Laura terperanjat, sahabatnya diam mematung memperhatikan sosok seseorang dari kejauhan. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Nina? Laura kembali memperhatikan sosok yang sudah menyita perhatian sahabatnya itu. Sosok angkuh dan dingin, yang siap membekukan apa saja, lebih dingin dari es di kutub utara.
“Pak Nathan ganteng ya, Nin. Tapi sayang …” Laura menggantung kata-katanya untuk memancing Nina.
“Apa?” tanya Nina linglung, gadis itu seperti baru tersadar dari tidurnya. Laura terkekeh menggoda Nina, kalau Nina tertarik dengan gunung es itu. Namun diluar dugaan Laura justru sahabatnya itu melontarkan pertanyaan yang membuat bola matanya hampir keluar.
“Ra, Pak Nathan itu sudah menikah belum sih?” tanya Nina santai.
“What?!” respond Laura dengan full keterkejutannya, “Nina, kamu nggak salah minum obat kan, Nin?”
Nina menggelengkan kepalanya dengan bingung, apa yang salah dengan pertanyaannya? Ia pun menjelaskan maksud pertanyaannya, pasalnya ia penasaran dengan sikap sang bos, bisa jadi ia punya masalah di rumah atau keluarganya, sehingga bersikap seperti itu.
Laura pun mengangguk, masuk akal juga apa yang disampaikan Nina. Bisa jadi sang boss punya masalah yang ia tutupi dengan sikap angkuhnya itu.
“Hmm, kalau soal itu aku juga nggak tahu sih, Nin,” gumam Laura pelan, “sepertinya kehidupan pribadi bos kita itu terkunci rapat, hanya orang-orang tertentu yang tahu.”
“Orang-orang tertentu?” ulang Nina.
“Ya, seperti sahabat-sahabat dan keluarganya, kalau karyawannya … sepertinya nggak ada yang tahu.” Laura menjelaskan, ia termasuk karyawan yang sudah lama bekerja di kantor itu, tapi tidak pernah mendengar desas-desus apa pun tentang masalah big bossnya itu.
“Eh tapi ada satu orang yang pasti tahu semua tentang Pak Nathan,” ujar Laura tiba-tiba, Nina menatapnya penasaran. Laura menghela napas sebelum menyebutkan nama yang membuat Nina tersenyum. “Miss. Emi.”
Keduanya pun tertawa, sudah pasti perempuan robot itu tahu, karena ia adalah asisten Nathan, tapi jangan harap dapat informasi apa pun dari mulut perempuan yang oleh para karyawan dijuluki perempuan robot itu.
Laura pun mengingatkan Nina agar berhati-hati dengan rasa penasarannya itu, karena bisa-bisa ia akan jatuh cinta pada laki-laki yang meskipun terlihat angkuh dan dingin, namun sangat kharismatik dan tampan, ia adalah salah satu keajaiban ciptaan Tuhan yang sempurna.
Nina menanggapi ucapan sahabatnya dengan santai dan tertawa kecil, namun Laura menatapnya dengan serius.
“Aku serius, Nina. Kalau kamu beneran tertarik sama Pak Nathan, kamu akan mendapatkan saingan yang berat.” Laura berkata dengan nada khawatir sekaligus mengingatkan.
“Maksudnya gimana, Ra?” Nina bertanya penasaran, ia memang tidak banyak tahu gosip yang beredar di kantor ini.
Laura menghela napas, ia segera melihat ke luar dari arah pintu. Seorang wanita yang tadi terlihat berjalan tergopoh-gopoh, sedang berbicara dengan Nathan. Rupanya wanita itu mengejar Nathan, makanya terlihat terburu-buru.
“Itu …” Nina tidak melanjutkan kata-katanya, ia menatap Nathan yang sedang mendengarkan wanita yang sedang berbicara di hadapannya.
“Ya, itu adalah Bu Victoria, salah satu manager senior yang cukup diperhitungkan kedudukannya di perusahaan ini.” Laura menjelaskan.
“Lalu …?” tanya Nina masih tetap memperhatikan kedua orang yang sedang bercakap-cakap yang jaraknya tidak terlalu jauh itu.
“Lalu? Pertanyaan macam apa itu, Nina.” Laura menggelengkan kepala, “kamu tahu, Nin. Bu Victoria sangat tertarik dengan Pak Nathan, ia berusaha mendapatkan Pak Nathan, ia akan menyingkirkan gadis lain yang akan menjadi pesaingnya.”
“Oh, jadi begitu, aku tidak tahu, Ra.” Nina menjawab polos, membuat Laura menepuk keningnya.
Nathan yang sedang mendengarkan Victoria dapat merasakan tatapan seseorang yang sedang mengawasinya, ia mengalihkan pandangannya ke dalam café, dan sekilas melihat Nina yang sedang menatapnya. Lelaki itu mengucapkan sesuatu pada victoria lalu berbalik pergi ke ruangannya, diikuti sang asisten.
Victoria terlihat sangat kesal dan geram, ia berbalik dan masuk ke dalam café lalu memesan minuman. Laura dan Nina merasa tidak leluasa, keduanya pun beranjak hendak pergi, namun Victoria menyapanya.
“Saya baru masuk kok kalian mau pergi?” tanya wanita itu, kekesalan masih melintasi wajahnya yang dihiasi makeup lumayan tebal.
“Maaf, Bu. Kami sudah selesai ngopinya,” sahut Laura sambil tersenyum.
“Tidak mau nambah lagi? Pesan saja nanti saya yang bayar.” Wanita itu berkata santai, namun nadanya terdengar dingin..
“Maaf, Bu. Kami harus menyelesaikan pekerjaan yang kemaren tertunda.” Laura beralasan, ia tahu jika tetap di sini bersama Victoria, pasti akan jadi pelampiasan perempuan itu. Tiba-tiba Victoria menatap Nina, dari atas sampai bawah.
“Kamu karyawan baru?” tanyanya sambil menatap Nina, gadis cantik itu mengangguk.
“Sudah berapa lama?” tanya Victoria penasaran.
“7 bulan, Bu,” sahut Nina mantap.
Victoria kembali menelisik Nina, sebagai manager senior ia bisa menilai tipikal seperti apa Nina itu, entah mengapa, jauh di lubuk hatinya ia merasa iri dengan kecantikan gadis muda di hadapannya itu, hanya dengan make-up tipis, namun terpancar aura kecantikan luar biasa yang berasal dari dalam dirinya. Victoria seperti menangkap sinyal, kalau gadis ini karyawan yang istimewa. Ia bisa melihat dari cara berbicaranya, tatapan matanya dan gestur tubuhnya.
Akhirnya Laura dan Nina pun kembali ke ruangan mereka masing-masing, Nina masih ingat pesan Laura sebelum mereka berpisah, “Nina, sedapat mungkin hindari berurusan dengan Bu Victoria.” Kenapa memangnya? Apa perempuan itu jahat? Apa dia sangat berkuasa? Nina menghela napas, sepertinya banyak sekali rahasia yang harus ia kuak.
Sementara itu, ketika Nathan masuk ke ruang kerjanya, ia melihat sebuah totebag di mejanya. Emi menjelaskan kalau itu titipan dari Nina, ia mengangguk dan tersenyum. Lelaki itu segera membuka box makanan yang dititipkan Nina, matanya berbinar melihat beberapa potong sandwich yang terlihat menggugah selera itu. Ia mencobanya sepotong, ternyata sangat enak membuat wajah pria itu berseri-seri.
Ketika ia sedang asik menikmati sarapan spesialnya, tiba-tiba pintu ruangannya di buka tanpa diketuk terlebih dahulu, membuat lelaki itu tersedak karena terkejut.
Seorang pria yang sudah dikenal Nathan langsung masuk, ia nampak terkejut melihat Nathan yang terbatuk-batuk, ia melihat ke atas meja, terhidang beberapa potong sandwich yang terlihat menggugah selera. Nathan segera meraih gelas dan meneguk air putih untuk menetralisir tersedaknya. “Brengsek! Kenapa masuk nggak ketuk pintu dulu?” hardik Nathan. Lelaki yang baru datang itu menggaruk rambutnya sambil nyengir, “He he, sorry bos, aku lupa,” jawab Michael polos. Tanpa disuruh ia langsung duduk di samping Nathan. “Wah, sepertinya lezat, Tan. Aku nggak ditawari, nih?” Rengek Michael sambil menatap sandwich di meja. “Memang belum sarapan, Mike?” tanya Nathan melanjutkan makannya, Michael menggeleng. “Ya sudah, ambil sepotong aja, jangan lebih,” tegas Nathan. “Ha ha ha, sejak kapan bos yang satu ini pelit sama sarapan, biasanya kalau makanan langsung dikasih aku untuk dihabiskan.” Michael tertawa sambil menggerutu, namun tangannnya aktif meraih sepotong sandwich. “Ck, berisik! Ini beda,
Laura tertegun, mau apa lagi cowok julid ini ke mari, apa ada kaitannya dengan perubahan sikap Nina? Gadis itu masih berusaha menebak dan memahami situasi yang terjadi. Richard, lelaki yang disebut Laura julid itu tersenyum sarkastik. Laura paham, senyum itu ditujukan untuk sahabatnya Nina, karena mata pria itu tak pernah lepas dari menatap Nina.“Ehm, maaf Tuan Richard, sepertinya Anda ingin bergabung makan siang dengan kami,” ujar Laura sarkastik, “tapi maaf kami hanya ingin makan berdua, jadi tidak mengundang orang lain.”Pria itu menatap Laura dan tersenyum sinis. “Saya tidak butuh undangan kalian, justeru saya yang akan mengundang kalian untuk merayakan keberhasilan saya mendapatkan project baru dari bos.”Laura melirik Nina, gadis itu tidak bereaksi apa-apa, sedikit banyak ia bisa meraba situasinya.“Well, memang penting ya merayakan pekerjaan yang belum terlihat pasti hasilnya,” ujar Laura sinis.“Apa maksud kamu?” Richard terlihat jengkel.“Nggak ada maksud,” ketus Laura samb
Seorang lelaki berjalan dengan langkah panjang, bergegas menyusul Nina. Demi melihat Pak Ben, ia pun menghentikan langkahnya. “Selamat siang Pak, Ben.” Richard menyapa Pak Benjamin dengan sapaan yang ramah. Sebelumnya ia tidak tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir, tapi melihat lelaki paruh baya itu berdiri di sini, ia mengerti. Pak Benjamin, manager kawakan ini salah satunya. Richard sebenarnya merasa kesal, karena ia diberitahu mendadak, sehingga belum sempat mencari tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir. Padahal sebelum-sebelumnya ia diberi jeda 1 atau 2 hari, sehingga ia bisa melobi mereka untuk mendukungnya. “Siang Richard, jadi kamu dan Nina yang akan presentasi siang ini?” tanya lelaki paruh baya yang akrab dipanggil Ben itu. “Benar Pak Ben, Pak Nathan sendiri yang menyerahi tugas ini pada saya.” Richard berujar bangga. Pak Ben menatap Richard sambil mengerutkan kening, “Pak Nathan sendiri yang memberi tugas ini ke kamu?” ulangnya, Richard mengangguk sam
Semua orang terkejut, Nina pun berhenti dari presentasinya, mereka melihat ke arah sumber suara, Richard berdiri, dan berteriak dengan emosi bahwa Nina telah menjiplak laporannya. “Apa maksud Anda saudara Richard?” tanya salah seorang anggota komite. “Bapak-bapak dan ibu-ibu sudah melihat proposal saya, dan lihat! apa yang disampaikan perempuan ini, sama persis, dia menjiplak laporan saya.” Richard berkata dengan tajam, ia berjalan mendekat kepada Nina. “Bapak-bapak tahu, perempuan ini hanya anak kemaren sore yang belum mengerti apa-apa, tapi dia membuat laporan persis dengan milik saya, itu artinya dia menjiplak milik saya.” Kini semua mata menatap Nina, meminta penjelasan. suasana di ruang meeting itu menjadi tegang. Namun Nina tetap tenang, tak ada sedikit pun kepanikan di wajahnya. “Saudari Nina, apakah benar apa yang dikatakan saudara Richara?” tanya salah satu tim komite. Nina tetap tenang, ia menjawab dengan tegas, “saya tidak pernah me
Tidak lama setelahnya pintu terbuka, dua orang security masuk, Emy memberi kode ke arah Richard, kedua security itu pun memegang kedua tangan lelaki itu. “Hei tunggu! Apa yang kalian lakukan?” Richard berteriak. “Saya tidak ingin ada kekacauan di ruang ini, energy negatif harus dikeluarkan.” Nathan berkata dengan dingin. “M-maksudnya bagaimana, Pak?” tanya Richard gugup. “Apakah Anda lupa? Kemarin Anda datang ke ruangan saya, mengatakan kalau Nina tidak becus kerja dan pemalas, lalu Anda menawarkan diri agar Anda mengambil alih tugas itu, dan menjanjikan akan selesai besok pagi,” tegas Nathan. “Tapi, bukankah bapak setuju?” tanya Richard, ia merasa terpojok dan dikuliti. “Ya, saya mengangguk bukan berarti menyerahkan begitu saja tugas ini, untuk itu meeting ini diadakan, saya memberikan kesempatan kepada Anda untuk membuktikan kemampuan Anda.” Nathan menatap Richard dengan tajam. “Tapi apa? Anda bisa memaparkan tapi tidak bisa mempertanggung jawabkan, menjawab satu pertanyaan
“Jangan senang dulu gadis sombong! Aku nggak akan tinggal diam, aku akan mencari berbagai cara untuk menyingkirkanmu.” Lelaki itu menyeringai, tatapannya sangat tajam, dipenuhi dendam dan kebencian kepada Nina, ia segera berbalik dan pergi meninggalkan kantor besar itu.Sementara itu, Nina tengah bersiap-siap untuk pulang, karena jam pulang sudah tiba, apalagi besok weekend, para karyawan biasanya sangat bersemangat karena bisa memanfaatkan 2 hari itu untuk berkumpul dengan keluarga dan orang-orang terkasih.“Nina!” panggil Laura. Gadis itu bergegas masuk dan memeluk Nina.“Hei Miss bawel, apa-apaan ini?” tanya Nina kebingungan.”“Selamat ya, Nina. Akhirnya kamu berhasil mendapatkan project besar ini,” ujar Laura ceria.“Eh, kamu tahu dari mana, Ra?” tanya Nina heran, ia berpikir belum banyak yang tahu karena baru ditetapkan siang tadi.“Hmm, ketinggalan info kamu, sekarang kamu lagi jadi trending topik loh gosip di kantor ini,” ujar Laura bangga.“Ha? Masa sih? Kok cepat banget, ka
Tante Sophia menghela napas sebelum ia berkata, “Nina, cinta sejatinya tak bisa diukur dengan materi, sebanyak apa pun material yang diberikan tidak bisa dijadikan patokan kalau seseorang sungguh-sungguh mencintaimu.”Nina terdiam, ia mencoba mencerna kata-kata Tante Sophia. “Dan sebagai seorang wanita, harus mempunyai harga diri, jangan pernah meminta apa pun dari seorang lelaki sebelum menjadi pasangan yang resmi.”“Nina mengerti Tante, Nina tidak pernah meminta apa pun sama Nathan,” jawab Nina sambil tersenyum, “Oya menurut Tante, apa Nina harus kembalikan laptop ini?”“Hmm, kalau Nathan benar-benar tulus, dia akan tersinggung jika kamu menolaknya, disamping itu mungkin dia melihat jika kamu benar-benar membutuhkan laptop ini.” Tante Sophi berpendapat.“Benar Tante, Nathan pasti tahu apa yang Nina pikirkan, karena belakangan ini Nina sering diganggu oleh rekan kerja yang dengki sama Nina, dia mensabotase hasil kerja Nina.” Nina menjelaskan masalah gangguan yang ia hadapi di kantor.
Nina tertegun, sepertinya Nathan sangat kesal dengan kejadian barusan, maklum ia belum terbiasa dengan kehidupan anak-anak kost, yang suka bergurau seenak mulut mereka.“Nathanny kamu jangan ambil hati kejadian tadi, mereka Cuma bercanda,” Nina meyakinkan.“Becanda? Itu sudah pelecehan, nyiul-nyiulin kamu, memang kamu burung?” Nathan masih terlihat emosi.“Ya ampun Nathanny, cowok-cowok kalau lagi pada ngumpul ya memang begitu, tapi mereka nggak pernah berlaku kurang ngajar kok sama aku atau cewek-cewek lain yang ngekost di situ,” kilah Nina.“Pokoknya nggak bisa, kamu harus pindah dari sana.” Nathan bersikeras.Nina menghela napas, “aku harus pindah kemana, menurutku lingkungan di situ cukup baik, mereka bertetangga dengan baik, saling peduli dan saling membantu, aku sudah lama tinggal di situ.”“Kamu tenang saja, aku yang akan atur semuanya,” ujar Nathan, ia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi asistennya. Nathan mengintruksikan Emi untuk segera mencarikan appartement siap