Share

#7

Hari ini bu Sinta sedang keluar bersama suaminya dan Zahra, anak tercintanya. Mereka bertiga pergi untuk belanja bahan makanan dan rumah tangga lainnya di supermarket terdekat. Zahra terlihat sangat bahagia begitu mendengar dirinya akan pergi bersama bunda dan ayahnya, karena sudah lama mereka bertiga tidak pergi bersama.

“Bunda, nanti aku mau es krim cokelat ya,” pinta Zahra pada saat mobil yang dikendarai oleh pak Helmi -suami bu Sinta- sudah melaju dengan kencang.

Bu Sinta yang duduk di bangku depan samping bangku pengemudi alias samping suaminya itu langsung menolehkan kepalanya ke arah Zahra. “Iya, Nak. Disana nanti cari semua yang kamu inginkan.” Bu Sinta menatap anaknya dengan penuh kasih sayang.

Mendengar jawaban dari Bundanya itu, Zahra langsung berteriak happy. Raut wajah Zahra benar-benar bersinar cerah. Melihat raut wajah anaknya itu sumringah sekali seperti itu, bu Sinta juga ikut senang.

Ketika bu Sinta menolehkan kepalanya kembali ke arah depan, bu Sinta sempat melihat suaminya sedang melirik ke arah spion tengah untuk melihat ekspresi bahagia anaknya, dan terlihat senyuman singkat di wajahnya setelah itu. Melihat senyuman yang sudah lama tidak bisa beliau lihat itu membuat bu Sinta merasakan harapan, perasaan bahagia, terharu, namun juga takut.

“Nanti aku tunggu di mobil aja ya,” ucap pak Helmi memecahkan keheningan yang terjadi di dalam mobil.

Belum sempat bu Aliyah menjawab ucapan tersebut, Zahra menyahut, “Ayah nggak mau ikut belanja sama aku?” Zahra mengucapkan kalimat tersebut dengan nada suara khas anak kecil.

Pak Helmi yang sangat menyayangi anak satu-satunya itu tentu langsung panik ketika mendengar pertanyaan tersebut. “Bukan begitu Sayang, Ayah hanya capek, jadi selagi menunggu Zahra sama Bunda belanja, Ayah mau tidur dulu di mobil.” Pak Helmi mencari alasan yang sekiranya dapat diterima oleh anak seusia 4 tahun.

Namun, perkiraan pak Helmi salah besar, karena anaknya itu justru menjawab ucapannya itu dengan berkata, “Emang Bunda nggak capek? Kan Bunda juga capek ngurusin aku, tapi Bunda nggak minta nunggu di mobil seperti Ayah.” Kalimat tersebut langsung membuat perasaan kedua orang di bangku depan menciut dengan sangat drastis, apalagi baik bu Sinta maupun pak Helmi tidak pernah menyangka Zahra dapat berbicara seperti itu.

Pak Helmi langsung menatap bu Sinta dengan tatapan yang sangat tajam seolah-olah bu Sintalah yang membuat Zahra bisa mengatakan ucapan seperti itu. Namun, berbeda dengan pak Helmi yang merespon ucapan Zahra dengan mencoba mencari dalang di balik hal itu, bu Sinta lebih memperhatikan gestur dari anaknya, karena beliau takut selama ini Zahra menyadari tentang hubungan orang tuanya yang sedang tidak akur.

“Bukan begitu, Zahra. Ayah semalam pulang terlalu malam, jadi wajar kalau hari ini Ayah capek. Lagian, nanti di dalam juga banyak orang jadi lebih baik kita berdua saja yang masuk.” Bu Sinta berusaha keras menenangkan pikiran dan perasaan anaknya maupun dirinya sendiri.

“Tidak usah, kalau Zahra ingin Ayah juga ikut masuk, Ayah akan ikut kok.” Raut wajah pak Helmi berubah total ketika menoleh ke arah Zahra, raut wajahnya benar-benar terlihat penuh dengan kasih sayang. Saat ini mobil sedang berhenti karena terjebak antrian lampu merah yang cukup panjang.

Mendengar jawaban dari ayahnya itu, Zahra kembali ceria lagi, lalu Zahra kembali berkata, “Kan gitu enak, aku jadi happy karena bisa menggandeng tangan Bunda sama Ayah.” Ucapan khas anak kecil itu keluar dari mulut Zahra tanpa mengurangi kebahagiaan yang tersirat di wajahnya.

Setelah itu keheningan kembali terjadi di dalam mobil, karena bu Sinta dan pak Helmi sama-sama sibuk dengan pikirannya masing-masing. Keheningan itu terus berlanjut hingga mobil sampai di parkiran supermarket. Selesai memarkir mobilnya dengan benar, pak Helmi keluar dari mobil dan disusul oleh bu Sinta yang langsung membuka pintu belakang mobil untuk membantu Zahra turun dari mobil.

“Hap!” Ujar Zahra begitu kedua kakinya telah mendarat di aspal parkiran supermarket. Setelah turun dari mobil, Zahra langsung menggandeng tangan bundanya dan menariknya dengan sedikit memaksa. Ternyata Zahra berusaha menyeimbangkan langkah kaki ayahnya yang sudah duluan jalan untuk masuk ke supermarket.

Setelah Zahra berhasil menyalip langkah kaki ayahnya, Zahra segera menggandeng tangan ayahnya juga, jadi sekarang mereka bertiga sedang bergandengan. Sudah lama bu Sinta tidak melihat raut wajah bahagia Zahra yang seperti ini, dan ketika mengingat hal itu, membuat perasaan bu Sinta sedih, karena beliau merasa semua itu kesalahannya.

Mereka bertiga masuk masih dengan saling bergandengan. Namun, karena supermarket sedang banyak pengunjung sehingga cukup ramai, jadi bu Sinta mencoba membujuk Zahra supaya mau melepas gandengan tangannya. Tentu hal itu tidaklah mudah, membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk bisa membujuk Zahra. Akhirnya, pak Helmi mengatasi permasalahan tersebut dengan menggendong Zahra sembari menggandeng tangan bu Sinta.

“Kalau begini Zahra mau kan?” Tanya pak Helmi kepada anaknya.

Sejak telapak tangan suaminya mendarat di telapak tangan bu Sinta dan telapak tangan tersebut sekarang sedang menggandengnya, hati dan pikiran bu Sinta tidak karuan. Pasalnya, sudah hampir 3 tahun suaminya itu tidak pernah bersikap seperti itu, dan jika Zahra tidak tiba-tiba bertingkah seperti tadi, kemungkinan besar sikap tidak peduli suaminya itu akan terus berlanjut hingga hari-hari esok.

Setelah Zahra mulai tidak rewel lagi, akhirnya mereka bertiga mulai berbelanja kebutuhan. Dari mulai bahan makanan hingga kebutuhan sehari-hari lainnya sudah terpenuhi. Oleh karena itu, mereka pun segera kembali ke mobil, dan Zahra saat ini sudah tertidur, mungkin karena merasa capek tadi sempat berlari-lari saat di dalam supermarket.

Mobil melaju dengan hening dalam perjalanan pulang. Baik bu Sinta maupun pak Helmi sama-sama tidak berniat untuk membuka pembicaraan. Padahal, sebenarnya bu Sinta merasa ada suatu hal yang menurutnya harus dibicarakan dengan suaminya.

Karena merasa ada suatu hal yang ingin dibicarakan, akhirnya gerak-gerik bu Sinta terlihat sedikit gelisah, dan tak lama kemudian pak Helmi menyadari kegelisahan tersebut.

“Ada yang ingin kamu bicarakan?” Tanyanya dengan nada suara yang tegas.

Menyadari kegelisahannya tertangkap basah, membuat bu Sinta sedikit ragu untuk mengatakan pikirannya.

Namun, setelah berperang dengan pikirannya beliau sendiri, akhirnya bu Sinta memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.

“Beberapa minggu belakangan ini aku ikut kelas di sebuah sanggar seni, maaf aku nggak memberitahu lebih awal,” bu Sinta sengaja berhenti sejenak untuk mengecek respon dari suaminya itu. Respon pak Helmi sebenarnya cukup terkejut, bahkan beliau langsung mengalihkan tatapannya ke arah bu Sinta. Namun, respon itu masih di luar ekspektasi bu Sinta yang berpikir bahwa suaminya itu akan merespon dengan amarah dan omelan yang menggebu-gebu.

“Terus?” Merasa bu Sinta tidak kunjung melanjutkan ucapannya, akhirnya pak Helmi bertanya dan sedikit menuntut penjelasan lainnya.

“Beberapa hari yang lalu teman-temanku disana mengajak liburan keluarga bersama, aku nggak enak kalau menolak ajakan itu, tapi kalau Ayah nggak mau ikut aku ikut sendiri aja, atau mungkin aku mengajak Zahra.” Bu Sinta terdengar terburu-buru ketika mengucapkan kalimat tersebut.

“Kalau kamu cuma mengajak Zahra, tapi aku nggak ikut, justru itu semakin terlihat aneh, mending kamu nggak usah ikut juga, toh kamu juga baru kenal sama mereka.” Pak Helmi kembali fokus ke jalanan depan karena jalanan memang sedang ramai.

Mendengar jawaban pak Helmi, perasaan bu Sinta antara lega namun juga kecewa. Bu Sinta merasa lega karena suaminya itu tidak mengeluarkan amarah yang biasanya dikeluarkan. Namun di lain sisi bu Sinta juga merasa kecewa karena pak Helmi melarang bu Sinta untuk mengajak Zahra liburan bersama teman-teman barunya.

Ketika mobil sedang berhenti karena terjebak lampu merah yang cukup panjang, pak Helmi kembali mengalihkan perhatiannya ke arah bu Sinta. “Emang kapan?” pertanyaan yang tidak disangka-sangka oleh bu Sinta itu keluar dari mulut suaminya.

“Aku masih belum tahu, karena ini masih pembahasan awal, dan mereka juga sedang menanyakan ke keluarganya masing-masing.” Ucapan bu Sinta terdengar sedikit kikuk.

“Kalau masih belum pasti kayak gini nggak usah dibahas dulu, nanti kalau udah ada kepastian waktunya bicarakan lagi, kalau memang nggak ada kerjaan kita bisa ikut bertiga.” Raut wajah dan nada suara pak Helmi saat ini terlihat dan terdengar sangat asing bagi bu Sinta. Namun meskipun begitu, bu Sinta sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, dan beliau hanya bisa tersenyum lebar.

***

Hari ini bu Niken bangun tidur lebih siang dari biasanya, karena semalam beliau ada kerjaan yang mengharuskannya lembur sampai malam. Ya, meskipun beliau kerja dari rumah, tapi tetap saja deadline yang memburunya membuat beliau harus segera menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Bu Niken keluar dari kamarnya setelah mandi dan berganti baju. Bu Niken segera beranjak ke dapur karena beliau langsung merasa lapar begitu bangun tidur. Bu Niken berjalan ke dapur dengan langkah kaki yang sedikit diseret, karena bu Niken merasa sangat kecapekan setelah begadang tadi malam.

Begitu beliau sampai di ruang makan, yang letaknya berdampingan dengan dapur, bu Niken segera dipertemukan dengan suaminya, yaitu pak Surya. Pak Surya sedang makan roti panggang yang telah dilapisi selai cokelat sembari membaca koran dengan serius. Melihat suaminya sedang makan disana, sempat terbersit di pikirannya untuk mengurungkan niatnya ke dapur. Namun, niat tersebut tidak terkabul karena pak Surya menyadari kehadiran bu Niken.

“Baru bangun? Semalam kamu lembur?” tanya pak Surya ketika melihat bu Niken terlihat kecapekan.

Bu Niken yang sudah terlanjur membalikkan badannya, langsung menoleh ke arah suaminya kembali. “Iya, tadi malam ada kerjaan yang harus selesai.” Bu Niken menjawab pertanyaan suaminya sembari melanjutkan langkah kakinya ke arah dapur.

“Jadi kamu belum makan?” Tanya pak Surya lagi ke istrinya.

Bu Niken hanya bisa tersenyum malu ketika mendengar pertanyaan pak Surya tersebut.

“Ini aku ada roti panggang, barangkali kamu mau, tadi aku lihat di kulkas bahan makanan pada habis, jadi aku buat roti panggang.” Ujar pak Surya sembari menyodorkan sepiring roti panggang yang serupa dengan yang beliau makan.

Mendengar ucapan pak Surya, bu Niken jadi teringat kalau beliau belum belanja bahan makanan lagi. Mengingat hal itu, akhirnya bu Niken menghampiri pak Surya dan menerima tawaran suaminya.

“Ayah sudah sembuh total?” Bu Niken memecah keheningan dengan menanyakan kabar suaminya yang memang sudah selama beberapa hari ini merasa tidak enak badan.

“Iya, besok aku sudah bisa masuk kerja.” Pak Surya menjawab pertanyaan istrinya dengan singkat.

Karena mendapat jawaban yang singkat dari suaminya, bu Niken berpikir untuk tidak menanyakan banyak hal lagi kepada suaminya. Sebab, bu Niken tidak ingin rasa kecewa menghinggap lagi ke dirinya.

Keheningan sempat lama terjadi, hingga akhirnya keheningan itu dipecahkan oleh pak Surya. “Akhir pekan ini kamu ada acara nggak?” Tanya pak Surya sambil menatap kedua mata cantik bu Niken dengan sangat dalam.

Mendapat perlakuan manis seperti itu dari orang yang sangat dicintainya, tentu membuat bu Niken salah tingkah, bahkan beliau tidak mampu menjawab langsung pertanyaan suaminya itu.

“Kalau aku tidak ada kelas, mungkin aku tidak ada acara.” Akhirnya bu Niken menjawabnya seperti itu.

“Kelas?” Raut wajah pak Surya benar-benar terlihat seperti baru mendengar kata tersebut.

Melihat raut wajah suaminya itu yang penuh dengan tanda tanya, membuat bu Niken teringat akan suatu hal. Sampai saat ini bu Niken belum pernah bercerita tentang Sanggar Seni Kenangan kepada suaminya, karena sudah selama ini juga mereka berdua jarang berbincang secara empat mata seperti sekarang ini.

Akhirnya bu Niken mulai menceritakan tentang keikutsertaannya di Sanggar Seni Kenangan. Bahkan, bu Niken juga menyebutkan bahwa sejak beliau menghadiri kelas disana, perasaan bu Niken terasa lebih tenang daripada sebelum-sebelumnya.

“Syukurlah kalau begitu,” ucap pak Surya dengan ketulusan yang dapat terlihat secara jelas.

Melihat respon dari suaminya yang selalu bersifat positif seperti itu, bu Niken merasa ini adalah waktu yang tepat untuk memberitahu suaminya tentang ajakan liburan yang diajukan bu Aliyah beberapa hari yang lalu.

“Omong-omong, kalau semisal teman-teman sanggar mengajak liburan keluarga bersama, Ayah bisa ikut nggak?” Masih tersirat nada suara keraguan di dalam diri bu Niken. Maka dari itu, beliau langsung melanjutkan ucapannya dengan berkata, “Kalau Ayah merasa tidak nyaman, biar aku sendiri saja yang ikut.” Kali ini suara bu Niken terdengar terburu-buru namun penuh dengan keyakinan.

Melihat gestur bu Niken yang gelisah dan panik seperti itu, pak Surya hanya bisa tertawa geli. Lalu beliau berkata, “Kalau kamu sendiri yang ikut, namanya bukan liburan keluarga dong,” pak Surya dengan sengaja mengeluarkan candaannya untuk menetralkan suasana antara beliau dengan istrinya.

Bu Niken semakin merasa malu mendapat respon seperti itu dari suaminya. Beliau hanya bisa mengusap-usap tengkuk lehernya dengan malu.

“Kalau aku nggak ada kerjaan atau janji sama orang, aku bisa menemanimu.” Akhirnya pak Surya menerima ajakan tersebut.

Bu Niken tidak pernah menyangka proses ini akan berjalan selancar ini, padahal beliau sudah berpikir sampai susah tidur tentang bagaimana cara untuk menanyakan hal ini kepada suaminya. Namun, tanpa disangka-sangka ternyata proses itu bisa berjalan dengan lancar seperti sekarang ini, dan bahkan suaminya itu bisa langsung menerima ajakan tersebut tanpa ada paksaan sedikit pun.

Bu Niken tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Karena saat ini kebahagiaannya ada di batas maksimal, jadi bu Niken tidak berhenti memasang senyuman bahagianya di wajah cantiknya. Meskipun beliau sedang memakan roti panggang pemberian suaminya, akan tetapi bibirnya terus terangkat hingga akhir.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status