jingkrak di dalamnya.
"Maya? Bagaimana?" Bu Ine bertanya padaku.
Sejenak menelan ludah lalu berusaha menjawab. "I … Ibu bersedia menjadikan saya menantu Ibu?" ucapku gelagapan.
"Iya. Kenapa? Kamu takut karena orang Medan itu keras-keras? Keras dan tegas itu bicaranya. Hatinya itu ya baik." Bu Ine membuatku semakin malu.
"Bukan, Bu. Em …."
Bu Ine memotong kalimat yang belum usai keluar dari mulutku. "Sudah. Kamu panggil saya Mama, jangan Ibu, ya?" pinta Bu Ine.
Saat ini Mas Yoga melirikku sembari menggerak-gerakkan alisnya berkali-kali dengan tatapan yang membuat aku malu. Bisa-bisanya di depan orang tua dia menatapku begitu.
"Setelah ini Mama akan bertemu dengan sahabat Mama yang desainer itu. Wedding planner sudah Mama W******p. Nanti pihak mereka akan hubungi kamu, Ga. Oh ya, satu lagi. Libatkan adikmu dalam hal ini, dia 'kan seorang calon design interior. Sambil dia belajar."
"Siap, Mah." Mas Yoga sigap sekali.
Bu Ine kini bangkit, sedangkan aku masih serasa berada di atas awan. Melayang-layang rasanya. Ya Tuhan, ini sebuah hal yang belum sempat kuduga, tapi malah menyambut tanpa ada keraguan.
"Mama mau ke mana?" tanya Mas Yoga pada sang Ibu.
"Eh, Mama 'kan udah bilang, Mama mau ketemu sama sahabat Mama untuk siapkan pakaian pengantin kalian khusus akad nikah. Untuk resepsi, Mama tunggu beberapa desainer yang menurut kalian bagus. Kalau mau semuanya sama sahabat Mama takutnya enggak keburu. Pernikahan kalian sudah si papa pikirkan bulan depan. Jadi, semuanya harus cepat dan perfect."
Ternyata bukan hanya Bu Ine, tapi juga suaminya--Papa Mas Yoga. Aku juga dapat restu dirinya?
Aku semakin terkejut mendengar apa yang Bu Ine katakan barusan. Ini sungguh seperti mimpi. Apa iya aku yang janda diterima di keluarga mereka? Ah, aku harus bangun dari mimpi ini.
"Sampai ketemu nanti ya? Oh ya, pokoknya jangan lama-lama. Nanti Mama sama papa akan datang ke rumah orang tua Maya. Kalian atur jadwalnya." Begitu kata Bu Ine. Aku semakin tak bisa bicara apapun.
"Siap, Mah!" Lagi-lagi Mas Yoga sigap.
Bu Ine kini sudah berlalu setelah pamit dan sedikit mengelus pundakku sebelum ia pergi.
Kalian tahu bagaimana suasana hatiku sekarang? Harus menangis bagaimana untuk mengekspresikan kebahagiaan ini?
"Sayang? Kamu denger 'kan?" Mas Yoga mengelus kepalaku.
"Eh, Mas. Ini …." Aku memperlihatkan gelagat supaya dia tidak belai-belai kepalaku sembarangan. Apalagi ini di depan orang. Bukan di depan, tapi, di resto ini banyak orang.
"Iya, iya. Hah … lega sekali aku. Sebenarnya aku ingin bicara ini sama Mama. Tapi, aku belum ada waktu yang tepat. Oh ya, aku belum lamar kamu ya? Mungkin maksud Mama ingin menemui orang tua kamu itu ya melamar!" Mas Yoga berkata hal yang membuatku malu.
Aku sungguh belum bisa bicara banyak. Hati kecil ini masih tak percaya dengan ini semua. Baru saja kami pulang dari kondangan, dan sebentar lagi kami akan urus surat undangan? Oh Tuhan …
Tiba-tiba gawai Mas Yoga berdenting.
"Sebentar, Sayang."
"Mama?" katanya kembali.
"Ya, Ma?" Ia kembali bicara setelah mengangkat panggilan, namun sekarang di loud speaker. Ia taruh si Apple kroaknya di hadapan kami berdua.
"Jangan lupa beli cincin buat melamar. Masak mau langsung akad? Harus ada lamaran dulu ya? Kalau bisa Minggu ini. Tak perlu mewah-mewah, kita ke rumah Maya saja. Tapi, pilih cincinnya. Kalau uang kurang, akan Mama transfer."
Mas Yoga melirikku kembali setelah Ibunya bicara. Panggilan telah berakhir, singkat, padat dan mendebarkan.
"Baru saja aku omongin. Nah, sekarang kita berarti pergi ke toko cincin ya? Kamu bebas pilih," ucap Mas Yoga. "Mama merendahkan aku seperti tak punya uang. Uangku 'kan banyak," kelakarnya menambahkan.
"Ish!" Aku sedikit menyunggingkan bibir.
"Ya sudah, ayok! Eh, tunggu. Kamu mau bawa makanan enggak buat ke rumah? Mumpung mampir di sini. Di sini makanan lezat-lezat dan baiklah pokoknya." Mas Yoga menawarkan.
"Ah, enggak usah, Mas. Kita pulang aja," saranku.
"Yeh, mumpung ada diskon."
Aku heran. "Yaelah!"
"Iya, di diskon sama Mama. Ini 'kan resto punya Mamaku, May. Masak kamu tidak tahu usaha milik calon mertuamu," oceh Mas Yoga.
"Ya ampun, Mas, memangnya aku apa harus kepoin aset keluarga kamu. Kamu itu benar-benar. Tapi, ini memang resto milik keluarga kamu?" tanyaku yang penasaran.
"Iya. Kamu beneran tidak tahu?" herannya.
"Enggak lah, Mas."
"Ya baguslah. Emang aku boong!" Dia malah terkekeh bahagia.
"Ih!"
"Iya, ini resto milik orang tuaku. Kamu jangan heran. Makanya sekarang kita boleh pesan makan minta diskon. Lumayan, diskon 50%."
Aku sedikit kesal namun kesal dalam candaan. "Mas, kamu ini. Lebih baik ayok kita pulang. Jangan banyak bercanda di tempat umum."
"Permisi, Mbak, Mas. Ini pesanannya."
Seorang pelayan menghampiri. Lalu ia memberikan kantong kresek putih bersisi box makanan.
Aku pun heran. "Ini?"
"Makasih, Mbak. Ini gratis 'kan?" kata Mas Yoga. Pelayan itu pun manggut-manggut, lalu tak lama segera meninggalkan kami.
"Loh, Mas? Kamu kapan pesan?" heranku.
"Mama yang pesankan. Ayok!"
Alisku masih bertaut heran. Namun, aku tak ingin banyak bicara. Lebih baik, segera pergi saja daripada malu dilihat orang karena Mas Yoga yang menggodaku.
***
Kami telah sampai di toko perhiasan. Sebelum sampai ke rumahku, Mas Yoga memang memintaku untuk memilih cincin yang aku inginkan.
Namun, baru saja turun dari mobil, dari kejauhan sana sudah nampak pria dan wanita yang aku kenal. Itu Mas Anang dan pacarnya tadi. Sungguh, ini dunia sempit sekali. Apa jadinya kami harus berpapasan lagi?
Mas Anang baru saja keluar dari mobil dan kini menggandeng wanita itu. Aku dan Mas Yoga masih ada di dalam mobil.
Di samping kami sekarang datang sebuah motor bebek dan parkir di samping mobil Mas Yoga.
***
BAB 5***Kami telah sampai di toko perhiasan. Sebelum sampai ke rumahku, Mas Yoga memang memintaku untuk memilih cincin yang aku inginkan.Namun, baru saja turun dari mobil, dari kejauhan sana sudah nampak pria dan wanita yang aku kenal. Itu Mas Anang dan pacarnya tadi. Sungguh, ini dunia sempit sekali. Apa jadinya kami harus berpapasan lagi?Mas Anang baru saja keluar dari mobil dan kini menggandeng wanita itu. Aku dan Mas Yoga masih ada di dalam mobil.Di samping kamu sekarang datang sebuah motor bebek dan parkir di samping mobil Mas Yoga.***"Mas? Kamu ngapain?" tanyaku pada Mas Yoga masih di dalam mobil."Ini, aku mau buka sepatu. Gerah banget. Aku mau pakai sandal ini saja."Mas Yoga lepas sepatu pantofel kinclong bermereknya itu dan mengganti dengan sandal gunung.Aku pun hanya meninggikan alis sambil sedikit tersenyum."Yuk!" ajaknya.Aku malah ragu, karena di sana pasti bertemu dengan Mas Anang. Tapi, untuk apa juga mengurungkan niat hanya karena orang semacam mereka?Dengan
BAB 6"Mas? Kamu kok beli cincin mahal banget?" protesku pada Mas Yoga."Mahal? Sebenarnya kalau untuk hal lain pasti itu bagiku mahal. Tapi, buat kamu, berapapun akan aku keluarkan. Alhamdulillah, aku punya cukup uang untuk beli apapun sekarang ini. Asal otak dan fisik kita sehat, uang itu akan datang lagi.""Makasih ya, Mas."Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Kami sekarang sedang berada di jalan pulang ke rumah ibuku. Jalan lumayan agak sedikit macet karena di depan ada lampu merah."Oh ya. Aku belum tanya kamu serius. Jadi, kamu mau menikah dengan aku 'kan? Kamu ijinkan aku jadi bagian hidup kamu?"Di lampu merah saat kendaraan berhenti sejenak dia bertanya hal yang sebenarnya tak perlu ia pertanyakan."Menurut kamu, apa aku menolak setelah kamu ajak beli cincin dan cincinnya pun sudah ada di sini?" Aku menunjuk dus kecil.Dia malah tersenyum. "Ya, kamu 'kan iya-iya saja. Sebenarnya, kamu benar menerima aku sebagai calon suami kamu?" tanyanya kembali."Insyaallah, aku menerima kamu.
Hari ini ada meeting dengan wedding planner. Aku akan dijemput oleh Mas Yoga dan kini sedang menunggu di ruang tamu.Kebetulan hari ini libur, jadi bertemu dengan WP dijadwalkan sekarang oleh Mas Yoga."Mah, Arya mau main ke rumah Ivan boleh?" kata anakku ijin."Boleh, Sayang. Tapi mau main apa?" tanyaku pada putra tercinta."Mau main bola, Mah di lapangan sana itu. Boleh ya, Mah? Em, Arya juga bakal kotor-kotoran dikit," kata anakku sembari memasang mimik wajah meringis takut kumarahi."Boleh, kotor sih enggak apa-apa, Sayang. Asal hati-hati, jangan ke jalan raya ya? Nanti pulang juga jangan kesorean. Mama mau keluar dulu." Aku memberinya saran sembari memberitahukan ke mana aku akan pergi."Iya, Mah. Mama mau pergi sama Om Yoga?" ucapnya.Aku tersenyum. "Iya, Nak. Sebentar lagi Om Yoga jemput Mama. Kamu ijinin 'kan?" ujarku sambil mengelus-elus lembut rambut kepalanya."Iya, Mah. Mama juga hati-hati. Arya mau berangkat sekarang ya, Mah?" katanya lagi."Kamu enggak bawa sepatu?" hera
Kenapa Mas Anang merendahkan kami serendah itu? Dasar, dia kurang ajar sekali. Sebenarnya aku malu pada Mas Yoga, tapi, bagaimana juga dia hanya menyuruhku diam saja. Ikut alur yang akan ia suguhkan.Aku saat ini dengan Mas Yoga masih menunggu tukang kerak telor selesai membuat. Tapi Mas Anang dan pacarnya terus saja mengejek kami."Ayoklah, jangan sok jual mahal. Sekali-kali kalian makan enak di resto mewah." Kata-kata Mas Anang itu tak sopan sekali. Mana ada tata krama seorang General Manager semacam dia? Oh ya ada, memang dia."Ayok, boleh, Mas. Kebetulan kami juga sedang lapar. Tadinya kami akan makan di warteg sana."Tegh!"Warteg. Haha!" Mas Anang tertawa puas.Keningku mengernyit kaget tapi ingin tersenyum mendengar jawaban Mas Yoga. Dia mau diajak makan oleh mantanku?"Mas!" Aku menyinggung sedikit tangannya dengan jariku.Saat ini Mas Yoga nampak santai setelah mengiyakan ajakan Mas Anang dan pacar sombongnya."Jangan disenggol-senggol gitu, Maya. Kamu malu hah? Tuh pacar ka
"Mohon maaf, Pak, saldo di kartu ATM ini tidak cukup!"Deg!Aku dan Mas Yoga saling melirik mengulum senyum. Sesumbar itu, tapi dia tidak cek m-banking? Aku yakin, dia miliki aplikasi itu. "Hah? Tidak cukup?" Mas Anang kaget, pun dengan pacarnya. Mereka seperti terpukul bokong oleh Tuan Crab dalam serial kartun."Huahahahaha." Dalam batinku tertawa lebar. Ingin sekali aku bergoyang di depan mereka berdua, tapi aku tak bisa lakukan itu karena aku tak begitu.Saat ini aku dan Mas Yoga saling lirik sembari mengulum tawa. Sekarang wajah Mas Anang dan pacarnya memerah. Pelayan pun masih menunggu dan sudah mengembalikan lagi kartu ATM tersebut."Mas? Kok nggak cukup?" protes pacarnya dengan kesal. Ada mimik malu di hadapan aku dan Mas Yoga.Mas Anang mempertahankan wibawanya. "Ah, masak sih? Salah kali! Atau mesinnya rusak!"Aku semakin ingin tertawa lebar. "Mas, mana ada mesin rusak bisa mendeteksi enggak cukup? Kalau enggak bisa dipakai, baru itu rusak!" ledekku dengan puas.Mas Yoga ter
Bu Ine kini hadir di tengah-tengah kami. Tapi, yang aneh adalah, manajer resto menjelaskan semua masalah pada beliau. Apa benar, resto ini milik Ibu Mas Yoga juga? Wah, aku baru tahu kalau benar."Jadi, apa yang bisa saya bantu, Pak?" Bu Ine cuek pada aku dan anaknya. Tapi kini dia bicara pada Mas Anang."Ibu siapa? Owner restoran ini 'kah?" tanya Mas Anang heran."Ya. Ini restoran milik saya. Benar apa kata manager saya kalau Anda makan tapi tidak bisa bayar?" Aku super kaget. Dugaan benar, kalau resto ini milik orang tua pria yang kini ada di sampingku. Tapi, kenapa Bu Ine tidak kaget ada anaknya di sini? Bahkan, dia juga tidak menyapa anaknya. Pantas saja tadi pelayan resto kaget saat melihat Mas Yoga datang, itu karena dia pasti kenal. Secara, Mas Yoga anak bos mereka.Ck ck ck!Lalu, bagaimana sekarang?"Saya Ine, pemilik sah resto ini. Bisa saya minta penjelasan dari Anda? Penjelasan dari manajer saya saja tidak cukup," kata Bu Ine dengan lugas. Aku kini menyenggol Mas Yoga,
"Iya, mereka berdua. Mereka yang sudah kuras uang saya." Mas Anang menunjuk Mas Yoga dan aku.BAB 11"Betul sekali, Bu Owner. Jadi gini, wanita ini mantan istri pacar saya yang ganteng dan yang memiliki jabatan General Manager ini. Tadi mereka itu jajan di pinggir jalan. Ya, karena kasihan lihat orang miskin di jalan, kami pun ajak mereka makan. Sekali-kali lah orang miskin makan di resto mewah milik Ibu ya." Aku amat terenyah dengan penjelasan dari wanita yang menjadi pacar Mas Anang. Dia berani sekali menghina anak di depan ibunya. Apalagi sebut-sebut miskin dengan tatapan meledek. Tak ada sopan santun."Oh, jadi kalian berdua ingin traktir mereka berdua tapi tak ada uang?" kata Bu Ine menanggapi."Bu, jaga bicara Ibu. Kalau Ibu bukan owner resto mewah ini, saya mungkin sudah adukan kata-kata Ibu ini ke hukum. Saya bukan tidak ada uang, tapi uang saya masih ada di rumah. Saya akan bawa dulu, apa susahnya sih? Restoran macam apa ini?" Degh!Mas Anang malah nyolot. Sepertinya dia be
Bu Ine pun menanggapi balik. "Pelanggan adalah Raja. Tapi tidak ada Raja semacam Mas Ini ya? Kalau ingin dihormati dan dihargai orang, hormatilah dan hargailah diri kamu sendiri. Silahkan bayar, baru boleh pergi!" gertak Bu Ine. Sepertinya saat ini Mas Anang benar-benar dipermalukan. Betul juga kata Bu owner, mana ada Raja semacam Mas Anang?"Lalu mau Anda apa?" Mas Anang nyolot sekali.~~~ Kom Komala ~~~***"Mau saya, Anda bayar sekarang juga, atau diam di sini bersih-bersih. Anda boleh pulang setelah resto ini tutup. Kalau tak ada orang yang datang untuk membayar ganti rugi, Anda dan Mbak ini tidak boleh pergi. Kalian bantu beres-beres di resto ini. Mengerti!"Wow, sungguh ini benar-benar membuatku tertawa lebar. Bu Ine dengan yakin meminta si general manager itu untuk bersih-bersih?"Apa? Anda menghina saya?" bentak Mas Anang."Mas, nurut saja, Mas. Lagipula, saya sejak tadi mendengar kesombongan Mas pada mantan istri Mas dan pacarnya itu. Saya pikir Mas mau bayar dan banyak uang.