Julian baru saja selesai mandi ketika Ana selesai berdandan. "Mau kemana?" tanyanya sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.
Ana berpaling melihat Julian, tapi ia buru-buru menundukkan pandangannya. Julian yang hanya mengenakan celana denim hitam, tanpa mengenakan kemeja, membuatnya merasa canggung. "Aku akan menemui Vanessa," katanya terdengar ragu.
"Benarkah? Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Julian berjalan ke arah Ana. Ana panik ketika Julian semakin merapat padanya. Hanya berjarak satu kepalan tangan sampai wajahnya bisa menempel ke dada Julian. Saat itu Ana bisa melihat dengan jelas, bagaimana titik-titik jahitan kawat mengurai kenangan lama tentang bedah besar yang dialami Julian. Tulang rusuknya digergaji, dibuka, dan jantung yang masih berdenyut menjadi incaran para dokter bedah. Ana tak tahu seberapa sakit itu. Tapi untuk waktu yang sangat lama, Ana selalu ingin bertanya, "Apa itu masih terasa sakit?" Julian semakin mendekat, ana mencoba mundur, tapi ada tembok di belakangnya. Ia bahkan merentangkan jari-jarinya, sewaktu-waktu ia bisa saja mendorong Julian. Laki-laki itu tak seharusnya... "koper?" heran Ana. Koper Julian yang berada di belakang Ana.
Julian mengambil sebuah kemeja hitam dari kopernya, "kebetulan hari ini aku juga harus pergi ke suatu tempat," lanjut Julian.
Ana memegangi dadanya. Jantungnya berdegup kencang dan ia masih berusaha mengatur napasnya. Ana merasa perasaannya begitu kacau, sementara Julian masih bersikap biasa. Julian yang mengancingkan kemejanya, kemudian berjalan santai menuju meja makan.
<<>>
Julian berjalan menunduk, ia mencoba mengatur langkahnya agar tak terlalu cepat. Dua tangannya tertahan di saku celananya dan Julian bisa melihat bayangan dirinya di atas marmer putih.
Ada aroma khas yang mengganggu penciumannya. Aroma yang sebenarnya tak asing buat Julian karena ia pernah berbulan-bulan berada di rumah sakit. Dia hafal dengan hiruk pikuk rumah sakit yang entah sejak kapan membuatnya ingin menghindari tempat itu. Dan saat harus berada di sana, Julian menghela napas berulang kali, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
dr. Ruindira Atmadja, spesialis bedah onkologi. Sesuai dengan yang tertera di kartu nama. Julian menengok sedikit ke dalam ruangan, tampaknya ia akan menunggu lama jika ingin bertemu pria berkulit putih yang pernah ditemuinya di bandara. Orang itu sedang sibuk dengan pasien-pasiennya. Benar saja, hampir dua jam ketika Dokter Ruin kemudian keluar dari ruangannya,
"Kau seharusnya menelponku jika ingin bertemu."
Julian mengalihkan pandangannya dari i-pad dalam genggamannya ke lantai. Sepasang sepatu yang membalut kaki seseorang yang kemudian ia lihat, Julian menengadahkan kepalanya sebelum benar-benar menegakkan tubuhnya.
Dokter Ruin tersenyum, "Kita bicara di kantin," katanya. Saat itu sudah satu jam lewat dari jam makan siang yang seharusnya. Julian menurut saja. Langkahnya menggiring pria berjas putih. Pria yang sibuk menebarkan senyum setiap kali ada yang berpapasan dengannya.
"Aku meminta maaf karena membuatmu terkejut waktu itu," Doter Ruin memulai pembicaraan. Sekilas pembicaraan mereka terlihat santai. Sebelumnya juga seperti itu. Tapi, seharusnya seorang dokter tahu kapan dan bagaimana caranya menyampaikan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang mampu membuat seseorang tenggelam dalam kesedihan dan keputusasaan. "Tapi, aku tidak punya pilihan," sambung Ruin.
Ada sesuatu yang lain yang ditangkap Julian dari sikap Ruin saat itu. Raut wajah Ruin berubah. Senyumnya yang perlahan tenggelam dalam kegetiran. Untuk pertama kalinya Julian merasa Ruin berada di luar jalur seharusnya ia bersikap. Bukan hanya sekadar hubungan professional antara dokter dan pasien. Itu membuat Julian penasaran, seberapa dekat ia dengan Ana. Dan apakah dokter itu sudah menikah? Dia akan tampak sempurna di mata wanita.
Julian masih diam, sementara Dokter Ruin sibuk mengosongkan tempat di meja untuk menempatkan makanan yang ia pesan. Sepotong daging sapi dengan potongan kentang, serta salad sayur dan buah. Secangkir kopi telah tersaji lebih dulu. Entah, apakah itu menu umum yang ada di jam makan siang.
"Sepertinya kau sudah terbiasa dengan itu," Ruin bersuara lagi. Kali ini ia membuat gerak tangan Julian terhenti. Soal pisau yang ia gunakan untuk memotong daging dan garpu yang berada di tangan kirinya, Julian melepaskan dua benda itu. Gerak mulutnya melambat, ia merasa tak nyaman jika makan siang kali ini hanyalah untuk menguji dirinya.
"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" tanya Ruin.
Julian menyeruput kopinya, "apa yang ingin kau tahu dariku?" Julian balik bertanya.
"Aku tahu tentangmu, dan aku yakin kau memang benar Julian sang desainer itu. Dunia hiburan internasional sedang sibuk mencarimu. Kau menghilang begitu saja, bahkan mungkin kau meninggalkan pacarmu di sana," ucap Ruin.
"Aku tidak punya apa-apa lagi yang bisa kukatakan tentang diriku," tanggap Julian.
"Ada," sanggah Ruin, "tentang hubunganmu dengan Ana dan maksudnya menganggapmu "tidak" sebagai keluarga. Aku hanya ingin memastikan yang terbaik untuk pasienku."
"Aku mengenal Ana sejak usianya delapan tahun. Sejak ayahnya meninggal, dia hidup denganku sampai usia 21 tahun. Tidak ada yang lebih baik yang bisa menjaga Ana di dunia ini selain aku," Julian mencoba meyakinkan.
"Tapi, kau meninggalkannya dan pergi ke Paris. Gadis itu seperti orang gila terus menyebut namamu saat ia sekarat?"
Julian menantang pandangan Ruin, ia tak suka dengan kata 'sekarat' yang diucapkan Ruin. "Lalu menurutmu apa aku harus tinggal di sini dan membiarkannya selalu bergantung padaku?" suara Julian melemah. Masih teringat jelas sakitnya meninggalkan Ana enam tahun lalu dan datang ke negeri asing di mana tak seorang pun ia kenal.
Ruin tersenyum sinis, ia masih tak mengerti bagaimana sebenarnya Julian. Apa yang membuat Ana terus menyebut nama Julian dalam sakitnya. "Lalu apa menurutmu Ana harus bergantung padamu sekarang?"
Julian mengalihkan pandangannya. Ia kira dokter itu terlalu banyak bertanya dan tak perlu rasanya menjawab semua pertanyaan itu. Untuk sejenak Julian ingin meghindar, tapi itu tak akan lama, karena mengetahui kondisi Ana yang sebenarnya, adalah jauh lebih penting buatnya.
"Baiklah," sepertinya Ruin bosan menunggu jawaban dari Julian, "dia seharusnya tak bergantung padamu, tapi padaku," lanjutnya.
Julian tak menyangkal itu. Setidaknya Ruin adalah seorang dokter.
"Kanker tumbuh di lambungnya. Sampai saat ini belum menyebar ke kelenjar getah bening, aliran darah ataupun organ lainnya. Kubilang sampai saat ini, itu berarti ada potensi untuk semakin parah," Ruin mencoba menegaskan. "Kami tidak bisa melakukan pembedahan karena risikonya yang cukup tinggi. Satu-satunya yang bisa kusarankan adalah kemoterapi untuk mencegah penyebaran kanker dan Ana menolaknya. Ana akan mengalami mual dan sakit perut yang hebat sebagai gejala dari penyakitnya, sampai sekarang ia hanya mengkonsumsi obat yang kuberikan," sejenak Ruin melirik ke Julian yang tak lagi menyentuh makanannya.
Sampai Ruin menegakkan tubuhnya, mengelap mulutnya, Julian tetap diam memandangi gelas kopinya dengan sorotan keputusasaan.
"Aku menyesal harus mengatakan ini, tapi seperti yang kubilang aku tidak punya pilihan," Ruin pergi dengan meninggalkan dua lembar uang seratus ribu di atas meja.
"Kanker?" lirih Julian. Julian hampir tertawa, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia melirik ke Dokter Ruin, berharap dokter itu salah memberikan informasi. Namun, Dokter Ruin tidak berpaling dan pelan-pelan bayangan Ana muncul di benaknya. Ana yang tadi malam gelisah di bawah selimutnya sendiri karena rasa sakit dan Ana yang berbohong tentang banyak hal padanya, itu memaksa Julian yakin sesuatu yang buruk terjadi pada Ana.
Segera setelah Ruin pergi, Julian melanjutkan makan siangnya, entah kenapa ia merasa sangat lapar saat itu. Ia menjejalkan apa saja yang tertangkap oleh garpunya, menelannya sebelum sempat makanan itu terkunyah sempurna. Dadanya terasa sesak, ia pikir itu karena makanan yang tersangkut di kerongkongannya. Julian menepuk-nepuk dadanya, tapi itu tak berguna, dadanya tetap terasa sesak. Julian meraih gelas kopinya, hanya saja tidak setetes pun air tersisa. Itu membuatnya kesal. Tak sadar, air mata Julian mulai menetes. Ia mulai merasa kesal pada dirinya sendiri, pada meja makan di depannya, pada semuanya yang ada di sana. Julian mendorong meja makan hingga terbalik. Semua pengunjung terkejut dan berpaling ke Julian. Termasuk Dokter Ruin, ia masih bisa melihat bagaimana kacaunya Julian saat itu.
"Tuan! Apa Anda baik-baik saja?" beberapa waiters menghampirinya.
Julian menghalaunya, tak membiarkan seorang pun menyentuhnya. Julian mengeluarkan dompetnya dan melemparkan sejumlah uang ke lantai. Ia pikir itulah yang diinginkan orang-orang yang mulai mencoba menahannya agar tak anarkis.
"Biarkan saja dia," Ruin bersuara.
Orang yang coba menangkap Julian mulai menjaga jarak. Saat itu Julian berjalan keluar dengan tubuh sempoyongan. Bukan alkohol yang ia minum, tapi kepalanya terasa sangat berat. Julian terus berjalan hingga tak sengaja telah berada di depan sekolah Ana dulu, tempat ia biasa menunggu Ana setiap pulang sekolah. Julian duduk di pinggiran trotoar di depan sekolah itu. Ada tiang listrik yang menjadi tempatnya menyandarkan bahu, sementara kepalanya yang berat, tertunduk dan tertahan di antara kedua pahanya.
"Kau sudah pulang?" Ana bangun dari tempat duduknya.Julian tertegun ketika memperhatikan Ana. Ia baru sadar telah sampai di apartement kecil Ana. Terakhir ia ingat masih berada di rumah sakit dan bicara pada Dokter Ruin. Julian merapatkan pintu apartemen. Sudah hampir pukul sebelas malam waktu itu. Tapi, Julian tak menyangka Ana masih menunggunya. Bahkan dengan makanan yang tersaji apik di meja."Apa Kakak sudah makan?" tanya Ana lagi.Julian tidak menyahut."Padahal aku memasak khusus untukmu. Sekarang pasti sudah dingin," ucap Ana kecewa.Julian berjalan ke meja makan dan duduk di sana. Ia mengambil sendok dan mencicipi satu per satu makanan yang dibuat Ana. Tak lama kemudian senyumnya melebar, "Sejak kapan kau bisa memasak?" kata Julian terkesan meledek tak percaya. Dalam ingatannya, Ana makhluk yang tak tahan berada di dapur."Bagaimana? Enak, kan?" Ana mengharap sebuah pujian.
[....Apa semua salahku, aku sebenarnya tidak ingin peduli kepadanya, dan seharusnya ia juga seperti itu. Ya. Kelihatannya memang ia tidak peduli, tapi yang terjadi di belakangku, adalah fakta yang sebenarnya. Aku tidak tahu kalau kondisi kami begitu buruk sepeninggal ayah. Tinggal di kamar kumuh seluas 4x4 m, tidur di atas kasur yang keras dan makan makanan pinggir jalan. Tapi, lebih buruk lagi, aku harus bertemu dengannya di sebuah proyek pembangunan hotel di samping mall kota kami. Julian jadi buruh di sana. Awalnya aku tidak yakin, tapi tidak sengaja Julian juga menoleh kepadaku. Kami berpandangan cukup lama, keningnya mengerut, agaknya ia juga tidak yakin itu aku. Julian mengusap dahinya berulang kali. Itu pasti sangat melelahkan buatnya. Laki-laki itu seharusnya tidak perlu begitu bersusah payah jika saja untuk menghidupi dirinya sendiri. "Ayo, An!" Aku tercegat sejenak. Teman-temanku
Sampai sekarang Julian belum mengatakan apa-apa soal dirinya. Itu membuat Ana khawatir. Diam-diam ia menguping pembicaraan Julian di telepon. Soal penikahan. Ana tak mengerti jelas apa yang terjadi. Ia ingat waktu di pantai, Julian juga tak terlalu menanggapi ketika ditanya apa dia sudah menikah, atau minimal dia punya pacar. Ana tak tahu kehidupan seperti apa yang ditinggalkan kakaknya di Paris, sementara Julian sudah mengambil keputusan tidak akan kembali ke sana. Ana merasa bersalah untuk itu, dan perasaan itu membuatnya semakin terbebani.Ana membuka pintu kamarnya, ia temukan Julian berada di ujung koridor apartementnya. Laki-laki itu buru-buru menjejalkan ponsel ke saku celana ketika sadar Ana menghampirinya.Langit pagi yang indah yang kemudian mereka perhatikan. Masih ada garis-garis jingga yang terpancar di ufuk timur. "Telepon
"Kau duluan saja! Aku ke kamar mandi sebentar!" ucap Julian sebelum mereka sempat masuk ke ruangan Dokter Ruin.Ini pertama kalinya Ana datang bersama Julian ke rumah sakit. Julian yang meminta Ana untuk pergi bersama. Tentu saja Ana tidak bisa menolak setelah Julian tidak bicara padanya hampir tiga hari lamanya, makan dan tidurnya juga jadi tidak karuan. Entah apakah Julian perlu waktu untuk menerima kenyataan, yang jelas Ana dibuat hampir gila karena masalah itu. Dan semua itu, tentunya salah laki-laki berjas putih yang selalu sok tahu."Kau bilang kau sahabatku!" teriak Ana setelah menampar Ruin di depan pasien-pasiennya. "Tapi, kau samasekali tidak mengerti aku," katanya lagi.Ruin diam saja sambil memegangi pipinya. Ini reaksi wajar dari Ana yang sudah ia perkirakan sebelumnya.
Saat kembali ke apartement milik Ana, Julian dihujani pandangan menyeringai perempuan itu. Siapa pun akan heran ketika melihat orang-orang yang katanya dari kamar kecil, kembali dengan wajah lebam dan berdarah. Baik Julian maupun Nara, mereka berdua sama saja."Kau puas sudah menghajarnya?" Ana setengah berteriak.Julian yang menyandarkan pantatnya di meja makan tidak bisa berkata apa-apa."Lihat wajahmu ini!" Ana mengangkat dagu Julian dengan jarinya, kemudian mengusapkan obat luka ke wajah Julian. "Lihat! Julian yang punya wajah tampan dan jadi perhatian para perempuan, sekarang sudah nggak keren lagi!" Ana menggesar sedikit tubuhnya, mengarahkan Julian pada cermin yang tertempel di dinding belakang Ana."Kukira perempuan lebih suka sama cowok yang punya banyak bekas luka. See
Ana turun dari mobil, taman luas dengan hamparan rumput hijau menghadangnya. Tempat itu sejuk meskipun matahari bersinar cukup terik di hampir pukul dua hari itu. Ana sudah tak sabar bertemu Paman Toro. Setidaknya ia akan mencium aroma khas sebuah keluarga jika berkunjung ke sana.Dari sebuah dinding kaca besar, Ana melihat Paman Toro sedang duduk bersama anggota keluarganya yang lain. Orang tua itu sempat tertegun ketika menyadari kehadiran Ana. Sesaat ia berjalan cepat ke luar hanya untuk menyambut Ana."Aku merindukan Paman!" Ana memeluknya. Ia ingat bagaimana Paman Toro memaksanya untuk tinggal di rumah yang ia pijak sekarang ketika ia bercerai dengan Nara. "Kau sudah kuanggap seperti puteriku sendiri," katanya berulang kali. Tentu saja Ana tahu itu tulus dan untuk setiap kali datang ke sana, Ana merasa masih memiliki keluarga.
Ana menjadikan bahu Julian sebagai tempat bersandar saat ia tertidur, untuk itu Julian hanya menggunakan satu tangan untuk menyetir mobil sport hitamnya. Dari rumah Paman, mereka akan menyusuri jalan beraspal di daerah pesisir untuk menuju ke rumah lama mereka. Julian menikmati suasana saat itu, aroma laut yang perlahan membangkitkan memori masa remajanya. Untuk sesaat, ia ingin agar perjalanan mereka jadi lebih panjang. Julian tak pernah keberatan, jika saja jalan yang akan dilaluinya berat, lama dan sangat panjang, asalkan itu bersama Ana. Rasa cintanya pada Ana membuatnya terkekang dalam perasaan tak menentu sepanjang tahun dan entah sejak kapan, Julian tetap memilih jalan itu.Matahari telah kembali keperaduan, satu bintang mulai memancarkan cahayanya di ufuk barat. Ana baru saja mengangkat wajahnya dari bahu Julian. Tangan kanan Julian masih memegang stir, hanya saja mobil yang mere
Berita tentang anak sulung Segovia yang telah kembali rupanya begitu cepat menyebar. Sejak Julian turun dari mobil, banyak yang menghadangnya, sekadar menunduk sebagai sebuah penghormatan dari pegawai ke pemimpinnya. Pemandangan seperti itu sebenarnya sudah menjadi budaya di Mount East. Julian tak terlalu mengerti arti sebuah penghormatan. Ia hanya membawa ajaran ayahnya, bahwa dirinya harus terbiasa diperlakukan seperti itu. Julian bahkan tidak diperkenankan untuk tersenyum untuk membalas sambutan hangat orang lain padanya. Satu hal lagi yang penting, bahwa punggungnya harus tetap tegak apa pun yang terjadi. Ayahnya selalu bilang di punggung itu berlindung ribuan pekerja. Kau harus bisa dipercaya sebelum mereka menjatuhkan kepercayaan padamu sebagai pemimpin. Jangan pernah melirik ke samping, apalagi berpaling ke belakang. Bicaralah dengan tetap menghadap ke depan. Dan untuk sesaat, Julian menjadi orang yang sangat arogan.