Glen menjentikkan jarinya di meja, merasa kesal karena Akiko telat 5 menit. Padahal gadis itu sudah berusaha cepat, tapi tetap saja telat karena jalanan agak ramai.
"Aku tidak tahu kalau Mr. Eloise sudah memiliki cucu," kata Glen, mengunci pandangan pada Ethan karena sejak tadi anak itu menempel pada Akiko dengan manja. Bahkan, jelas-jelas dia memeluk Akiko erat seolah tidak mau dilepaskan. "Ini bukan anakku," tegas Akiko. Lalu, beranjak mengantar Ethan ke bangku lain agar Glen tidak merasa terganggu. Setelah memastikan Ethan mendapat makan dan minum yang dia pesan, barulah dia kembali ke hadapan Glen. "Nona Eloise, aku menyuruhmu datang ke sini bukan untuk buang-buang waktu," Glen menatap jengkel karena Akiko hanya memperhatikan Ethan saja. Bahkan, Akiko sempat menyuapi Ethan dengan lembut, tanpa memerdulikan Glen. "Sorry," ucap Akiko. "Siapa dia?" tanya Glen sambil melirik Ethan. "Ethan, dia tersesat jadi aku akan mengantarnya pulang setelah ini," jawab Akiko seadanya. Sedangkan Glen, justru semakin memberikan tatapan menginterogasi. "Memangnya, aku mengizinkanmu pergi?" Mendengar pertanyaan itu, Akiko sontak mengerutkan alis bingung. "Dengar ini, Nona Eloise—""Akiko, namaku Akiko," potong gadis itu karena sebal karena Glen terus menyebut marga keluarganya. "Aiko," panggil Glen sengaja. "It's, Akiko, Sir," tekan Akiko kembali. "Panggil aku Glen. Lagi pula, aku bebas memanggilmu semauku. Aiko jauh lebih cocok untuk wajah manismu itu," mendengar ucapan Glen, Akiko hanya menghela nafas gusar. Sekeras apa pun dia menegaskan, Glen tidak mau dengar kalau bukan dari kemauannya sendiri. "Terserah saja, asal jangan panggil marga keluargaku," ucap Akiko, sehingga Glen terkekeh pelan. "Kenapa? kau tidak mau menggunakan nama itu lagi karena Mr. Eloise sudah menjualmu demi perusahaan? bodohnya, Mr. Eloise melepas berlian indah sepertimu," Glen tertawa pelan. Merasa sangat senang sudah merendahkan Akiko. Kemudian, Glen memberikan sebuah kertas bukti kontraknya dengan Akiko. "Baca kontrak ini baik-baik," ujarnya. Kontrak berlaku sampai Glen Mckenzie yang mengakhirinya. Akiko Eloise, sepenuhnya menjadi hak milik Glen Mckenzie. Semua biaya hidup Akiko akan ditanggung oleh Glen Mckenzie. Akiko agak bingung membaca kontrak itu. Kalau Glen mau membiayai hidupnya, maka dia tidak perlu repot-repot mencari kerja lagi. Tapi, tidak mungkin Glen mau melakukan hal sebaik itu tanpa imbalan. "Bagaimana?" tanya Glen. "Beri aku pengecualian," pinta Akiko. Dia ingin menulis aturan, tentang apa yang tidak boleh Glen lakukan selama kontrak. "Satu," jawab Glen. Masih mending diberi satu, daripada tidak sama sekali. Jadi, Akiko mengambil satu aturan paling penting "No sex," tegas Akiko. "Aiko, padahal tujuanku adalah untuk itu. Lalu, untuk apa aku membawamu pergi?" bingung Glen yang sebenarnya tidak terima dengan permintaan Akiko. Tapi, Glen hanya menyimpan catatan kontrak itu di sakunya seolah setuju. "Aku bisa bekerja di perusahaanmu," ujar Akiko sambil memberikan berkas-berkas miliknya. Termasuk, data prestasinya selama ini. "Oke, ayo pergi sekarang," ajak Glen, lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Akiko yang segera mengajak Ethan untuk ikut. ***Akiko memencet bel rumah Ethan, lalu mengetuk pintu beberapa kali karena tidak ada orang datang. Padahal, dia sedang buru-buru karena Glen menunggunya di mobil. "Aku tidak ingin pulang, Kak…," lirih Ethan, memeluk kaki Akiko erat. "Kau tidak bisa pergi bersamaku, aku tinggal bersama orang lain," jelas Akiko. Dia tidak yakin, Glen mau berbaik hati mengizinkannya membawa Ethan. Akhirnya pintu terbuka. "Sorry, this—""Anak kurang ajar!" bentak seorang wanita paruh baya, sambil menyeret Ethan masuk ke dalam rumah. Sementara anak laki-laki itu menangis sejadi-jadinya, berusaha melepaskan diri. Tapi, tangisannya justru membuat sang Mama semakin marah. Akhirnya, dia memukul Ethan menggunakan tongkat baseball. "I'm sorry, Mama…," isak Ethan sambil melirik ke arah Akiko seolah menjelaskan kalau beginilah nasibnya juga pulang. Akiko menyesal, seharusnya dia bawa saja Ethan tanpa bertemu dengan mamanya. "Stop! aku akan menelepon polisi," ancam Akiko sambil melindungi Ethan, sehingga wanita itu berhenti melayangkan tongkat baseballnya. Tapi, siapa sangka, wanita itu justru ikut memukul Akiko. Untung saja, dia berhasil melindungi kepala, sehingga hanya tangannya saja yang terluka. "Tidak perlu ikut campur urusan keluarga kami!" bentaknya, berusaha mengambil Ethan dari Akiko. "Bagaimana bisa aku tidak ikut campur jika kau memukulnya di depan mataku?!" hardik Akiko. Pantas saja, Ethan takut pada mamanya. Dia saja nampak seperti orang gila yang tidak punya hati. Sedangkan wanita itu, langsung menatap sinis pada Ethan. "Kau mengadu pada orang lagi, hah!" Dia berjalan mendekati Akiko dan Ethan, sehingga Akiko memutuskan untuk segera keluar dari sana secepatnya. Tapk, wanita itu sudah lebih cepat berlari menutup pintu. "Aku menyesal punya anak sepertimu!" geramnya pada Ethan. "Memangnya, dia mau punya Mama sepertimu? Tidak!" balas Akiko yang sudah puncak emosi. "Kau memutuskan untuk merawatnya, sejak masih dalam kandungan. Lalu, kenapa kau memperlakukannya begitu buruk ketika sudah lahir? kalau merasa belum siap punya anak, jangan pernah berani untuk hamil!" lanjutnya. "Punya hak apa kau mengaturku? kau tidak tau apa pun, bodoh," jawaban wanita itu membuat Akiko semakin kesal. "Aku tau, aku tau bagaimana sakitnya punya orang tua mengerikan sepertimu," mendengar balasan Akiko, wanita itu semakin tersulut emosi. "Masih bocah, tidak perlu sok dewasa!" cibirnya. "Umurku memang jauh lebih muda darimu, tapi kau yang dewasa ini justru tidak punya akal sehat. Apa kau tidak kasihan pada Ethan?" tanya Akiko. "Bawa saja anak itu pergi, dia hanya pembawa sial. Karena dia lahir, suamiku menganggap kalau aku sudah tidak menarik." Dia menunjuk suaminya yang sedang berjalan sempoyongan sambil mabuk dan merokok. Bahkan, bau alkohol sampai menyeruak ke seluruh ruangan. "Dasar pelacur," desisnya saat menatap mama Ethan. Tentu saja, dia langsung emosi dan berlari memukul suaminya sendiri tanpa ambun. Darah sudah berceceran di lantai, tapi wanita itu masih melampiaskan amarah seperti menggila. Sedangkan Akiko, memeluk Ethan erat saking takutnya melihat kejadian mengerikan itu. "Papa…," lirih Ethan, melihat papanya tegas di tangan mamanya sendiri. "Sekarang, seluruh hartamu menjadi milikku. Pria tua tidak tau diri sepertimu memang pantas mati," Setelah merasa puas, wanita itu mengalihkan pandangan pada Akiko dan Ethan yang masih duduk di pojok ruangan. Akiko bergidik ngeri melihat bagaimana kejamnya wanita itu. Entah bagaimana Ethan bisa bertahan selama ini. Kemudian, wanita itu mulai melayangkan tongkat baseballnya kembali. Menghantam tubuh Akiko, yang berusaha melindungi Ethan. Bayangannya kembali ke masa lalu, di mana dia harus meringkuk menahan sakit dari siksaan orang tuanya. "Ahhh…," desis Akiko merasa tubuhnya hancur karena pukulan-pukulan itu. Namun saat matanya sedang tertutup rapat-rapat untuk menahan sakit, tiba-tiba pukulan itu berhenti. Karena penasaran, dia mendongakkan kepala untuk melihat kenapa pukulan itu terhenti. Seketika, Akiko terdiam membeku melihat darah yang keluar dari mulut wanita itu. Kemudian, muncullah Glen dari belakang sambil melepas pisau panjang dari perut wanita itu."Ahh … tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang dia tancapkan pada perut mama Ethan. Kemudian, membuang pisau itu ke sembarang arah. Bersamaan dengan itu, tubuh mama Ethan ambruk dengan darah mengalir di lantai. "Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen. "Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun. "Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Sementara Akiko, segera menggendong Ethan. Padahal, tubuhnya sudah sangat sakit. Tapi, dia masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal. "Kalau kau mati, bagaimana dengan hutang papamu, hah?" tanya Glen sembari memasangkan sabuk pengaman pada Akiko. "Sorry," lirih Akiko masih
"Untuk apa kau ke rumah sakit?" tanya Glen saat Akiko baru saja sampai di gedung apartemen. Ternyata, pria itu sudah menunggu Akiko, karena mungkin dia paham bahwa Akiko tidak tau password apartemennya. Sementara Akiko berpikir, pasti Glen habis mengikutinya secara diam-diam untuk memata-matai. "Kau yang menyakiti aku, kenapa malah bertanya?" sahutan ketus dari Akiko, membuat Glen terkekeh pelan. Ia tersenyum menyeringai, melingkarkan tangannya di pinggul Akiko agar berjalan mengikutinya. "Angkuh juga kau ternyata," gumam Glen. Glen berpikir, mungkin semua keluarga Eloise memiliki sifat angkuh seperti Akiko. Gadis itu bahkan tidak bergeming sedikitpun ketika tangan kekar Glen mengusap pinggulnya sensual. "Kau bertemu kekasihmu, iya, 'kan?" Glen merasa curiga pada Vian, dokter yang Akiko temui beberapa saat lalu. "Bukan," jawab Akiko seadanya. "Lalu, siapa dia? kenapa kalian terlihat begitu dekat?" tanya Glen lagi. "Dokter," jawab Akiko lagi, kali ini sambil mencuci tangan. Sedang
"Glen!" teriakan seorang wanita, membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan. Awalnya, mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor Glen untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Wanita itu memakai make up tebal, bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen. Padahal, sebelumnya mereka hanya kenal sebagai pebisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak, sehingga tentu membuat Glen geram. Apalagi, pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja. Mungkin karena memakai sepatu high heels, dia jadi gampang jatuh ke lantai walau dorongan tidak begitu kencang. "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak paham posisimu, hah?" tanya Glen dengan nada mengi
"Bagaimana, Aiko? mau pergi, atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise. Pria itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat. Sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang. "Akiko … Papa ingin minta maaf. Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi, bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, andai saja Papa meminta maaf sejak dulu, aku tidak akan sehancur ini. Andai Papa memperlakukan aku layaknya anak sejak dulu, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang, aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan begitu, Akiko. Papa benar-benar minta maaf atas segalanya,"
Suara getar telepon terdengar. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Akiko hanya menatap acuh. Telefon itu dari Vian, pasti dia sangat bingung karena Akiko menghilang begitu saja. Sedangkan Akiko sudah tegas terhadap keputusannya sendiri untuk tidak ikut pengobatan apapun. Beberapa hari ini Akiko mulai bekerja di perusahaan Glen. Perusahaan yang membuat senjata api, alias pistol. Bisa di akui, kalau Glen ini sangat cerdas hingga bisa mengelola perusahaan sebesar ini. Bahkan, sampai berkolaborasi dengan kepolisian dalam membuat samentara api. Walau, pria itu jadi sering kelelahan dan berujung emosi. Banyak orang berpikir, bahwa perusahaan Glen sangat keren karena membantu militer negara. Tapi, Akiko yang tau sisi gelapnya jadi hanya bisa diam. Seperti, Glen yang sering menggunakan pistol untuk hal salah. Istilahnya, Glen memanfaatkan hal itu untuk mendukung kejahatan secara diam-diam. "Aiko, kemarilah," pinta Glen, mengisyaratkan gadis itu untuk duduk di pangkuannya seperti b
"Pakai ini, malam nanti kita akan pergi ke suatu tempat. Jadi, pastikan pakaian ini cocok," Glen memberikan sebuah dress hitam pendek yang nampak sangat mewah. Beberapa detik kemudian, Glen terdiam karena baru sadar bahwa Akiko hanya memakai handuk saja karena baru selesai mandi. "Bisakah kau mengetuk pintu dulu?" tanya Akiko kesal karena Glen masuk ke kamarnya sembarangan. Walau apartemen ini memang milik Glen, tapi Akiko juga butuh privacy. Untung saja handuk yang Akiko pakai adalah jenis kimono sehingga tidak begitu terbuka. "Terserah aku," sahut Glen acuh sambil melemparkan dress itu kepada Akiko. "Tidak ada yang lain?" tanya Akiko setelah mengamati dress itu. "Kenapa memang?" banyak Glen balik. Padahal, dia sudah memiliki dress terbaik untuk Akiko, tapi gadis itu malah ingin yang lain. "Aku tidak suka pakaian pendek," jelas Akiko lalu memutuskan untuk membuka lemarinya. Mengeluarkan sebuah dress panjang elegan warna abu-abu. Tapi, Glen hanya diam saja saat Akiko ingin menggan
"Kau hidup seperti iblis, Glen. Ikutlah denganku, hentikan perusahaan bodohmu itu. Apa kau sadar bahwa perusahaanmu itu mendukung tindakan kriminal?" cibir Marlin, berdiri melipat kedua tangan di dada saat bicara dengan Glen. "Aku tau, tapi aku suka. Aku sudah hidup dalam kegelapan sejak dulu, aku tidak ingin membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jadi, kau tidak perlu tiba-tiba sok peduli padaku. Sejak dulu kau hanya ingin menjadi yang terbaik tanpa peduli pada aku," sahut Glen, menyalakan rokok dan menghisapnya santai. "Apa kau tidak punya sisi kemanusiaan sedikit pun, Glen?" tanya Marlen, berusaha membujuk adiknya itu. Tapi, kepercayaan Glen pada Marlen sudah hancur karena masa lalu. Andai saja Marlen membela Daddy–nya, pasti Glen masih menyayangi Marlen. Sayangnya, dia justru membela sang Mommy yang jelas-jelas salah karena berselingkuh pada saat itu. "Aku tau, banyak yang mati karena karya hebatku, 'kan? aku selalu menciptakan model pistol baru yang sangat cocok untuk
"Pagi," sapa Glen yang baru saja selesai mandi. Pria itu tampak lebih tampan, dengan rambutnya yang belum sepenuhnya kering. Dengan wangi maskulin, aroma Glen mulai mendekati Akiko yang sedang menyiapkan sarapan. Kecupan pagi seperti biasa mendarat di bibirnya. Akiko bahkan sampai heran kenapa Glen bisa menciumnya semudah itu. Padahal, Glen termasuk orang yang memiliki gengsi tinggi. Dia tidak akan mungkin mau mencium gadis yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. "Kenapa kau bangun sangat pagi? aku jadi tidak bisa melihat wajahmu saat bangun," tanya Glen, mengambil segelas kopi yang baru selesai Akiko buat. "Aku selalu bangun di jam yang sama," jawab Akiko. Dia sudah menyetel alarm, tentu saja selalu bangun tepat waktu. Dia tidak mau Glen marah hanya karena dia telat menyiapkan sarapan. "Hari ini akan ada tamu penting di kantor, pakailah dress yang bagus," ujar Glen. "Mereka tidak akan mengamati aku," sahut Akiko. Bingung saja kenapa Glen selalu menyuruhnya memakai dress ba