Akiko masih berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap luka di bahu yang sedang dibersihkan. Semalam setelah kejadian penembakan di gang, Akiko langsung pergi ke rumah sakit terdekat. Beruntung, peluru tidak bersarang terlalu dalam sehingga tidak memerlukan operasi besar. Jadi, Dokter langsung mengizinkannya pulang saat itu juga.
Gadis berambut pendek itu membersihkan sisa obat dengan kapas untuk ganti perban. Perih, tapi harus ditahan agar cepat sembuh. Apalagi, tangannya kini jadi susah digerakkan karena luka tersebut. "Kouma," panggil Akiko saat anjingnya menggonggong, seolah sedang menyapa. Kouma sudah terlatih, jadi ketika dia merasakan ada yang aneh dari Akiko, pasti langsung mengisyaratkan agar Akiko duduk. "Terima kasih," ucap Akiko sambil memberikan camilan anjing. Akiko menghela nafas kasar. Berpikir untuk berhenti kuliah saja, karena papanya pasti tidak akan lagi membiayainya. Jadi, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan saja selagi ada waktu. Tapi, Akiko bingung kenapa tidak ada orang yang mencarinya sampai saat ini? bukankah dia sudah dijual pada seseorang? "Apa papa benar-benar sudah menjualku?" tanya Akiko pada dirinya sendiri. Mungkin, orang yang akan mengambil Akiko sedang sibuk. Baguslah kalau begitu, karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika bertemu pria itu. Apakah, dia akan dijadikan budak pemuas nafsu? atau dijadikan pembantu? Ponsel Akiko bergetar, tanda ada telepon masuk. melihat nama yang tertera, dia segera mengangkat telepon tersebut. "Halo, Kak Vian," sapanya. "Akiko, aku sudah mengatur jadwalnya. Kau bisa datang malam ini? kita bicarakan secara tatap muka saja agar lebih jelas," tanya suara laki-laki dari seberang telepon yang tak asing lagi bagi Akiko. "Baik, Kak. Aku akan datang ke sana nanti," jawab Akiko seadanya. "Perbanyak istirahat, okay? jangan terlalu lelah dan jaga pola makanmu," ujar Vian. "Hmm, thank you. Aku akan menghubungi Kakak lagi nanti," pamit Akiko. Setelah mendapat sahutan dari lawan bicaranya, Akiko segera mengakhiri telepon. Menyisakan dirinya yang duduk menghela nafas, sambil melirik ke arah dapur. "Aku harus makan," gumam Akiko. Ini sudah lewat dari jam makan normal, tapi gadis itu masih bingung ingin makan atau tidak. Sebab, beberapa hari akhir-akhir ini, nafsu makannya semakin menurun. Bahkan, kulkas sampai kosong karena dia jarang masak atau makan. Hanya ada beberapa kotak mie instan, yang berjejer rapi. Akhirnya, Akiko memutuskan untuk makan mie instan saja, walau sebenarnya tidak ingin. Namun, pria yang akan ditemui pasti bisa tau, dia sudah makan atau belum. ***Kini, Akiko sedang berbincang dengan seorang pria di cafe. Pria itu terlihat dewasa dengan pakaian casualnya. Apalagi, ditambah dengan kacamata yang membuatnya tampak lebih berkharisma. Dia adalah Vian, seorang dokter muda yang terus mendampingi Akiko selama berobat beberapa bulan akhir-akhir ini. "Maaf, mengajakmu bertemu tiba-tiba pagi tadi. Semalam kau tidak bisa dihubungi," ucap Vian. Disambut dengan anggukan pelan dari Akiko. "Sudah makan?" tanyanya. "Sudah, kalau Kakak?" tanya Akiko balik. "Aku baru saja mau memesan makanan, kau mau camilan apa?" tawar Vian. "Tidak perlu, aku sudah kenyang. Kakak pesan saja dulu," ujar Akiko. Tidak mungkin Vian membiarkan gadis itu tanpa camilan atau minuman, jadi dia memesan coklat panas untuk Akiko agar tubuhnya hangat. "Ngomong-ngomong, aku sudah menyiapkan berkas untuk kelanjutan pengobatanmu. Baca ini dengan teliti," Vian memberikan berkas yang dia bawa pada Akiko. Gadis itu segera mengangguk paham, lalu mulai membacanya selagi menunggu Vian makan. "Besok, kuliah jam berapa?" tanya Vian basa-basi. "Aku tidak akan masuk kuliah lagi," jawaban Akiko membuat Vian langsung terdiam. "Kenapa?" bingungnya. "Tak apa, aku hanya ingin tenang sendirian," sahut Akiko. Kemudian, lanjut membaca berkas tersebut. "Apa ini akan sakit?" tanya Akiko sambil menunjukkan sebuah poin di berkas. "Tentunya sakit, tapi hanya akan berlangsung beberapa hari saja. Selebihnya bisa membaik," jawab Vian. Akiko mengangguk pelan, sambil minum coklat panas miliknya. "Akiko, di mana orang tuamu? karena kau masih di bawah 20 tahun, pihak rumah sakit memerlukan persetujuan dari orang tuamu juga. Tapi, sepertinya kau tinggal sendirian. Benarkah?" tanya Vian penasaran. "Iya, aku … sendirian," seketika Vian terdiam, mendengar suara pelan dari Akiko. Gadis itu terlihat sedih, bahkan Vian juga menyadari kalau tangan Akiko gemetaran pelan. Entah apa yang ada di benak Akiko sampai begitu. "It's okay, aku bisa menjadi wali untukmu," tukas Vian karena merasa bersalah, "Benarkah?" Akiko memastikan. "Ya, aku sudah berumur 25 tahun. Aku bisa menjadi wali untukmu asal kau pegang semua data dirimu," jawab Vian ramah. "Terima kasih, Kak." Melihat senyum tipis tercipta di bibir Akiko, Vian juga ikut tersenyum. Tak bisa di pungkiri kalau dia terpesona pada Akiko. Dengan sifat lembut dan wajah manisnya, Akiko bisa membuat siapapun jatuh cinta "Ayo, aku antarkan pulang," ajak Vian karena tidak mau Akiko terlalu lelah. Namun, Akiko tentu menolak dengan alasan tempat tinggalnya dekat. Sebab, Akiko termasuk orang yang tidak enakan. Dia lebih suka melakukan apa-apa sendiri, agar tidak melibatkan orang lain. Akiko duduk di halte bus, udara dingin membuatnya harus merapatkan jaket agar udara tidak terlalu menusuk. Biasanya, dia naik taksi untuk bepergian. Tapi, sekarang dia harus lebih menyimpan uang untuk berobat, secara papanya tidak akan lagi memberikan uang bulanan seperti dulu. Lalu, suara klakson mobil membuat lamunan Akiko buyar. Mobil hitam metalik itu berhenti tepat di hadapan Akiko. Tapi, karena merasa tidak mengenalnya, Akiko hanya mengabaikan mobil itu. "Mengabaikan aku, Nona Eloise?" Akiko mendongakkan kepalanya, melihat sosok pria yang kini berdiri tepat di depannya. "Who are you?" bingung Akiko. Sehingga pria itu terkekeh pelan, lalu menghela nafas gusar. "Kau punya ingatan yang buruk, ya?" ujarnya sambil tersenyum menyeringai. "Kita sudah bertemu 2 kali, tapi kau malah melupakanku begitu saja. Aku Glen Xander Mckenzie, Tuanmu yang baru," jelas pria bernama Glen itu. Akiko terdiam sebentar, mencoba mengingat siapakah Glen ini. Beberapa saat kemudian, barulah Akiko ingat kalau Glen pasti orang yang akan membawanya pergi. Tentu, Akiko sudah paham apa yang harus dia lakukan. Semuanya sudah tertata baik seperti permintaan papanya. Tapi, Akiko masih punya Kouma di apartemen yang belum dia jemput. "Masuk," titah Glen sambil membuka pintu mobilnya. "Aku harus mengambil anjingku terlebih dahulu. Perlengkapanku juga masih ada di apartemen," Akiko menolak perintah Glen. "Aku tidak suka penolakan, lebih baik kau ikuti saja apa yang aku minta. Perlengkapanmu kita beli besok, jadi ikut aku sekarang," tegas Glen. "Aku tau, aku akan ikut. Tapi, aku harus mengambil anjingku dulu," tolak Akiko lagi. "Kau keras kepala, ya," geram Glen sambil mendekati Akiko yang memundurkan diri. Meskipun, Glen masih belum berhenti sampai punggung Akiko menabrak tembok pembatas. "Masukkan nomor teleponmu," pinta Glen. Kemudian, memberikan ponsel hitamnya sehingga Akiko langsung mengetik nomor teleponnya di sana. "Jangan pernah abaikan pesan atau telepon dariku," Akiko mengangguk, menyahuti perintah Glen. Baru saja ingin pergi, Glen tiba-tiba menahan tangan Akiko erat. Kemudian mencium bibir Akiko singkat tanpa aba-aba. "Aku adalah pemilikmu yang baru, ingatlah itu baik-baik." Setelah memastikan Akiko paham, Glen segera kembali ke dalam mobil. Pria itu mengusap bibirnya sendiri, "Kenapa aku menciumnya?" Sedangkan Akiko yang baru naik bus arah pulang, kini menatap layar ponselnya saat mendapat pesan dari Glen. "Datang ke Cafe Fancy, besok jam 8 malam."Akiko menghela nafas gusar setelah membaca pesan itu. Entah, bagaimana nasibnya nanti setelah menyaksikan sendiri sikap arogan dari Glen."Anda tidak bisa menarik perjanjian ini, Mr. Eloise," tegas seorang pria yang memakai setelan jas dengan rapi. Glen Xander McKenzie, sedang duduk dengan santainya sambil bicara dengan papa Akiko. Beberapa waktu lalu, Mr. Eloise datang ke kantor Glen untuk membicarakan soal Akiko. Mr. Eloise ingin mengambil hak putrinya kembali, dia sudah menyesal memberikan Akiko pada Glen sebagai tawanan. Dia juga ingin memperbaiki kesalahan yang telah dia perbuat selama ini pada Akiko. Namun, Glen tentu tidak akan mewujudkan keinginan Mr. Eloise dengan mudah. Pria itu memang licik dalam memperoleh apapun yang dia mau. Apalagi, dia sudah terlanjur tertarik pada Akiko. "Aku akan menggantinya dengan uang, sebanyak apapun yang kau inginkan," bujuk Mr. Eloise, berkeringat dingin saking gugupnya. Apalagi, selama ini dia tidak ingin tahu tentang putri keduanya itu. Sehingga dia juga tidak tau di mana alamat apartemen Akiko. Nomor telepon nya juga sudah tidak aktif, mungkin diblokir oleh Akiko sendiri. "
Glen menjentikkan jarinya di meja, merasa kesal karena Akiko telat 5 menit. Padahal gadis itu sudah berusaha cepat, tapi tetap saja telat karena jalanan agak ramai. "Aku tidak tahu kalau Mr. Eloise sudah memiliki cucu," kata Glen, mengunci pandangan pada Ethan karena sejak tadi anak itu menempel pada Akiko dengan manja. Bahkan, jelas-jelas dia memeluk Akiko erat seolah tidak mau dilepaskan. "Ini bukan anakku," tegas Akiko. Lalu, beranjak mengantar Ethan ke bangku lain agar Glen tidak merasa terganggu. Setelah memastikan Ethan mendapat makan dan minum yang dia pesan, barulah dia kembali ke hadapan Glen. "Nona Eloise, aku menyuruhmu datang ke sini bukan untuk buang-buang waktu," Glen menatap jengkel karena Akiko hanya memperhatikan Ethan saja. Bahkan, Akiko sempat menyuapi Ethan dengan lembut, tanpa memerdulikan Glen. "Sorry," ucap Akiko. "Siapa dia?" tanya Glen sambil melirik Ethan. "Ethan, dia tersesat jadi aku akan mengantarnya pulang setelah ini," jawab Akiko seadanya. Sedangk
"Ahh … tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang dia tancapkan pada perut mama Ethan. Kemudian, membuang pisau itu ke sembarang arah. Bersamaan dengan itu, tubuh mama Ethan ambruk dengan darah mengalir di lantai. "Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen. "Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun. "Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Sementara Akiko, segera menggendong Ethan. Padahal, tubuhnya sudah sangat sakit. Tapi, dia masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal. "Kalau kau mati, bagaimana dengan hutang papamu, hah?" tanya Glen sembari memasangkan sabuk pengaman pada Akiko. "Sorry," lirih Akiko masih
"Untuk apa kau ke rumah sakit?" tanya Glen saat Akiko baru saja sampai di gedung apartemen. Ternyata, pria itu sudah menunggu Akiko, karena mungkin dia paham bahwa Akiko tidak tau password apartemennya. Sementara Akiko berpikir, pasti Glen habis mengikutinya secara diam-diam untuk memata-matai. "Kau yang menyakiti aku, kenapa malah bertanya?" sahutan ketus dari Akiko, membuat Glen terkekeh pelan. Ia tersenyum menyeringai, melingkarkan tangannya di pinggul Akiko agar berjalan mengikutinya. "Angkuh juga kau ternyata," gumam Glen. Glen berpikir, mungkin semua keluarga Eloise memiliki sifat angkuh seperti Akiko. Gadis itu bahkan tidak bergeming sedikitpun ketika tangan kekar Glen mengusap pinggulnya sensual. "Kau bertemu kekasihmu, iya, 'kan?" Glen merasa curiga pada Vian, dokter yang Akiko temui beberapa saat lalu. "Bukan," jawab Akiko seadanya. "Lalu, siapa dia? kenapa kalian terlihat begitu dekat?" tanya Glen lagi. "Dokter," jawab Akiko lagi, kali ini sambil mencuci tangan. Sedang
"Glen!" teriakan seorang wanita, membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan. Awalnya, mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor Glen untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Wanita itu memakai make up tebal, bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen. Padahal, sebelumnya mereka hanya kenal sebagai pebisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak, sehingga tentu membuat Glen geram. Apalagi, pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja. Mungkin karena memakai sepatu high heels, dia jadi gampang jatuh ke lantai walau dorongan tidak begitu kencang. "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak paham posisimu, hah?" tanya Glen dengan nada mengi
"Bagaimana, Aiko? mau pergi, atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise. Pria itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat. Sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang. "Akiko … Papa ingin minta maaf. Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi, bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, andai saja Papa meminta maaf sejak dulu, aku tidak akan sehancur ini. Andai Papa memperlakukan aku layaknya anak sejak dulu, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang, aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan begitu, Akiko. Papa benar-benar minta maaf atas segalanya,"
Suara getar telepon terdengar. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Akiko hanya menatap acuh. Telefon itu dari Vian, pasti dia sangat bingung karena Akiko menghilang begitu saja. Sedangkan Akiko sudah tegas terhadap keputusannya sendiri untuk tidak ikut pengobatan apapun. Beberapa hari ini Akiko mulai bekerja di perusahaan Glen. Perusahaan yang membuat senjata api, alias pistol. Bisa di akui, kalau Glen ini sangat cerdas hingga bisa mengelola perusahaan sebesar ini. Bahkan, sampai berkolaborasi dengan kepolisian dalam membuat samentara api. Walau, pria itu jadi sering kelelahan dan berujung emosi. Banyak orang berpikir, bahwa perusahaan Glen sangat keren karena membantu militer negara. Tapi, Akiko yang tau sisi gelapnya jadi hanya bisa diam. Seperti, Glen yang sering menggunakan pistol untuk hal salah. Istilahnya, Glen memanfaatkan hal itu untuk mendukung kejahatan secara diam-diam. "Aiko, kemarilah," pinta Glen, mengisyaratkan gadis itu untuk duduk di pangkuannya seperti b
"Pakai ini, malam nanti kita akan pergi ke suatu tempat. Jadi, pastikan pakaian ini cocok," Glen memberikan sebuah dress hitam pendek yang nampak sangat mewah. Beberapa detik kemudian, Glen terdiam karena baru sadar bahwa Akiko hanya memakai handuk saja karena baru selesai mandi. "Bisakah kau mengetuk pintu dulu?" tanya Akiko kesal karena Glen masuk ke kamarnya sembarangan. Walau apartemen ini memang milik Glen, tapi Akiko juga butuh privacy. Untung saja handuk yang Akiko pakai adalah jenis kimono sehingga tidak begitu terbuka. "Terserah aku," sahut Glen acuh sambil melemparkan dress itu kepada Akiko. "Tidak ada yang lain?" tanya Akiko setelah mengamati dress itu. "Kenapa memang?" banyak Glen balik. Padahal, dia sudah memiliki dress terbaik untuk Akiko, tapi gadis itu malah ingin yang lain. "Aku tidak suka pakaian pendek," jelas Akiko lalu memutuskan untuk membuka lemarinya. Mengeluarkan sebuah dress panjang elegan warna abu-abu. Tapi, Glen hanya diam saja saat Akiko ingin menggan