Mata biru, rahang keras, bibir tebal dan kulit putih yang kecokelatan membuat penampilan pria di hadapan Arren begitu mempesona. Wajahnya sangat tampan. Tatapannya pun memancarkan gairah yang sukar dijelaskan.
“Sudah puas mengamati wajahku?”
Satu hal. Suara itu. Suara yang sangat dibenci oleh Arren. Suara yang selalu menyakiti hati dan alat vitalnya selama beberapa waktu. “BAJINGAN!”
Arren menggeram kemudian hampir menyundulkan kepala untuk mengusirnya, sayangnya … pria itu sangat lihai dalam menyiksanya lagi dan lagi. “Tenanglah, nanti infusmu copot!” Leon menahan dahi Arren yang hendak dihentakkan kepadanya.
Hangat.
Telapak tangan pria itu begitu kontras dengan kondisi Arren yang dingin dan pucat.
“Lepaskan!”
Arren menggelengkan kepala, berusaha menjauhkan diri dari sentuhan pria tadi. Untuk sesaat, Arren baru menyadari bahwa ada banyak selang yang terhubung pada tubuhnya. Kamarnya pun tidak lagi suram. Semuanya tampak terawat dengan baik. Wajahnya … ketika Arren melihat ke cermin, semuanya tampak begitu berbeda.
‘Apakah orang ini merawatku?’ gumamnya dalam hati. Arren masih belum bisa percaya.
“Kau harus banyak beristirahat.”
Pria itu kemudian beranjak dari ranjang Arren dan pergi begitu saja. Perilakunya masih sama seperti ketika datang dan pergi dari kamar ini seenaknya. Hanya saja, ada satu hal yang berbeda: dia tak lagi memperkosanya.
“Hiks ….”
Mengingat hal itu, hati Arren kembali sakit. Ia sangat takut. Sebenarnya, apa yang terjadi? Mengapa seorang pria asing menculik dan memperkosanya? Lalu secara tiba-tiba … memberikan perawatan seperti ini?
“Ibu ….”
Hanya tangis pilu yang dapat menemani keterasingannya di tempat ini. Arren tidak tahu, harus kepada siapa ia menanyakan segala risau di hati.
***
Malam harinya, seorang dokter tiba-tiba datang untuk memeriksanya. Awalnya, Arren bersikap waspada, namun keramahan dokter dan perawat itu meruntuhkan penjagaannya.
“Syukurlah, Anda sudah membaik, Nona.”
“Ya ….”
Arren kikuk. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana.
“Tuan Leon pasti akan sangat senang. Beliau telah mengeluarkan biaya ribuan dollar untuk mendatangkan segala kebutuhan medis Anda. Sungguh beruntung bisa memiliki kekasih sepertinya,” ucap sang perawat sambil tersenyum menggoda.
“Kekasih? Cih!” Arren mendecih. Bukannya bersyukur, ia malah bingung. Apa yang bisa dilakukannya? Bahkan, keberadaannya di sini pun bukan atas kemauan sendiri. Beruntung? Yang benar saja!
“Ellen, kau terlalu banyak bicara,” Dokter itu memperingatkan si perawat agar diam. Ia lalu memeriksa keadaan Arren untuk kali terakhir. “Saya akan datang kembali untuk memastikan perawatan Anda berjalan sempurna. Untuk sementara, mohon jangan terlalu banyak bergerak.”
Arren mengangguk. Setidaknya, luka lebam yang dideritanya juga semakin membaik. Dulu, Arren sering dipukuli oleh Ayahnya ketika pria itu sedang mabuk. Meski sering menghindar namun, kekuatan Arren tidak sebanding dengan tenaga ayahnya yang sedang hilang kesadaran. Beruntung, insiden itu hanya sampai pada pemukulan, bukan pemerkosaan atau pembunuhan.
“Hhh ….”
Arren benar-benar bernasib sial. Seharusnya, ibunya tidak meninggal terlalu cepat. Atau, jika memang harus meninggal, seharusnya ia mengajaknya ikut serta. Untuk apa Arren berada dalam dunia yang kejam seperti ini? Tanpa seorang pun yang mempedulikan, tanpa bahu untuk bersandar.
Oh! Takdir kejam sungguh terjadi tanpa belas kasihan.
“Tersenyumlah, Nona. Anda akan segera sembuh,” ucap perawat itu kemudian pamit undur diri. Ia bahkan tidak tahu bahwa murungnya Arren bukan karena luka raga yang dideritanya, melainkan … luka jiwa yang sejak dulu mendera.
***
“Kau … sudah sehat?”
Keesokan paginya, pria itu kembali datang. Leon, kata sang dokter. Itu lah namanya.
“Apa yang kau inginkan?”
Lelah bertengkar, Arren akhirnya tidak lagi menyerang Leon. Lagi pula, dokter melarangnya untuk banyak bergerak. Setidaknya, hari ini, ia ingin berbicara dengan si penculik itu dengan benar.
“Bebaskan aku! Aku akan menebus hutang ayahku!”
“Hm … menarik.”
Bukannya membebaskan Arren, atau setidaknya … memikirkan untuk menuruti kemauan gadis itu, Leon malah tersenyum senang. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Arren dengan wajah berbinar. “Gadis yang lucu.”
Pria itu berjalan mendekat, kali ini … ia tidak memaksa Arren untuk melakukan apapun. Bahkan, kata-kata ‘budak’ tidak lagi terlontar dari mulutnya itu. “Kau sudah tahu siapa aku?” tanyanya seraya mendekat dan duduk di tepi ranjang.
Arren menghindar. Ia beringsut menjauh sehingga … setidaknya tidak bersentuhan dengan penculik laknat yang telah merenggut kehormatannya itu! “Apa peduliku? Kau hanyalah seorang bajingan.”
Leon terkekeh. Perkataan Arren memang benar. “Mendengar kata ‘bajingan’ dari bibir kecilmu itu sungguh menyenangkan. Ternyata, begini rasanya mendengar kutukan secara langsung.”
“Dasar gila!”
Pria itu kembali tertawa, namun detik kemudian, ia tampak memindai Arren dari ujung kaki hingga ujung kepala. Melihat rona wajah Arren yang kembali cerah dan luka di kaki yang berangsur membaik, Leon tampak lega.
“Baguslah. Kau sudah cukup sehat.”
Arren merasa diperlakukan seperti binatang ternak. “Apa maksudmu? Memangnya, kalau aku sudah sehat, kau mau apa?” cecarnya sambil menatap Leon tajam.
Penampilan Arren saat ini sungguh seperti kucing hutan yang mencoba melawan macan. Menggemaskan. “Tentu saja kau harus melayaniku kembali! Memangnya, untuk apa lagi?”
Sejak saat itu, Arren memutuskan untuk tidak lagi mengobrol dengan pria bajingan itu. Siapa tadi namanya? Leon. Leon si bajingan!
Ayo kirimkan Gem untuk mendukung karya ini naik peringkat! Follow juga agar terus update cerita terbaru dari Madam, xoxo.
“Katakan! Apa yang terjadi semalam?” Venn, selir Leon, mendesak mata-mata yang ada di rumah utama untuk menceritakan segalanya. Sudah beberapa hari ini, Leon tidak tampak mengunjunginya di Paviliun Barat. Pria itu sibuk dengan tikus jalanan yang baru saja dipungutnya, Arren. “Nona muda itu sakit, Nyonya. Jadi … tuan merawatnya,” ucap pelayan itu dengan gemetar. Ia takut salah bicara. Rahang Venn mengeras. Bangunan ini begitu sepi tanpa malam panas dengan sang pujaan hati. “Untuk apa kau memberiku rumah seperti ini jika tanpa kita tinggali, Tuan?” Venn menggumam. Hatinya begitu sakit mendengar bahwa Leon seolah melupakan segala hal tentangnya. Awalnya, Leon adalah miliknya seorang. Sekarang? Venn harus rela berbagi kekasih dengan gadis asing yang bahkan tak dikenalnya. “Besok! Besok undang dia untuk pesta teh. Kau harus menyampaikannya pada si pelayan pribadi. Mengerti?” “Pe–pesta teh?” Pelayan itu terkesiap. Keringat dingin segera mengucur dari dahinya. “Ya! Kau mengerti, kan,
Arren berjalan setengah pincang untuk mencapai ke rumah kaca, sesuai petunjuk Poppy. Entah kenapa … semua hal di mansion ini aneh sekali. Pertama, pemiliki rumah ini adalah penculik dan pemerkosa. Arren harus menjebloskannya ke penjara! Kedua, selir yang cemburu? Arren dapat merasakan bahwa wanita yang bernama Vennina itu sepertinya merasa tersaingi oleh kehadirannya. “Aku akan berbicara padanya bahwa aku bukanlah saingannya!” Mendengar kata ‘saingan’, membuat bulu kuduk Arren meremang. Hanya orang bodoh yang bisa mencintai pria bejat seperti Leon. Tidak. Arren bukan lah orang seperti itu. “Selamat datang, Nona ….” Seorang pelayan tampak menyambut Arren yang tampak memasuki rumah kaca. Sebuah meja telah terhias indah, dengan kepungan bunga mawar di sekitar mereka. Aromanya yang harum menambah kesan elegan dalam ruangan itu. Arren segera menyukai perjamuan yang diadakan. “Halo,” sapa Arren ramah. Seorang wanita berusia sekitar 30 tahun-an tampak bangkit dari kursinya. Wajahn
Seorang pelayan yang terkejut melihat salah satu majikannya memuntahkan darah. Segera, Venn memanggil seseorang untuk membantu Arren yang terkapar tak berdaya. "Panggil dokter!" teriaknya berpura-pura panik. Hanya satu pelayan yang tahu bahwa itu adalah tipu muslihat dari Venn, sedangkan pelayan yang lain bahkan tidak berani untuk berpikir ke arah sana. Tak lama kemudian, Dokter pribadi Leon berlari ke dalam rumah kaca. "Ada apa ini?" tanya dokter dengan cepat, sambil memeriksa tanda vital pasien. "Dia tiba-tiba muntah darah dan pingsan," ucap Venn, yang sebelumnya telah menyuntikkan zat halusinogen agar Arren tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya dengan jelas. Dokter itu tampak panik karena menemukan tanda-tanda keracunan pada tubuh Arren. "Pindahkan dia ke kamar!" perintah sang dokter kepada para pengawal yang tadi ikut mengiringinya. Para pengawal dengan cepat membawa nona yang tak sadarkan diri itu kembali ke kamarnya di lantai tiga. Dokter segera memberikan pertolongan per
Proses pencarian tersangka menjadi topik panas di mansion itu. Semua orang tampak cemas dan ragu … siapa sebenarnya yang telah memprovokasi tuan mereka sampai sedemikian rupa? “Cari mati,” gumam seorang pelayan yang melintas di depan ruang kerja sang tuan. Setelah mengantarkan dua cangkir teh kepada majikannya, pelayan itu kembali ke dapur, ke tempat yang seharusnya. Ia lalu meneruskan gosip dan desas-desus tentang pencarian menyeluruh oleh tim keamanan pada pelaku peracunan kekasih baru sang tuan. *** "Apakah mungkin Nona Venn yang melakukannya?" tanya Ford, ajudan Leon yang baru saja bergabung setelah menuntaskan misi pengintaian di markas Napoli, rival bisnis Leon yang beberapa waktu ini telah mengusik ketentraman kelabnya. "Venn? Hmm..." Leon terlihat memikirkan kemungkinan tersebut. Bagi para pria, persaingan dalam wilayah kekuasaan mungkin sudah hal yang biasa, tetapi apakah hal yang sama berlaku juga bagi para wanita? "Aku akan mencari tahu," ujar Leon dengan serius. Ford t
Pengawal yang bertugas menjaga keselamatan Arren memintanya untuk turun dari pohon. Sungguh, situasi ini dapat menjadi poin hukuman dan juga pengurangan gaji jika saja majikan mereka mengalami cedera."Tenanglah, aku jago memanjat," sahut Arren dengan keyakinan. Ia menggerakkan kakinya secara perlahan-lahan, naik ke atas satu persatu hingga mencapai ujung dahan. Di ujung sana, terdapat sarang burung pipit yang kehilangan salah satu anaknya. "Nah, baik-baik ya, burung kecil," ucap Arren dengan lembut, kemudian meletakkan kembali burung yang terjatuh tadi ke dalam sarangnya.Arren hendak beranjak pergi untuk menuruni batang pohon yang kokoh namun licin itu, namun, nahas, kakinya terpeleset. "Aaaaaaakkkhh....."Arren terpeleset, dan hampir terjatuh. Bisa-bisa, kakinya terkilir. Untung saja, seseorang menangkap tubuhnya tepat waktu. Arren benar-benar bersyukur. Rupanya, pengawal yang ditugaskan oleh Leon ada gunanya juga. "Siapa yang sedang menyelamatkan siapa?" tukas Leon dengan rasa
"Sebelum itu, jelaskan dulu, mengapa tadi Anda tiba-tiba menyeret saya ke dalam gudang?" tanya Arren sambil menunduk, untuk menyembunyikan ekspresi takut dan malu yang dirasakannya. Leon menarik alisnya, menganggap bodoh pertanyaan dari gadis yang telah menawan hatinya. "Kau bodoh atau tidak paham?" tanya Leon balik. “Apa maksud Anda?” "Aku sudah memperingatkan para pengawal agar menjagamu supaya tetap aman. Dan, apa yang tadi kusaksikan? Kau hampir patah tulang!" bentak Leon sambil mencengkram kedua lengan Arren yang tampak rapuh. “Aww ….” Seketika, Leon melepaskan cengkeramannya karena ia tahu bahwa Arren meringis kesakitan. Wajah gadis itu tampak pucat dan ketakutan. "Maaf, maksudku. Kau jangan membahayakan diri sendiri! Mengerti?" tegas Leon supaya Arren lebih berhati-hati di masa depan. "Baik, Tuan," sahut Arren patuh. Entah mengapa, perangai Leon tampak berbeda. Ia tidak lagi bersikap seenaknya. Apa ini? Apakah hati Arren mulai luluh kepadanya? Arren segera menepuk keras w
"Tugas terakhirmu adalah menjadi kambing hitam. Aku akan menciptakan sebuah cerita untuk melindungiku dan menyalahkanmu atas peracunan itu," ucap Venn dengan nada ancaman.Hillis bersimpuh dan memohon pada Venn agar tidak menjebaknya seperti itu. "Kasihanilah saya, Nyonya. Mana berani saya berbohong seperti itu?" Air mata Hillis mengalir deras dengan tubuh yang gemetar. "Kau akan menjadi orang yang bertanggung jawab, dan keselamatan keluargamu akan kujamin. Harus seperti itu!" tegas Venn tanpa ingin memberikan kesempatan untuk bernegosiasi. “Oh Tuhan!” pekiknya putus asa.Hillis memucat, ia dapat merasakan keputusasaan yang memenuhi hatinya. Namun, dia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Keluarganya dan nyawanya berada di tangan Venn. Dia hanya bisa menuruti perintahnya."Ingat, Hilis," Venn menambahkan dengan nada tajam. "Jika rencana ini berhasil, keluargamu akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Jika gagal, kalian akan menerima akibatnya."Hillis mengangguk dengan sedih semb
"Kapan dia akan sadar?" tanya Leon penuh kekhawatiran. "Dia akan cepat sadar, Tuan. Anda tidak perlu khawatir. Ini racun yang sama seperti yang pernah didapatkan oleh Nona Arren. kita sudah punya penawarnya," ucap dokter dengan nada yang meyakinkan."Hhhh.. Baiklah, terima kasih atas bantuanmu," kata Leon sambil berlalu. Ia sudah melaksanakan kewajibannya sebagai tuan rumah terhadap tanggungannya, saat ini, Leon harus kembali bekerja.Venn tidak mengetahui bahwa, cara Leon memperlakukannya sangat berbeda dengan Arren, ketika sama-sama sedang sekarat. Hanya sang dokter dan para pelayan yang mengetahui hal itu. Jika saja, Venn saat ini telah sadar, ia pasti sudah mengamuk dan menggila untuk menarik perhatian sang kekasih yang kehilangan bara cinta terhadapnya.*"Leon, apa yang terjadi? Kenapa mansion begitu gaduh?" tanya Ford yang baru saja turun dari mobil. Ia membawa beberapa botol minuman beralkohol terbaru untuk diuji oleh Leon.Bisnis Leon yang berhubungan dengan dunia malam, men