Garis jingga yang menembus dinding kaca membuat Julian terusik. Sejak Ana meninggalkannya begitu saja, Julian memilih merebahkan dirinya di atas satin putih, menenggelamkan wajahnya hingga kadang ia benar-benar tidak bisa bernapas. Ia berharap kenyataan yang baru saja dialaminya, sejenak menjadi mimpi indah, di mana Ana tersenyum padanya. Bukan kata-kata Ana yang mengganggunya, atau tamparan gadis itu yang membuatnya merasa sakit. Tapi, kenyataan Ana menyimpan perasaan marah yang amat besar padanya, itu membuat Julian tidak tenang.
Julian semakin terusik ketika telepon di samping tempat tidurnya berbunyi.
"Ya. Ada apa?" sahut Julian.
"Seseorang ingin menemui Anda, Tuan!"
"Antarkan saja ke kamarku," Julian tidak sanggup lagi berpikir bagaimana mengatakan bahwa ia ingin sendiri sekarang. Ia tak ingin berspekulasi tentang siapa yang datang. Apakah keluarganya, atau teman lamanya. Tidak. Julian tak punya hal-hal seperti itu. Selain Ana, hanya Nara yang tahu keberadaannya. Sudah seharusnya Julian tak menolak siapa pun sekarang, karena tidak akan banyak waktu ia habiskan di Indonesia.
Daun pintu berderak, "Ana!" Julian tampak terkejut.
Ana mencoba tersenyum meski agak canggung, "Maaf, kukira reaksiku tadi terlalu berlebihan. Dan aku hanya ingin memastikan Kakak sudah makan," Ana memperlihatkan sesuatu yang ia bawa. Sebuah kotak makanan.
"Masuklah!" Julian melebarkan daun pintu dan membiarkan Ana masuk ke dalam kamarnya. Julian menyesal tidak menanyakan pada resepsionis soal siapa yang datang. Ia akan berpikir tujuh kali untuk membiarkan perempuan masuk ke wilayah paling pribadi seorang laki-laki. Ada baiknya jika mereka bertemu di lobi saja. Tidakkah perempuan selalu protes jika melihat sesuatu yang berantakan. Dan lebih dari itu, Julian takut orang-orang berprasangka buruk pada Ana, meski status Ana adalah adiknya sendiri.
"Duduklah! Sebentar aku ambil baju dulu!"
Ana mengangguk saja. Ia kemudian meletakkan kotak makanan di meja dan melihat-lihat sekelilingnya. Ada koper hitam di sudut tempat tidur, dari besar koper itu Ana mengira Julian tidak akan bertahan lebih dari tiga hari di kota itu. Dan benar saja, ada sebuah tiket menuju Paris. Lusa Julian akan terbang ke Paris.
"Bagaimana kau bisa tahu aku di sini? Padahal di sini ada puluhan hotel," Julian mengusap wajahnya yang basah.
"Apa aku mengganggu istirahat Kakak?" Ana malah balik bertanya. Seakan-akan Ana tak peduli dengan apa yang dikatakan Julian dan itu membuat Julian melongo.
Julian tertawa kecil, "Kau ini," katanya. Ia kira Ana tak pernah berubah, gadis itu tak bisa fokus dengan suara, dan hanya peduli dengan apa yang ia lihat. Julian berusaha menghilangkan sayu matanya dan membuat Ana percaya bahwa dirinya samasekali tidak terganggu dengan kehadiran Ana.
"Aku tidak tahu kenapa Kakak datang kemari? Tapi, apa tidak terlalu cepat?" tanya Ana lagi. Ada kesedihan yang coba ia sembunyikan dengan senyumnya.
Julian berpaling ke Ana, ia ingin tahu jawaban apa yang diharapkan adik perempuannya itu. Ana yang memperlihatkan sebuah tiket dan menggoyang-goyangkannya.
"Apa yang Kakak lakukan di Paris?"
Kali ini Julian dibuat heran. Ia kira Ana yang menelpon ke kantornya beberapa hari lalu.
"Apa Paris kota yang indah?" tanya Ana lagi. "Apa kau akan mengajakku ke sana?"
Julian diam saja. Ia merasa tak ada yang penting dari dirinya untuk dibahas, dan entah kenapa ia merasa Ana tak benar-benar ingin mendengar jawaban darinya. "Katakan! Apa ada sesuatu?" Itulah yang sebenarnya ingin ditanyakan Julian pada Ana, yang membuatnya datang ke Indonesia. Tapi, jika itu benar-benar bukan Ana, seharusnya Julian bersyukur karena tidak ada sesuatu yang buruk terjadi pada Ana. Julian sampai pada kesimpulan bahwa dia sudah gila dengan kerinduannya selamanya ini, reaksinya terlalu berlebihan hanya karena sebuah telepon. Sia-sia, sejenak kata-kata itulah yang terlintas di benaknya. Namun, kemudian semua itu akan menjadi lebih buruk. Enam tahun tidak cukup untuk memalingkan pikirannya dari Ana. Dan sekali lagi mereka bertemu, Julian mengira tak akan cukup seumur hidup mengeluarkan Ana dari pikirannya.
"Kau ingin ke sana?" Julian menengadah pada Ana yang saat itu berdiri di bawah lukisan abstrak besar yang menempel di dinding kamar hotel.
Ana berpikir sejenak. Ia tak tahu apa ia benar-benar ingin ke Paris. Tapi kemudian Ana menggelengkan kepalanya. "Aku tak mau jauh-jauh dari Vanessa," katanya.
"Tapi, aku akan tetap membawamu ke Paris," sahut Julian.
Mata Ana membulat. Ia melihat Julian beranjak dari tempat duduknya dan menghampirinya. Seketika Julian meraih tangan kanan Ana dan melingkarkan tangan satunya di pinggang Ana. "Tutup matamu!" perintah Julian. "Dengarkan hanya suaraku!" kata Julian lagi.
"Bayangkan kau berada di sebuah restoran yang indah dengan dihujani cahaya lampu jingganya. Seseorang memutar musik, dan seorang pria mengulurkan tangan padamu, memintamu untuk berdansa. Kau mulai menari, menari dengan sangat indah. Semua mata tertuju padamu. Dan orang-orang yang berada luar, di jalanan yang basah karena sisa-sisa hujan, juga bisa melihatmu dari jendela besar restoran itu."
Julian melakukannya. Ia membuat Ana menari dengan mata terpejam. Wanita itu terlihat bahagia dengan senyumnya yang indah. Julian kira Ana mengerti apa yang ia maksudkan, tentang Paris dan keindahannya. Julian sering berhenti di pinggir jalan kemudian menengadah ke sisi jendela kaca besar di sebuah restoran terkenal di Paris. Hanya ada kebahagiaan di sana, yang hanya bisa dilihat Julian dari sudut yang sepi. Sesuatu yang membuatnya pesimis, bahwa ia akan merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan pasangan di atas sana.
Saat itu Julian bisa memandangi Ana dengan leluasa. Rambut cokelat yang tergerai indah, bibir Ana yang merah, bahkan tubuhnya yang putih dan berisi, dibalut dengan sifon berwarna hijau muda yang panjangnya hanya menutupi setengah pahanya, semuanya tak lepas dari perhatian Julian. Bahkan desahan napas hingga denyut nadi perempuan itu, Julian bisa merasakannya. Untuk sesaat Julian bisa menjadi sangat jahat, ia ingin sekali memeluk Ana dan melepaskan hasratnya pada wanita itu.
"Paris yang indah! Aku pasti sudah gila!" pikir Julian yang tiba-tiba saja menghempaskan Ana ke dadanya dan semua tentang Paris tiba-tiba saja runtuh seperti menara Pentagon.
"Ada apa?" tanya Ana heran.
"Sudah hampir malam. Nara dan Vanessa mungkin menunggumu di rumah," kata Julian yang sebenarnya lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Tidak apa-apa, aku di sini saja. Boleh, ya!"
Kening Julian mengerut. Kata-kata Ana barusan terdengar seperti rengekan.
"Aku tak percaya kau sudah punya suami dan sudah punya satu anak," ungkap Julian kemudian.
Ana hanya tersenyum mendengarnya. Sepertiga hidupnya adalah dididik oleh Julian. Dan sudah seharusnya Julian bertanggung jawab atas sikap manja Ana hari ini.
Keesokan harinya,Seperti elang yang menemukan target santapannya hari ini, Ruin menyorotkan pandangannya pada Ana dari jarak lima puluh meter ke bawah. Ana mungkin tak pernah menyadarinya, tapi letak rumah sakit yang berdekatan dengan taman tempat Ana menunggu Vanessa, memungkinkan Ruin bisa memperhatikan gadis itu dari balkon ruang kerjanya."Terakhir kali aku melihatnya tertawa seperti itu enam tahun lalu. Sekarang aku melihatnya lagi, benar-benar membuatku iri," Nara mendesah."Kau bilang dia kakaknya, tapi cara bicaramu seakan menunjukkan bahwa Julian adalah kekasihnya. Jangan lupa kalau aku masih belum membuat perhitungan padamu, kau diam saja saat kutanya soal keluarga Ana," sinis Ruin."Mau bagaimana lagi, Ana yang menginginka
"Maaf, Kak! Aku terlalu egois," sebut Ana dalam diamnya. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya saat dipantai. Dan sangat sadar bagaimana reaksi Julian kemudian. Julian tak bicara sepanjang perjalanan pulang mereka. Dia bahkan tak tersenyum lagi seperti sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan dan ia memacu mobil dengan kecepatan lebih dari saat mereka datang. Mencium Julian adalah hal yang luar biasa sekaligus memalukan bagi Ana. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan terjadi dan seharusnya tidak terjadi. Tapi, Ana sangat ingin merasakannya. Rasanya tidak salah jika ia membuat perjanjian pada Tuhan, adil jika ia meninggal di usia dua puluh enam tahun, dan Tuhan harus mengabulkan semua keinginannya. Dan seandainya Julian tahu soal perasaan Ana pada Julian, Ana mengira Julian akan terbahak, atau justru akan mengasihani dirinya sebagai seorang pengemis sekarang. "Bahwa sebenarnya yang kucintai adalah Kakak!" Ana menahan diri untuk mengatak
Paris...Isabel menunggu Julian. Ia duduk di atas sofa hitam sambil memandangi foto di atas meja di dekatnya. Sebuah foto dirinya bersama Julian. Foto yang diambil setelah pagelaran di acara Paris Fashion Week setahun lalu. Ketika itu pertama kalinya Isabel menjadi model dari gaun rancangan Julian. Gaun hitam dengan aksen yang rumit. Julian menyebutnya "Angel", gaun itu seperti dibuat dari sayap-sayap malaikat yang terbakar dan lepas. Nuansa gotiknya sangat kental, namun tetap elegan.Jauh sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, Isabel seperti orang gila terus mengejar Julian. Ia tertarik pada laki-laki itu sejak pertemuan pertama mereka. Awalnya ia hanya tertarik pada rancangan Julian saja, pernah melihat beberapa kali di acara-acara fashion. Namun, setelah dia mengunjungi Julian d'Art baru ia bicara pada Julian. Setidaknya Isabel dibuat terkejut dengan sikap Julian yang tenang dan ramah. Hanya saja Julian menunjukkan ketidaktertarikannya pada Isabel. Pada seo
Ana menepuk-nepuk dadanya ketika seseorang mengetuk pintu. Baru saja ia menenggak enam butir obat sekaligus."Ana, kau di rumah?"Itu suara tetangganya, seorang kakek pensiunan tentara yang tinggal tepat di depan kamarnya. Biasanya kakek akan mencarinya untuk tagihan listrik dan air. Ana tak bisa mengingat tanggal berapa hari itu, tapi terlalu cepat ia kira jika kakek berniat menagih uang bayaran sementara Ana merasa baru minggu lalu ia membayar tagihan tersebut."Seseorang mencarimu!" jelas kakek saat pintu terbuka. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Ana yang dia maksud adalah kau, dan apa kau mengenalnya?"Seseorang yang bersandar di sisi pintu apartemen kakek, menunduk dengan satu lengannya tertahan di saku celana. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ia kenakan. Ada satu koper di sampingnya. Ana tentu tahu itu siapa. Tapi, ia tak terlalu terkejut, karena sekali lagi "Dia berhasil menemukanku!"Sejenak
Keesokan harinya,Ana menggeser pintu menuju balkon kamarnya, ia baru saja bangun ketika ia tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarnya. Pembaringan Julian, sebuah karpet di depan tv, telah rapi dengan selimut yang terlipat.Dari atas balkon, Ana bisa memandang luasnya lapangan tanpa rumput berada diantara dua gedung bertingkat lima. Pagi yang cerah diiringi teriakan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemandangan yang sebenarnya biasa, kecuali jika Julian menjadi bagian di dalamnya. Cukup lama Ana menyandarkan tangannya di pagar balkon sambil memperhatikan Julian yang lari ke sana ke mari. Kemeja putihnya tak terlihat putih lagi. Ana tak mengerti perasaan apa, tapi ia kira Julian dan teman kecilnya benar-benar menikmati permainan mereka. Dan Ana tahu anak-anak itu tidak akan berhenti bermain sampai para ibu menarik telinga mereka.Benar saja, dua jam berlalu dan Julian belum kembali. Saat itu lapangan sudah sepi, matahari sudah mening
Julian baru saja selesai mandi ketika Ana selesai berdandan. "Mau kemana?" tanyanya sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.Ana berpaling melihat Julian, tapi ia buru-buru menundukkan pandangannya. Julian yang hanya mengenakan celana denim hitam, tanpa mengenakan kemeja, membuatnya merasa canggung. "Aku akan menemui Vanessa," katanya terdengar ragu."Benarkah? Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Julian berjalan ke arah Ana. Ana panik ketika Julian semakin merapat padanya. Hanya berjarak satu kepalan tangan sampai wajahnya bisa menempel ke dada Julian. Saat itu Ana bisa melihat dengan jelas, bagaimana titik-titik jahitan kawat mengurai kenangan lama tentang bedah besar yang dialami Julian. Tulang rusuknya digergaji, dibuka, dan jantung yang masih berdenyut menjadi incaran para dokter bedah. Ana tak tahu seberapa sakit itu. Tapi untuk waktu yang sangat lama, Ana selalu ingin bertanya, "Apa itu masih terasa sakit?" Julian semakin mendeka
"Kau sudah pulang?" Ana bangun dari tempat duduknya.Julian tertegun ketika memperhatikan Ana. Ia baru sadar telah sampai di apartement kecil Ana. Terakhir ia ingat masih berada di rumah sakit dan bicara pada Dokter Ruin. Julian merapatkan pintu apartemen. Sudah hampir pukul sebelas malam waktu itu. Tapi, Julian tak menyangka Ana masih menunggunya. Bahkan dengan makanan yang tersaji apik di meja."Apa Kakak sudah makan?" tanya Ana lagi.Julian tidak menyahut."Padahal aku memasak khusus untukmu. Sekarang pasti sudah dingin," ucap Ana kecewa.Julian berjalan ke meja makan dan duduk di sana. Ia mengambil sendok dan mencicipi satu per satu makanan yang dibuat Ana. Tak lama kemudian senyumnya melebar, "Sejak kapan kau bisa memasak?" kata Julian terkesan meledek tak percaya. Dalam ingatannya, Ana makhluk yang tak tahan berada di dapur."Bagaimana? Enak, kan?" Ana mengharap sebuah pujian.
[....Apa semua salahku, aku sebenarnya tidak ingin peduli kepadanya, dan seharusnya ia juga seperti itu. Ya. Kelihatannya memang ia tidak peduli, tapi yang terjadi di belakangku, adalah fakta yang sebenarnya. Aku tidak tahu kalau kondisi kami begitu buruk sepeninggal ayah. Tinggal di kamar kumuh seluas 4x4 m, tidur di atas kasur yang keras dan makan makanan pinggir jalan. Tapi, lebih buruk lagi, aku harus bertemu dengannya di sebuah proyek pembangunan hotel di samping mall kota kami. Julian jadi buruh di sana. Awalnya aku tidak yakin, tapi tidak sengaja Julian juga menoleh kepadaku. Kami berpandangan cukup lama, keningnya mengerut, agaknya ia juga tidak yakin itu aku. Julian mengusap dahinya berulang kali. Itu pasti sangat melelahkan buatnya. Laki-laki itu seharusnya tidak perlu begitu bersusah payah jika saja untuk menghidupi dirinya sendiri. "Ayo, An!" Aku tercegat sejenak. Teman-temanku