Share

Bab 2. Cowok Julid

Nina dan Laura saling berpandangan, keduanya mengangkat wajah dan melihat ke arah sumber suara. Seorang pria mengenakan kemeja pink muda berdiri menatap mereka. Sebenarnya wajah pemuda itu bisa dikategorikan tampan, namun sayang wajah feminimnya itu selalu dihiasi dengan senyuman sinis, terutama kepada Nina.

Pria itu adalah Richard, salah satu karyawan yang sudah cukup lama bekerja di perusahaan itu, ia berada satu divisi dengan Nina. Namun hubungan keduanya terlihat kurang sedap, karena Richard sering menyinggung atau menyindir Nina.

“Richard, apa masalahnya denganmu?” sahut Laura ketus.

“Ini masih jam kerja, tapi kalian berdua malah ngerumpi.” Richard bergaya bak seorang supervisor.

“Aku tahu ini masih jam kerja, tapi peraturan di perusahaan ini tidak melarang kalau hanya sekedar minum kopi untuk mengurangi kepenatan,” sengit Laura, “yang penting, kami tidak melalaikan tugas dan pekerjaan kami.”

“Oh, ya. Bagus dong kalau bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, dan boss puas dengan hasilnya,” seringai Richard sambil menatap Nina. Gadis itu hanya diam sambil memainkan cangkir kopi yang isinya hampir habis, ia paham Richard sedang menyindirnya, karena laki-laki itu tahu saat Emily, asisten Nathan memintanya menghadap bos.

“Apa maksudmu, Richard?” geram Laura, “lagi pula, ngapain kamu di sini? Mau ngopi juga?” sarkasnya sambil tersenyum sinis.

“Haha, aku hanya kebetulan lewat,” ujar Richard, matanya masih tetap tertuju pada Nina. “Oya, Nin. Bukannya itu berkas yang kau kirim kemarin? Kenapa dikembalikan lagi?”

Nina tetap tidak menjawab, ia menghabiskan sisa kopinya lalu berdiri. “Ra, thank’s ya kopinya, aku duluan.”

Tanpa menghiraukan Richard, Nina langsung pergi meninggalkan Laura dan pria itu yang tampak sewot karena diabaikan.

“Dasar cewek sombong, kerja nggak becus saja bertingkah.” Richard mengumpat.

“Dasar cowok julid!”  balas Laura sambil berlalu meninggalkan Richard. Pria itu mematung, namun kemudian menyeringai samar, lalu beranjak menuju ruang direktur utama.

**

Nathan masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya ketika Emily, sang asisten masuk dan memberitahunya bahwa Richard Stirling meminta izin untuk menghadap.

“Selamat siang, Pak Nathan.”  Richard menyapa dengan ramah sambil tersenyum.

“Hmm, ada perlu apa?” tanya Nathan tanpa menatap Richard, suaranya begitu dingin.

“Begini, Pak. Kebetulan saya satu divisi dengan Nina, karyawan yang bergabung baru 7 bulanan itu. Saya lihat dia asal-asalan mengerjakan tugas, banyak melamun.”

Nathan mengangkat kepalanya, matanya menatap lurus kepada laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya.

“Lalu?”  tanya Nathan singkat, wajahnya menunjukkan ketertarikan.

Merasa mendapat kesempatan, Richard makin bersemangat. “Ya, saya tidak tahu apa anak itu ada masalah atau memang pemalas, yang saya lihat dia seperti tidak bersungguh-sungguh mengerjakan pekerjaannya.”

“Hmm, lalu apa yang Anda inginkan?”

“Hehe begini, Pak. Saya sudah hampir 2 tahun bekerja di sini. Saya sebelumnya selalu dapat menyelesaikan tugas dengan baik, saya lihat Nina sedang mengerjakan laporan project yang baru, tapi belum bisa menyelesaikannya.”

“Terus?”

“Jika bapak berkenan, bagaimana kalau saya yang menyelesaikan tugas itu, saya jamin akan selesai dengan cepat.”

“Hmm, begitu ya,” ujar Nathan sambil berpikir.

“Benar, Pak. Saya jamin besok pagi saya sudah bisa menyelesaikannya dengan baik.”

“Apa Anda mampu?” tanya Nathan memastikan, “masalahnya memang Nina yang turut menangani project itu.”

“Kalau soal itu gampang, Pak. Saya bisa minta data-datanya sama Nina, kami satu divisi, dia pasti tidak keberatan.”

“Baiklah kalau begitu, Anda boleh kembali.”

“Terima kasih, Pak. Saya pastikan besok semuanya akan beres.” Richard berkata dengan penuh percaya diri.

“Hmm …”  Nathan kembali pada pekerjaannya, namun setelah Richard ke luar ia segera memanggil asistennya.

“Emi, saya mau data-data Richard Stirling secara lengkap, berikut rekam jejak pekerjaannya selama bergabung di sini.”

“Siap, Bos. Akan segera saya siapkan.”

Nathan tidak habis pikir, mengapa ada karyawannya yang licik seperti Richard? Suka menikung dan mencari muka, menjilat sana sini. Mentalitas seperti itu, akan sangat berbahaya jika dibiarkan, bisa menghancurkan perusahaan.

Tiba-tiba ia teringat ucapan Nina, gadis itu berkata dengan kesungguhan di matanya bahwa ia sudah memeriksa laporan itu dengan teliti, tapi kenapa bisa banyak kesalahan? Nathan mengangguk-anggukan kepalanya, sesuatu terlintas di pikirannya.

Selang beberapa saat, sang asisten masuk dengan membawa sebendel file yang diminta sang bos, Nathan membolak-balik dan mengamati dengan teliti. Sekarang ia dapat gambaran karyawan macam apa Richard itu.

“Beritahu Nina, laporannya harus segera selesai, sebelum besok pagi harus sudah jadi, minta dia memberikan  soft copynya.”

“Siap, bos.”

Sementara itu, Richard yang merasa berada di atas angin, masuk ke ruangan kerjanya dengan penuh kebanggaan, ia melihat Nina sangat sibuk dan serius di depan komputernya.

“Kamu  sibuk ngerjain apa, Nin?” Richard berdiri sambil tersenyum mengejek, “laporan yang kemarin? Sudahlah jangan repot-repot, Pak Nathan sudah menyerahkannya padaku.”

Nina tertegun, ia mengangkat wajahnya dan menoleh pada Richard. “Oh, begitu,” gumamnya, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Kamu pikir kalau kamu revisi sekarang apa akan selesai besok pagi?” Richard kembali berceloteh, namun Nina tidak mempedulikannya, ia tidak mau ambil pusing, namun kata-kata Richard berikutnya membuat gadis itu terhenti.

“Kesalahan kamu itu sangat fatal, Nina. Nggak akan kelar walau kamu kerjakan seharian.”

“Bagaimana kamu tahu kalau kesalahannya fatal?” cecar Nina, membuat Richard gelagapan.

“I-iya Pak Nathan, dari Pak Nathan pastinya. Beliau sudah memeriksa laporan kamu kemarin, kan?”

Nina tidak menanggapi, ia kembali fokus pada layar monitor di hadapannya. Merasa diabaikan, Richard menjadi jengkel, ia mendengus lalu berlalu meninggalkan Nina.

Selang beberapa saat setelah Richard pergi, Emily masuk, ia meminta Nina menyelesaikan laporannya dengan cepat, harus selesai hari ini juga.

Nina terkejut, namun  hanya bisa mengiyakan apa yang disampaikan asisten Nathan. ‘Jika memang Pak Nathan sudah menyuruh Richard mengerjakan, mengapa masih menyuruhku menyelesaikan dengan segera?’ Nina membathin, namun tidak sempat lagi untuk berpikir apa pun, karena setiap detik waktunya sangat berharga, ia harus berpacu dengan waktu.

“Nina, pulang bareng, gak?” Laura masuk mengejutkan Nina. Jam pulang kantor pun tiba, semua karyawan telah bersiap untuk beranjak kembali ke rumah masing-masing.

“Kamu duluan aja, Ra. Sepertinya aku harus lembur.”

“Kamu yakin? Kenapa nggak dilanjutin besok aja sih?”

“Nggak bisa, Ra. Pak Nathan minta diselesaikan hari ini juga.”

“Gila si bos! Bener-bener killer!” rutuk Laura.

“Hehe hati-hati, Ra. Di sini dinding punya telinga.”

“What? Iih serem, aku balik lah daripada kena masalah. Kamu hati-hati ya, Nin. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, bye!”

“Okay Miss Bawel, bye.”

Sementara itu, di ruangan Nathan, seorang pria duduk dengan santai di sofa, ia menunggu Nathan menyelesaikan pekerjaannya, namun setelah menunggu cukup lama, sahabatnya itu masih saja berkutat dengan pekerjaan.

“Tan, ayolah sebentar, aku ada kabar bagus,”  ujar Michael, ia adalah satu-satunya sahabat Nathan yang selama ini selalu mensupportnya.

“Kabar apa memang?” tanya Nathan tanpa mengangkat wajahnya.

Michael menghela napas, sahabatnya yang satu ini benar-benar gila kerja sekarang. “Sonya, apa kamu sudah nggak mau tahu lagi tentangnya?”

Sejenak Nathan terdiam, ia mengangkat wajahnya menatap Michael. “Buat apa, tidak ada kaitannya denganku.”

“Kamu yakin, Tan?” Michael memastikan, ia seakan tak percaya sahabatnya berubah menjadi bongkahan es begini. Nathan hanya mengangguk dengan pasti.

“Ya sudah kalau gitu, kita makan malam yuk, atau ke club atau ke mana lah enaknya, jangan di kantor terus Tan, kamu bukan robot, siang dan malam kerja terus.”

Nathan tersenyum, ia tahu ujung-ujungnya sahabatnya akan seperti itu. “Kamu kenapa Mike? Aku aja santai kok.”

“Hmm, ya sudah lah kalau gitu, selamat berkencan dengan berkas-berkas.” Michael terkekeh sambil meninggalkan sahabatnya, Nathan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia pun memanggil asistennya yang masih stanby menunggu intruksinya.

“Emi, gimana progres pekerjaan Nina?”

“Masih dikerjakan Bos, sepertinya dia akan lembur.”

“Ya sudah, kalau begitu kamu boleh pulang.”

“Baik, Bos.”

Dalam sekejap, suasana di kantor besar itu pun menjadi sepi,  lampu-lampu pun menyala di setiap sudut ruang, menandakan siang telah berganti. Nina masih sibuk menyelesaikan tugasnya, ia tidak lagi menghiraukan keadaan di sekitarnya, fokusnya hanya pada pekerjaannya.

Tanpa disadari oleh gadis itu, seseorang diam-diam masuk dan mendekatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status