“Bagaimana kalau kita liburan ke puncak sama-sama?” usul bu Aliyah pada saat pertemuan kelas selanjutnya yang telah dihadiri bu Niken dan bu Sinta juga, jadi formasi 4 sekawan dalam Sanggar Seni Kenangan sudah lengkap.
“Kita berempat, Bu?” Bu Tia balik bertanya ke bu Aliyah sang pemberi usul.
“Kalau saya sih sarannya mending sama keluarga masing-masing, ajak suami dan anak masing-masing, biar nanti suasana jadi lebih rame, anak-anak kita juga jadi bisa berteman.” Bu Aliyah terdengar sangat antusias.
Mendengar ucapan bu Aliyah barusan, membuat bu Sinta dan bu Niken menjadi gelisah. Memang mereka berdua bisa saja menolak ajakan tersebut dengan sopan, tapi ucapan bu Aliyah selanjutnya membuat bu Sinta dan bu Niken tidak sanggup menolak.
“Kita bertiga dari dulu nggak pernah liburan bareng kan, padahal udah kenal selama 1 tahun lebih, jadi ini kesempatannya buat kita lebih kenal satu sama lain. Apalagi sekarang juga sudah ada bu Sinta,” ujar bu Aliyah dengan masih menggebu-gebu.
Keheningan sempat terjadi selama beberapa saat, dan keheningan itu kembali dihilangkan dengan ucapan bu Aliyah.
“Nanti aku ajak bu Larni juga, kalian lebih akrab sama dia kan, jadi pasti liburannya lebih nyaman,” ucap bu Aliyah.
Akhirnya bu Tia membuka suara. “Kalau saya sih boleh-boleh saja Bu, apalagi saya sama keluarga saya juga sudah butuh liburan, jadi kebetulan banget.” Meskipun tidak se-excited bu Aliyah, tapi apa yang diucapkan bu Tia terdengar tulus dan apa adanya.
Menerima respon yang baik dari bu Tia membuat bu Aliyah semakin berharap lebih terhadap respon dari bu Sinta dan bu Niken.
“Boleh, Bu.” Akhirnya bu Sinta mengiyakan ajakan bu Aliyah, meskipun beliau masih belum terlalu yakin apakah suaminya mau diajak atau tidak.
Sekarang kedua mata penuh harapan milik bu Aliyah tertuju ke arah bu Niken. Tatapan mata beliau seperti menyiratkan harapan besar untuk bu Niken juga menerima ajakannya.
“Nanti saya tanya suami saya dulu ya Bu, soalnya kemarin suami saja baru saja opname, jadi saya masih belum tahu kepastiannya,” ujar bu Niken dengan penuh kesopanan. Lalu beliau melanjutkan, “Kalau suami saya tidak bisa ikut liburan, mungkin saya bisa ikut sendiri.” Saking tidak mau menolak ajakan bu Aliyah, bu Niken sampai memberikan solusi darurat.
Setelah mendengar jawaban dari bu Niken, tatapan mata dan gestur bu Aliyah yang awalnya menggebu-gebu sedikit menciut, dan perubahan tersebut cukup terlihat dengan jelas.
“Maaf ya Bu,” kata bu Niken setelah menyadari atmosfer telah berubah karena jawabannya.
“Oh tidak apa apa Bu Niken, kalau memang tidak bisa ikut tidak masalah, kalau mau ikut tanpa keluarga juga boleh, yang penting kalau kita jadi liburan, Ibu jangan merasa ditinggalkan ya,” bu Aliyah mengakhiri ucapannya dengan candaan khasnya.
Bu Niken hanya bisa tertawa ringan ketika mendengar ucapan bu Aliyah. “Tentu saja saya tidak akan merasa begitu, Bu.” Ucap bu Niken. “Ibu-ibu berlibur saja senyaman dan sebahagia mungkin, jangan terlalu memikirkan saya yang tidak bisa ikut.” Bu Niken balik melontarkan candaan yang untungnya diterima baik oleh ibu-ibu lainnya.
“Oke, nanti tinggal saya koordinasikan sama bu Larni, baru nanti kita bahas lagi di pertemuan berikutnya.” Antusiasme bu Aliyah kembali timbul setelah membayangkan hari liburan itu segera tiba.
***
Hari ini bu Aliyah berniat untuk berkunjung ke rumah bu Larni, sekaligus menjenguk bu Larni yang sudah seminggu hanya bisa istirahat di rumah karena sakit yang dideritanya.
Bu Aliyah dengan sengaja mengajak kedua anaknya yang masih kecil -Tio dan Dania yang masih berusia 3 dan 5 tahun-.
“Nanti nggak boleh rewel ya, kalo rewel mending pulang aja.” Nada suara bu Aliyah terdengar sangat tegas dan berwibawa. Ya, nasihat ini memang sudah menjadi nasihat turun-temurun yang sudah dikenal oleh ketiga anak bu Aliyah.
Mendengar nasihat itu kembali, anak-anak bu Aliyah, baik Tio maupun Dania, sama-sama sudah mengerti dan menuruti nasihat tersebut, bahkan mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap rewel sedikit pun sejak awal berangkat.
Sementara itu, meskipun hari ini bu Aliyah pergi berkunjung ke rumah bu Larni dengan kedua anaknya, tapi suaminya tidak ikut bersamanya. Pak Rio tidak ikut berkunjung dengan alasan ada kesibukan lainnya bersama teman-teman kantornya. Karena bu Aliyah tidak mau memaksa suaminya untuk ikut bersamanya, jadi beliau membiarkan suaminya bersenang-senang dengan temannya, yang penting hari liburan suaminya itu mau diajak, begitu batin bu Aliyah.
Mobil yang dikendarai oleh sopir bu Aliyah telah memasuki gang rumah bu Larni. Karena gang rumah bu Larni sempit dan ada banyak mobil yang diparkir di jalanan, jadi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa sampai di rumah bu Larni.
“Ini bisa kan, Pak?” tanya bu Aliyah ketika merasa jalan yang tersisa hanya tinggal sedikit, karena di bagian kanan dan kiri jalan sama-sama dipenuhi dengan mobil. “Kalau tidak bisa, saya turun disini aja Pak sama anak-anak, Bapak nanti lewat gang belakang aja, biar lebih lega jalannya.” Bu Aliyah menawarkan diri untuk turun tidak di depan rumah bu Larni.
Karena memang tidak ada jalan keluar lain, akhirnya bu Larni bersama Tio dan Dania turun dan berjalan hingga rumah bu Larni.
Sesampai di depan rumah bu Larni, bu Aliyah menekan bel rumah tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk bu Aliyah menunggu, pintu pagar sudah dibukakan oleh suami bu Larni.
“Oh bu Aliyah, masuk masuk Bu,” suami bu Larni menyambut baik kehadiran bu Aliyah. “Ibu jalan?” Lanjut suami bu Larni ketika melihat tidak ada mobil yang terparkir di depan rumahnya.
“Nggak, Pak. Tadi kebetulan susah lewatnya, jadi mobil tidak bisa masuk, Pak.” Jawab bu Aliyah sembari masuk ke rumah bu Larni.
“Bentar Bu, saya panggil bu Larninya dulu, bu Larni udah agak baikan kok.” Kata suami bu Larni yang bernama pak Bambang.
Sepeninggal pak Bambang memanggil bu Larni, bu Aliyah duduk di sofa ruang tamu dengan anak-anaknya. Tio dan Dania benar-benar anteng seolah-olah tahu betul kalau mereka tidak boleh rewel sedikit pun.
“Ngapain repot-repot ke sini?” Terdengar suara bu Larni yang masih seperti serak. Bu Larni muncul dari kamarnya yang terlihat dari ruang tamu dengan mengenakan daster bermotif bunga-bunga.
“Justru aku nggak enak kalau nggak jenguk,” bu Aliyah bangkit dari sofa dan membantu bu Larni untuk berjalan, karena memang tadi bu Larni terlihat seperti masih lemas.
Setelah bu Larni sudah duduk di sofa ruang tamu, pak Bambang mengajak Tio dan Dania bermain di taman belakang, supaya bu Aliyah bisa berbicara dengan bu Larni seleluasa mungkin.
Bu Aliyah tidak langsung masuk ke pembicaraan utama terkait liburan yang memang hendak dibahasnya itu. Bu Aliyah memulai pembicaraan dengan basa-basi yang cukup panjang, sampai akhirnya proses basa-basi itu diketahui oleh bu Larni.
“Kamu nggak ke sini hanya buat membicarakan itu, kan?” Seperti biasa, bu Larni selalu memahami arti dari perilaku seseorang. Mungkin beliau bisa melihatnya dari gestur lawan bicaranya.
“Ketahuan nih,” ucap bu Aliyah. “Aku sama ibu-ibu kelas merajut lain berencana liburan bareng, sama keluarga masing-masing.” Bu Aliyah dengan sengaja memulainya dengan kalimat sederhana itu saja dulu, supaya beliau tidak terlihat terlalu antusias dengan rencana ini.
Mendengar ucapan bu Larni, seketika raut wajah bu Larni berubah sedikit terkejut, seolah-olah itu adalah rencana yang sangat tidak mungkin terjadi. “Semua setuju dengan rencana itu?” Akhirnya hanya pertanyaan itu yang bisa keluar dari mulut bu Larni.
Bu Aliyah menyadari perubahan sikap bu Larni tersebut. “Bu Niken masih belum bisa mastiin ikut atau nggaknya, bu Tia antusias dengan rencana ini, dan bu Sinta awalnya terlihat ragu, tapi setelah itu dia setuju dengan rencana liburan ini.” Bu Aliyah menjawabnya dengan jujur.
“Kalau ada yang tidak setuju, jangan dipaksa.” Bu Larni mengambil minum yang tersedia di meja ruang tamu, lalu beliau memberikannya ke bu Aliyah.
“Tentu saja tidak, aku juga sudah bilang ke bu Niken, kalau bu Niken tidak bisa ikut nggak usah dipaksain.” Bu Aliyah terdengar sedikit tersinggung, karena memang perasaannya sedikit sensitif.
“Oh kalau begitu bukan masalah, asal kamu jangan maksa-maksa orang lain.” Bu Larni merasa masih belum percaya dengan bu Aliyah.
“Iya iya, aku juga tahu,” ucap bu Aliyah, kali ini beliau terdengar tidak tersinggung dengan ucapan bu Larni. “Jadi gimana, kamu mau ikut juga nggak?” Lanjut bu Aliyah.
Bu Larni meletakkan minumannya ke meja di depannya. “Aku sih kemungkinan besar ikut, nanti aku bahas sama suami aku dulu juga, tapi kayaknyaa ikut, jadi tak perlu khawatir.” Bu Larni mengakhiri ucapannya dengan candaan ringannya.
Mendengar jawaban temannya itu, raut wajah bu Aliyah langsung terlihat sangat puas dan bahagia. Setelah pembahasan tentang liburan itu, mereka berdua sama-sama bercerita tentang kehidupannya masing-masing selama beberapa hari belakangan ini. Bu Larni menceritakan tentang rasa sakit yang dirasakannya selama beberapa hari belakangan ini, namun meskipun rasa sakit yang dirasakan sangatlah luar biasa, pada saat bu Larni ke dokter, dokter mengatakan tidak ada penyakit tertentu yang sedang dideritanya, jadi kemungkinan besar rasa sakit itu berasal dari pikiran.
“Kamu lagi ada masalah?” Mendengar cerita dari bu Larni, bu Aliyah otomatis menanyakan hal itu.
Seperti sudah menyangka akan ditodong pertanyaan seperti itu oleh bu Aliyah, bu Larni menjawabnya hanya dengan senyuman penuh arti. Memang sejak dulu bu Larni tidak pernah bercerita sepenuhnya kepada siapa pun, karena beliau bukan tipe seseorang yang bisa terbuka ke sembarang orang.
***
Hari ini bu Sinta sedang keluar bersama suaminya dan Zahra, anak tercintanya. Mereka bertiga pergi untuk belanja bahan makanan dan rumah tangga lainnya di supermarket terdekat. Zahra terlihat sangat bahagia begitu mendengar dirinya akan pergi bersama bunda dan ayahnya, karena sudah lama mereka bertiga tidak pergi bersama.“Bunda, nanti aku mau es krim cokelat ya,” pinta Zahra pada saat mobil yang dikendarai oleh pak Helmi -suami bu Sinta- sudah melaju dengan kencang.Bu Sinta yang duduk di bangku depan samping bangku pengemudi alias samping suaminya itu langsung menolehkan kepalanya ke arah Zahra. “Iya, Nak. Disana nanti cari semua yang kamu inginkan.” Bu Sinta menatap anaknya dengan penuh kasih sayang.Mendengar jawaban dari Bundanya itu, Zahra langsung berteriak happy. Raut wajah Zahra benar-benar bersinar cerah. Melihat raut wajah anaknya itu sumringah sekali seperti itu, bu Sinta juga ikut sen
Akhirnya, setelah sekian lama merencanakan liburan yang dinanti-nanti itu, keempat keluarga bisa berangkat liburan juga. Mereka memutuskan untuk menyewa bus kecil untuk berangkat ke puncak.Malam sebelum hari keberangkatan, bu Aliyah tidak bisa tidur, karena beliau terlalu excited menunggu hari liburan. Bahkan, tingkah laku bu Aliyah yang tidak biasa itu sempat ditegur oleh suaminya, pak Rio.“Bunda kenapa sih, kok nggak tidur-tidur dari tadi?” Nada suara pak Rio bercampur antara kesal dengan penasaran.Bu Aliyah yang awalnya mengira suaminya sudah tidur, langsung meletakkan ponselnya dan menoleh ke arah suaminya. “Aku tidak pernah merasa seantusias ini sebelumnya, tapi entah kenapa kali ini aku merasa sangat antusias sampai tidak bisa tidur,” ucap bu Aliyah. Lalu beliau melanjutkan, “Apalagi Ayah sama anak-anak mau ikut, aku jadi makin bahagia.” Nada suara bu Aliyah terdengar sangat m
Bus terus melaju dengan keceriaan yang terdapat di dalamnya. Anak-anak tidak pernah berhenti tertawa dan bermain bersama. Bahkan, Zahra yang biasanya menjadi anak yang pendiam, kali ini terlihat sangat aktif dan tawanya pun terus terlihat.“Zahra umur berapa, Bu?” Tanya bu Aliyah kepada bu Sinta yang sedang duduk bersama suaminya.Karena bu Sinta sedang berbicara dengan pak Helmi, sehingga beliau tidak sedang melihat ke arah bu Aliyah, jadi bu Sinta sedikit kikuk ketika mendapat pertanyaan dadakan itu.“4 tahun Bu, Desember ini nanti dia ulang tahun yang ke-5.” Jawab bu Sinta setelah membalikkan badannya untuk melihat ke arah bu Aliyah yang duduk di sampingnya.Setelah itu, perbincangan terus berlanjut. Dari mulai perbincangan tentang kehidupan rumah tangga, hingga kehidupan pekerjaan kembali mereka perbincangkan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah, sekarang ada sosok Hani d
Hari telah berganti, dan matahari telah menyapa semua orang kembali. Satu per satu para penikmat liburan telah terbangun dari tidurnya dan mulai mencari kesibukannya masing-masing. “Gimana Bu, apakah nyenyak tidurnya?” Tanya bu Tia kepada bu Sinta dengan memegang cangkir yang berisikan latte. Bu Tia memang terkadang harus meminum kopi di pagi hari, supaya kondisinya tetap merasa semangat sampai akhir hari. “Syukurlah Bu, anak sama suami nyaman tidur disini, saya pun jadi tidak perlu kepikiran.” Bu Sinta menjawab pertanyaan bu Tia tanpa memberikan jawaban utamanya. “Bu Aliyah bisa dibilang sangat cermat mencari vila yang pas,” kali ini bu Tia mengucapkan kalimat tersebut tanpa ditujukan untuk siapa pun, karena memang sebenarnya itu adalah hanya gumamannya saja yang secara tidak sengaja dikeluarkan dengan suara yang agak kencang. “Makasih Bu pujiannya,” tidak ada yang melihat kehadiran bu Aliya
Keesokan harinya, suasana di antara mereka masih terasa canggung, bahkan tidak ada yang berani keluar terlebih dahulu dari kamarnya masing-masing. Untungnya, hari ini adalah hari terakhir liburan, jadi nanti siang mereka akan kembali pulang dan kembali ke kehidupannya masing-masing. “Cklek…” terdengar suara pintu terbuka, dan semua orang yang masih terjaga di kamarnya langsung mencuri dengar siapakah yang akhirnya memutuskan untuk keluar kamar itu. “Menurut kamu, siapa kira-kira yang keluar?” Tanya bu Tia dengan masih tertidur di kasurnya dan berbantalkan lengan pak Andrian. Tak ketinggalan, bu Tia juga memeluk anaknya yang masih tertidur. Pak Andrian tersenyum tipis, lalu beliau mencolek ujung hidung istrinya dengan gemas. “Kamu tuh pengen tahu aja,” ucap pak Andrian kemudian. “Iya dong, kemarin kamu tahu sendiri bagaimana situasinya,” bu Tia masih mencoba mencuri dengar, bahkan kali ini bel
Hari demi hari telah berlalu sejak liburan petaka terjadi, dan sejak hari itu bu Niken tidak bisa melupakan kejadian yang tanpa sengaja beliau lihat. Bu Niken bahkan berusaha mengingat-ingat warna sepatu para suami yang dikenakan pada hari itu. Dan untungnya, ketika bu Niken mengingat-ingat akan hal itu, bu Niken ingat bahwa suaminya pada hari itu memakai sepatu berwarna hitam kecokelatan. Jadi, bu Niken mengeliminasi suaminya dari daftar lelaki yang dilihatnya para hari itu. “Mikirin apa Bu?” Tiba-tiba terdengar suara bu Tia yang sedang memandanginya dengan penuh curiga. “Eh?” Bu Niken yang tidak menyangka akan ditanyai seperti itu, hanya bisa kebingungan. “Tidak jadi Bu, saya juga tidak berhak mengetahui apa yang sedang bu Niken pikirkan saat ini.” Bu Tia menyelingi ucapannya dengan tawa ringannya yang sangat khas. “Tadi Ibu ngomong apa? Maaf tadi saya lagi ada sesuatu yang harus dipikirkan,” ucap bu Niken dengan menunjukkan perasaan
Sepulang dari sanggar, bu Niken mengendarai mobilnya dengan pikiran yang masih terpaku ke arah sepasang lelaki dan perempuan yang beliau lihat sepulang liburan. Sejujurnya, meskipun bu Niken sempat yakin bahwa lelaki tersebut bukan suaminya, akan tetapi di lain sisi bu Niken juga takut bahwa suaminya pernah mengalami kejadian seperti itu, alias bertemu dengan perempuan lain dalam keadaan yang intens tanpa sepengetahuan beliau.“Tiinnn…” suara klakson mobil yang berkepanjangan terdengar dari belakang mobil bu Niken. Ternyata karena bu Niken sedang melamun dengan santainya, beliau tidak menyadari akan pergantian warna lampu lalu lintas. Menyadari hal itu, bu Niken langsung menancap gas mobilnya.Beberapa menit kemudian, mobil bu Niken telah memasuki area garasi rumahnya. Setelah mematikan mesin mobilnya, bu Niken mengambil tas jinjingnya yang beliau letakkan di bangku penumpang, lalu beliau keluar dari mobilnya. 
Bu Aliyah keluar dari kamarnya dengan langkah yang sempoyongan. Sudah selama beberapa hari ini, beliau merasa tidak enak badan, hingga tidak bisa kemana-mana, bahkan hanya untuk ke minimarket dekat rumahnya saja pun cukup melelahkan.Bu Aliyah berjalan menuju dapur untuk makan siang, karena memang beliau baru saja terbangun dari tidurnya yang baru saja dimulai jam 4 pagi tadi. Dari pagi tadi, bu Aliyah sudah ditinggal sendiri, karena anak-anaknya sekolah dan suaminya pun kerja. Bahkan, tadi pagi pak Rio juga tidak berusaha membangunkan bu Aliyah untuk meminta tolong membuatkan sarapan.Setelah berhasil menggoreng telur dan mengambil nasi yang sepertinya sudah dimaksakkan oleh pak Rio tadi pagi, bu Aliyah langsung memakannya dengan malas-malasan. Sebenarnya, beliau tidak berselera untuk makan, akan tetapi bu Aliyah berpikir, jika beliau tidak makan secara terus-menerus, bagaimana bisa beliau sembuh.“Ting..Tong&hell