Jangan lupa subscribe dan kasih gem vote nya ya, kakak-kakak semua.
POV Indra Laksmana. Aku melongok keluar setelah mendengar bunyi klakson mobil di halaman rumah. Betapa terkejutnya aku mendapati mobil dari dealer datang membawa dua sales yang belum lama ku temui tadi pagi. "Selamat Siang, apa benar ini kediaman Bapak Indra Laksmana?" Salah seorang sales yang bertubuh gempal dan bongsor datang menghampiri Maya yang sudah keluar rumah terlebih dahulu setelah mendengar bunyi klakson tadi. Maya mengangguk dan menoleh ke arahku seolah meminta penjelasan lebih. Gawat!! Ini benar-benar gawat! Kenapa juga sales ini malah datang kemari. Bukankah aku tadi sudah bilang untuk mengantarkan barangnya ke alamat orang tuaku. "Maaf Pak Indra, tadi bapak lupa belum menulis alamat pengiriman barangnya. Kami mau kirim barangnya siang ini juga soalnya kami mau closingan data hari ini. Bapak kan sudah bayar cash, jadi barangnya bisa langsung dikirim." Sales bernama Ahmad itu mencerocos bak bunyi petasan banting. Ia tak mempedulikan raut wajahku yang sudah dilanda gel
"Kamu tega sama anak dan istri sendiri, Mas! Kamu dzolim sama kami! Kamu pelit dan perhitungan pada kami, tapi kamu bisa begitu loyal dan jor-joran pada adik kesayanganmu itu." Aku terisak di dalam kamar si kembar, menangisi ketidakadilan dan ketimpangan yang ada dalam rumah tanggaku. Aku sudah tidak peduli lagi dengan kedua tamu Mas Indra yang masih ada di halaman depan. Bahkan air minum putih saja enggan kusuguhkan. Aku juga tidak tahu apakah mereka masih ada di depan atau sudah pergi. "Aku tidak bisa seperti ini terus! Aku harus bertindak, aku gak mau Mas Indra terus-terusan mendzolimi aku dan anak-anak." Ucapku dengan semangat penuh membara. Kudengar suara deru mesin mobil dan knalpot motor berlalu meninggalkan halaman rumah kami. Ya, mereka baru saja pergi, mungkin ke rumah mertuaku untuk mengantarkan motor baru Irfan. Segera ku hapus sisa bulir tetes air mata yang masih menggenang di pelupuk mata. Kupakai kembali jilbab yang tadi sudah kulepas dan kubuang asal saking gerege
Perkataan ibu mertua sungguh membuatku teringat pada kejadian sepuluh tahun silam. Kejadian dimana awal saat diri ini mulai menjalin kasih dengan Mas Indra."Dik Maya, kita lanjut ke jenjang pernikahan, yuk." Ucapan Mas Indra kala meminang dan meminta diriku menjadi calon istrinya saat itu.Sebenarnya aku sudah ragu sejak awal. Pasalnya, saat Mas Indra memperkenalkan aku kepada keluarganya sebelumnya, respon mereka sedikit kurang mengenakkan di hati. Mereka tidak bisa menerimaku yang hanya seorang gadis yatim piatu dan bahkan tak tahu siapa ayah kandungnya. "Tapi… bagaimana dengan bapak dan ibu serta adikmu, Mas? Maya takut mereka tidak mau menerima kehadiran Maya di keluarga kalian, Mas." Aku sempat mundur dan mengalah karena aku sadar diri, aku hanyalah gadis yang berasal dari desa pesisir pantai barat dan hidup berdasarkan belas kasihan para warga sekitar."Jangan kuatir, Dik! Nanti biar Mas yang bicara sama mereka." Bujukan lembut dari Mas Indra akhirnya perlahan mampu meluluhkan
Krieeet…Keempat pasang mata itu melotot kaget dan refleks menoleh ke arah pintu pagar yang baru saja kubuka dari luar. Dengan wajah tanpa berdosa aku segera melangkah masuk ke halaman rumah mertuaku. Rasanya mulutku sudah gatal untuk membalas hinaan ibu mertua kepada mendiang ibuku yang telah tiada. Tanpa basa-basi segera kulangkahkan kaki dengan mantap dan langsung menghampiri wanita yang bergelar sebagai ibu dari suamiku tersebut."Eh, N-nak M-maya, baru saja datang atau sudah dari tadi, Nak?" Terlihat jelas kegugupan melintas di wajah ibu mertua. Mungkin ia takut kalau aku mendengar semua cacian yang ia lontarkan di belakangku tadi.Halah, tidak perlu bersandiwara lagi, Bu! Sekarang aku sudah tahu wajah aslimu tanpa topeng seperti apa."Mn, baru saja kok, Bu!" Anehnya semua kemarahan yang sudah ku tahan dalam hati sejak tadi tidak bisa keluar sama sekali. Aku justru malah bersikap hormat dengan menyalami takzim kedua orang tua Mas Indra. Mungkin selama ini aku sudah terbiasa bers
Walaupun sudah kutahan dengan sekuat tenaga, akhirnya lolos juga air mataku ini. Bukan karena aku takut dengan ancaman dari ibu mertua yang sudah mendahului takdir, bukan! Aku menangis karena meratapi nasib sialku yang harus berjodoh dengan laki-laki tidak tegas seperti Mas Indra. Aku juga merutuki keadaanku yang harus bergantung pada laki-laki egois yang selalu mendahulukan kepentingan keluarganya di atas kepentingan istri dan anak-anaknya. "Jika cerai adalah jalan terbaik… aku dengan lapang dada akan menerimanya. Mungkin hanya sampai di sini saja bahtera rumah tangga kami berlayar sebelum akhirnya kandas di tengah jalan. Entah sejak kapan kekusutan rumah tanggaku ini dimulai. Seingatku kami ini dulu hidup dengan harmonis dan baik-baik saja tanpa ada banyak masalah mendera. Ya, walaupun Mas Indra sering bersikap cuek dan dingin kepada anak-anak, tapi itu semua tak mengurangi tanggung jawabnya kepada kami. Rasa-rasanya semua carut marut rumah tanggaku ini sepertinya dimulai sejak
[Mas, sudah hampir 3 bulan Mas Indra gak pulang kerumah ini. Apakah aku ini masih dianggap sebagai istrimu, Mas?] Kukirimkan pesan lewat aplikasi berlogo gagang telepon berwarna hijau. Enak saja dua bulan lebih tak ada kabar, main pergi saja tanpa ada penyelesaian masalah. Walaupun transferan untuk nafkah bulanan tetap mengalir setiap bulannya, aku tetap butuh kejelasan dan penjelasan, Mas. Satu jam, dua jam, tak juga ada balasan dari si penerima pesan. Tanda pesan juga masih bertahan pada tanda centang dua abu-abu, pertanda pesanku belum dibaca sama sekali. [Mas! Tolong balas pesanku kalau kamu masih menganggap aku ini istrimu!] Kukirimkan lagi pesan kedua. Berharap ia mau segera membalas isi pesanku. Lebih dari satu jam menunggu, tetap tak ada balasan masuk juga. Games rasanya menghadapi sikap Mas Indra yang kekanak-kanakan seperti ini. Sebenarnya apa maunya sih? Kok sampai merajuk pulang ke rumah orang tuanya. Harusnya yang marah dan merajuk itu aku, bukan kamu, Mas! [Mas Ind
"Assalamualaikum." Dari arah pintu depan terdengar suara salam untuk kedua kalinya. "Waalaikumsalam!" jawabku. Aku mengabaikan Mas Indra dan melongok keluar untuk melihat siapa yang datang bertamu. Aku tertegun saat melihat Bagas, Om-nya Lika sudah berdiri di depan pintu. "I-ini Mbak, Bagas mau mengembalikan…" "Bagas, Mbak minta tolong bawa si kembar main ke rumahmu dulu ya. Mbak mohon!" Belum selesai Bagas berbicara, aku sudah memotongnya terlebih dahulu. Ada hal mendesak yang harus aku bicarakan dengan Mas Indra dan anak-anak tidak boleh melihat apalagi terlibat dalam pertengkaran kami. "Keyla, Keyra, main sama Lika dulu ya!" Aku menuntun keduanya yang masih sesenggukan karena ketakutan melihat kemarahan ayahnya tadi. "Bagas, maafin Mbak ya merepotkan kamu terus." Seolah paham dengan apa yang sedang terjadi, Bagas segera membawa pergi si kembar untuk bermain di rumahnya. Aku sudah tak perduli jika Bagas tadi sempat mendengarkan pertengkaranku dengan Mas Indra. Berhubung
Tanpa malu aku langsung menangis di depan mereka bertiga. Aku tidak bisa berpura-pura sedang baik-baik saja, padahal nyatanya aku memang sedang tidak baik-baik saja. Entah sudah seperti apa bentuk wajahku saat ini. Mata bengep, hidung merah dan keluar ingus, bibir menebal karena menegang setelah menangis, mungkin wajahku sudah mirip hantu yang penasaran setelah meninggal karena patah hati ditinggal sang kekasih. "Sudah-sudah, sana cepat pulang! Malu kalau sampai dilihat tetangga yang lain." Bapaknya Lika kembali menyuruhku pulang karena tidak ingin aku menjadi sasaran objek ghibah ibu-ibu kompleks di tempat tukang sayur keliling besok pagi. Aku berjalan kembali ke rumah setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada ketiganya. Tapi saat aku hendak membuka pintu, sebuah suara panggilan membuat langkahku terhenti. "Tunggu!!" Aku menoleh dan melihat Bagas menghampiriku. Ada apa Bagas berlarian menyusulku? Apakah salah satu dari si kembar terbangun? "Ada apa, Gas?" Bukannya