"Mbak, bangun Mbak," ucap Pak Abdullah mencoba membangunkan perempuan itu. Namun, Amira tak kunjung bangun. Badannya sedingin es dengan wajah yang memucat. Sementara tangisan Gemilang tak kunjung berhenti membuat Pak Abdullah sedikit panik.
"Mbak, bangun Mbak." Pak Abdullah terus mencoba membangunkan Amira.
Yudha, yang merupakan anak sulung Pak Abdullah gegas menghampiri suara tangisan bayi saat ia baru saja sampai di pelataran masjid.
Dilihatnya sang Ayah sedang berusaha membangunkan seorang wanita yang di sampingnya ada bayi yang tengah menangis, gegas Yudha menggendong bayi tersebut.
Amira mengerjapkan kedua matanya. Bibirnya menggigil kedinginan, ia ingin bangun tapi seluruh tubuhnya seperti mati rasa. Hujan deras yang kembali turun semalam membuat tubuhnya kedinginan. Amira, yang memang punya riwayat tak kuat dingin pun, mengalami hipotermia ringan karena ia tak memakai jaket atau sesuatu yang tebal untuk melindungi tubuhnya.
Wajah Amira tersorot lampu teras, Yudha pun dengan segera mengenali Wajah cantik yang pucat itu.
"Amira?" Yudha bergumam, hal itu membuat Pak Abdullah menoleh padanya.
"Kamu kenal, Yud?" tanya Pak Abdullah.
"Dia Amira, Pak. Istri temanku," jawab Yudha setelah memastikan wanita yang dilihatnya adalah Amira. 'Ya Allah apa yang terjadi padamu, Mir,' bathin Yudha.
"Ya sudah, kamu panggil Ibumu Yud, bawa dia ke rumah, kasihan itu bayinya juga kedinginan," perintah Pak Abdullah pada Yudha.
Yudha pun gegas bertolak ke rumahnya sembari menggendong Gemilang yang sudah mulai tenang dalam gendongan Yudha.
Sesampainya di rumah, Bu Zaenab--Ibu Yudha, sedikit kaget dengan kehadiran Yudha yang membawa seorang bayi. Yudha belum sempat menjelaskan, ia segera memberikan Gemilang pada Ibunya. Kemudian diambilnya selimut tebal miliknya dan gegas ia kembali ke masjid dengan tatapan bingung Bu Zaenab.
Amira sudah bangun, bibirnya menggigil, ia mencari-cari di mana Gemilang.
"Gemilang," lirihnya.
Yudha datang langsung menyelimuti tubuh kecil milik Amira. Bersama dengan Pak Abdullah, Yudha menggotong tubuh Amira sampai di rumahnya. Subuh masih terasa sepi, belum sepenuhnya orang-orang sekitar bangun, apalagi cuaca yang basah akibat hujan deras semalam.
Yudha dan Pak Abdullah meletakkan tubuh Amira di atas karpet tebal yang terbentang di ruang keluarga yang sebelumnya sudah diberi bantal.
Pak Abdullah meminta Bu Zaenab--istrinya untuk menolong Amira. Sementara Gemilang, diberikan pada Yuni--anak keduanya.
"Buk, tolong perempuan ini ya. Sepertinya ia sedang butuh pertolongan. Badannya dingin sekali," perintah Pak Abdullah.
"Tapi, Pak. Kita gak kenal dia, kalau terjadi apa-apa gimana, Pak?" Bu Zaenab merasa cemas.
"Ibu tenang saja, saya kenal dia Bu. Dia Amira, istri temanku waktu kuliah," jawab Yudha menenangkan Ibunya. "Nanti aku coba hubungi suaminya, Bu. Lebih baik kita tolong Amira sekarang."
Bu Zaenab merasa iba dengan kondisi Amira, apalagi setelah melihat Gemilang yang sepertinya sangat haus meminta Asi pada Ibunya.
"Bapak ke masjid dulu, biar Yudha di sini temenin Ibu dan Yuni. Takut terjadi apa-apa dengan perempuan ini." Pak Abdullah pamit, ia akan melanjutkan tugasnya untuk azan di masjid.
Sementara itu, tubuh Amira dibalur dengan minyak kayu putih oleh Bu Zaenab. Gemilang, sudah sedikit tenang dalam gendongan Yuni. Yudha memutuskan untuk Salat subuh di kamarnya.
Setelah beberapa kali tubuh Amira dibalur minyak kayu putih dan dikompres dengan air hangat, badan Amira tak sedingin seperti tadi.
"Alhamdulillah, kamu sudah baikan Nak, ayo ini diminum teh manis hangatnya dulu." Bu Zaenab membantu mendudukkan Amira, kemudian membantunya meminum teh manis hangat.
Amira mengalami hipotermia ringan pada tubuhnya. Dinginnya angin malam karena hujan yang kembali datang, membuat Amira tak kuasa menahan dingin yang menusuk tulang. Untunglah, Gemilang tidak mengalami hal yang sama dengan Ibunya,karena dipakaikan jaket yang tebal pada tubuh Gemilang.
"Anak saya mana, Bu?" tanya Amira setelah menyesap hangatnya teh dari Bu Zaenab.
"Kamu tenang saja, ya. Anakmu ada di kamar," jawab Bu Zaenab.
"Aku ingin memberikan anakku, Asi, Bu. Dia pasti kelaparan," pinta Amira.
Yuni keluar dari kamarnya sembari menggendong Gemilang setelah dipanggil oleh Ibunya. Diberikannya Gemilang pada Amira untuk di-asihi.
"Terima kasih, Bu, sudah menolong saya," ucap Amira tulus, tangannya mengelus pipi lembut Gemilang yang sedang menyusu.
"Sama-sama, Nak. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi?" tanya Bu Zaenab lembut.
Amira tak menjawab pertanyaan Bu Zaenab, air matanya berdesak-desakan ingin keluar dari kedua netra indahnya. Amira hanya menangis, merasa tak sanggup menceritakan apa yang dialaminya. Ia merasa malu, tak ingin kisah rumah tangganya diketahui oleh orang lain.
"Baiklah, kalau kamu tak bisa bercerita, tak apa-apa. Mungkin kamu belum siap." Bu Zaenab seakan mengerti, ia tak memaksa Amira untuk bercerita. "Nanti biar anakku yang menghubungi suamimu, kata Yudha dia kenal dengan suamimu," lanjut Bu Zaenab.
"Yudha?" Amira kaget, ia berpikir sejenak mengingat Yudha. Amira pun ingat, Yudha adalah sahabat Radit dahulu. Mereka berdua sering nongkrong di kafe tempat Amira bekerja. Namun, hubungan Yudha dan Radit menjadi renggang karena dirinya. Ya, dulu Yudha pun mengejar Amira, tetapi Amira lebih memilih Radit.
"Yun, kamu panggil Mas-mu, sana," perintah Bu Zaenab pada Yuni yang dari tadi menyimak percakapan Ibunya dan Amira. Gadis tujuh belas tahun itu, gegas beranjak dari duduknya dan memanggil Yudha yang berada di kamar.
Sementara itu, di kamar, Yudha tengah menghubungi Radit. Sebenarnya sudah lama ia tak pernah berkomunikasi dengan Radit. Persaingan dirinya dengan Radit untuk mendapatkan Amira, membuat hubungan keduanya renggang. Yudha meminta nomor Radit dari Edo, sahabat mereka juga. Edo pun dulu sama, menginginkan Amira. Namun sekarang, Edo telah menikah dan memiliki keluarga kecil yang bahagia.
Berbeda dengan Yudha, bayangan Amira tak pernah hilang dari hati dan ingatannya. Lelaki berusia hampir tiga puluh tahun itu, masih melajang sampai sekarang. Belum ada wanita lain yang bisa menggantikan Amira dari hatinya. Tak pernah ia bayangkan akan bertemu Amira dalam kondisi seperti ini.
**
Radit merasa terganggu dengan suara ponsel yang terus menjerit-jerit di atas meja di sisi ranjangnya. Diraihnya ponsel itu, lalu ia membuka matanya dengan paksa, dilihatnya nomor tak dikenal terus menghubunginya.
Radit mengangkat teleponnya dengan malas, ia mengira mungkin klien atau atasannya yang meneleponnya.
"Halo."
"Radit, ini gue, Yudha." Suara di seberang telepon membuat Radit membelalakkan kedua matanya.
"Oh, apa kabar lo? tumben, telepon gue," tanya Radit basa-basi.
"Gue cuma mau bilang, Amira ada di rumah gue. Gue gak tahu ada masalah apa lo sama Amira, yang jelas gue gak tega liat keadaan istri lo," jelas Yudha.
Radit tersenyum kecut, tak menyangka ternyata istrinya juga berhubungan dengan Yudha. Radit berpikir, mungkin selama ini Amira dan Yudha masih berhubungan di belakangnya.
"Gak sangka gue, ternyata perempuan itu pergi ke rumah lo Yud." Radit terlihat kecewa, ia membayangkan Amira sekarang tengah berada di pelukan Yudha dan menertawakan kebodohannya.
"Ini gak seperti yang elo kira, Dit. Gue gak sengaja ketemu Amira." Yudha berusaha menjelaskan.
"Gue udah talak dia, secepatnya gue akan urus perceraian kami. Gue udah gak ada hubungan apa-apa lagi dengan Amira." Radit menutup teleponnya sepihak lalu memblokir nomor Yudha.
Radit mengacak rambutnya kasar, ia meraih foto pernikahannya dengan Amira lalu membanting foto itu hingga hancur berkeping-keping. Radit sangat kecewa dengan Amira, ia merasa sangat bodoh karena tak tahu hubungan Amira dan Yudha di belakangnya.
Yudha tertegun sejenak setelah telepon dimatikan sepihak oleh Radit, padahal ia belum menjelaskan apa pun. Yudha kembali menghubungi Radit, tetapi nomornya sudah di blokir. Hal itu membuat Yudha bertanya-tanya tentang masalah yang terjadi antara Radit dan Amira.
"Mas, dipanggil Ibu," suara Yuni, membuat Yudha mengehentikan aktivitasnya menghubungi Radit kembali. Gegas ia keluar kamar untuk menemui Amira yang masih berada di ruang keluarga.
Ada rasa canggung menelusup hati Yudha saat sudah duduk berhadapan dengan Amira. Rasa yang ia coba kubur dalam-dalam, kini muncul membuat debaran-debaran aneh di hatinya.
Sementara Amira, ia merasa tak enak dengan Yudha dan keluarganya. Amira tak menyangka akan bertemu Yudha dalam kondisi seperti ini.
Bersambung....
Retno sedang menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya. Tak adanya Amira di rumah itu, membuat Retno sedikit kerepotan dalam mengurus rumah. Padahal baru satu malam Amira pergi dari rumah itu. Namun, ia menikmatinya karena kepergian Amira adalah keinginannya. Toh nanti, ia bisa meminta Radit untuk menyewa pembantu.Radit keluar dari kamarnya, ia baru saja selesai mandi dan bergegas menuju meja makan. Tak lama, Rania pun keluar dari kamarnya dan bersiap untuk sarapan."Pagi, Bang," sapa Rania, sembari menjatuhkan bobot tubuhnya pada kursi di samping Radit.Radit hanya tersenyum menanggapi sapaan adiknya tersebut. "Hari ini, apa rencanamu, Dit?" tanya Retno sembari mengambilkan nasi untuk Radit."Radit mau mengurus perceraian, Bu," jawab Radit, ia menerima piring yang sudah berisi nasi yang diambilkan Retno."Bagus, Bang. Lebih cepat lebih baik," timpal Rania."Iya Ran." Radit berucap datar."Kira-kira kemana ya, perginya perempuan lacur itu?" tanya Rania sambil menyuapkan nasi ke mulutny
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Amira masih berada di ruang tengah di rumah Yudha bersama bayinya sembari memberikannya asi. Kondisi Amira sudah membaik, meskipun wajahnya masih terlihat pucat. Yudha dan Pak Abdullah sudah berangkat kerja sebagai guru dari tadi pagi, sedangkan Yuni sudah berangkat ke sekolah. Di rumah, hanya ada Bu Zaenab dan Amira. Setelah melihat kondisi Amira yang sudah tenang, Bu Zaenab kembali mencoba bertanya pada Amira. Tadi pagi sempat Yudha juga bertanya pada Amira, tetapi Amira hanya diam saja dan menangis. Yudha juga sempat bercerita pada Ibunya tentang telepon Yudha pada suami Amira yang dimatikan sepihak. "Nak Amira," sapa Bu Zaenab. Amira seketika menoleh ke arah Bu Zaenab. "Sekarang apa bisa, kamu ceritakan masalahmu? Ibu ingin sekali membantumu, sepertinya kamu memiliki masalah yang berat," bujuk Bu Zaenab sembari mengelus pipi mungil Gemilang. Amira tertunduk, sebenarnya ia merasa malu menceritakan masalahnya pada orang lain. Nam
Sudah seminggu lamanya Amira tinggal di rumah keluarga Yudha. Sehari-hari Amira membantu Bu Zaenab membuat adonan kue untuk dijual sesuai pesanan. Ada beberapa kue yang dijual Bu Zaenab, diantaranya ada bolu, brownies dan beberapa kue basah lainnya. Amira sangat antusias sekali belajar membuat kue pada Bu Zaenab, untung saja Gemilang tak begitu rewel saat Amira membantu Bu Zaenab.Saat sore hari tiba, Bu Zaenab akan mengantarkan pesanan kue itu pada pelanggannya. Sementara Amira sendirian di rumah bersama Gemilang. Pak Abdullah masih ada tambahan jam mengajar, begitupun Yuni dan Yudha yang sama belum pulang."Mir, Ibu mau antar kue ke Bu Haji Saidah dulu ya, sudah ditunggu. Kamu gak papa kan, Ibu tinggal sendiri? kalo nunggu Yuni pulang, kelamaan," pamit Bu Zaenab."Iya Bu. Amira jaga rumah, Ibu hati-hati ya," jawab Amira sembari mencuci peralatan dapur yang telah selesai digunakan.Setelah Bu Zaenab pergi, Amira kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai. Amira pun masuk ke kama
"Kamu bener-bener udah buat Abang kecewa, Mir. Abang kira, kamu hanya berhubungan dengan tiga lelaki yang di foto itu. Ternyata, dengan Yudha juga," sinis Radit. "Abang ngomong apa sih? Amira gak ada hubungan apa-apa dengan Kak Yudha." Amira membela diri. "Abang ke sini mau jemput Amira dan Gemilang, iya kan, Bang?" tanya Amira penuh harap. "Abang ke sini hanya ingin mengantarkan ini," jawab Radit, ia kemudian menyerahkan sebuah amplop pada Amira. "I-ini apa, Bang?" Amira menerima amplop itu, tangannya bergetar saat hendak membukanya. Amira membuka isi amplop itu, ia membaca secarik kertas yang berada di dalam amplop tersebut. Air matanya luruh seketika setelah membacanya. Surat itu berisi panggilan ke pengadilan agama untuk sidang pertama perceraian mereka. Amira sangat tak menyangka secepat ini Radit bertindak, tanpa bertabayun mencari kebenarannya dahulu. "Abang benar-benar akan menceraikanku?" tanya Amira, ia meremas kertas yang dipegangnya. "Kamu sudah baca sendiri isi sur
Bu Zaenab baru saja pulang dari mengantar kue. Saat ia berjalan menuju rumahnya, ia dicegat oleh beberapa tetangganya. "Bu Zaenab ,Bu," panggil seorang wanita paruh baya seusia Bu Zaenab. "Eh, Iya Bu Las. Ada apa, Bu?" Bu Zaenab tersenyum ramah. "Ini lho, Bu. Saya mau tanya, itu wanita yang tinggal di rumah Ibu, beneran saudaranya yang dari Jawa?" tanya wanita bernama Bu Las tersebut. "Iya, Bu," jawab Bu Zaenab tenang. "Bu Zaenab yakin? Gak bohong kan?" Bu Las mencoba menyelidik membuat Bu Zaenab heran. "Jangan bohong Bu Zaenab, kami di sini sudah tahu kalau wanita itu kekasihnya Yudha. Gak sangka ya, Bu, ternyata Yudha jadi selingkuhan wanita bersuami," timpal Bu Yati, salah satu tetangganya yang anaknya pernah dijodohkan dengan Yudha. Namun, Yudha menolak anak perempuan Bu Yati. "Maaf, maksud Ibu-ibu semua, ini apa ya?" tanya Bu Zaenab bingung. "Tadi Yudha sempat berkelahi dengan laki-laki yang bertamu ke rumahnya. Kami diberitahu oleh seorang perempuan muda. Ia mengatakan ji
"Ran, kamu bisa tolongin, Abang?" Radit bertanya pada Rania, saat ia selesai minum."Minta tolong apa?" "Tolong beritahu Amira, Abang ada di rumah sakit," pinta Radit.Seketika wajah Selly dan Rania berubah masam, mereka sangat kesal karena Radit malah menanyakan Amira."Abang ini gimana sih, kenapa masih nanyain Amira? Dia kan udah khianatin Abang," ujar Rania, ia enggan menerima permintaan Radit."Abang ingin dirawat olehnya, Ran. Hanya Amira yang tahu kebutuhan Abang," ucap Radit."Abang apa udah lupa apa yang Amira lakuin?" tanya Rania."Abang ingat, Ran. Tetapi, Abang jadi tidak yakin setelah melihat Amira yang justru kekeh tak mengakui perbuatannya. Abang merasa, Amira tak berbohong," ungkap Radit, hal yang mengganjal di hatinya sudah diucapkannya.Seketika wajah Rania dan Selly sedikit tegang, mereka takut jika Radit akan menyelidiki kebenarannya."Ngomong-ngomong kamu dapat foto-foto itu, dari mana Ran?" selidik Radit."Itu ... itu ... Emm ... Ya, dari Amira, Bang. Aku Nemu f
"Jadi, wanita itu, Amira?" tanya Bu Zaenab terkejut. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya."Wanita yang mana, Bu?" Pak Abdullah terlihat bingung.Yudha merasa menyesal telah mengucapkan itu, sekarang semuanya akan terungkap jika penyebab dirinya enggan menikah adalah karena perasaannya pada Amira. Yudha sempat menceritakan kisahnya dengan Amira dahulu pada kedua orangtuanya. Meskipun saat menceritakan itu, Yudha tak pernah menyebut nama Amira."Wanita yang membuat anak kita enggan menikah, Pak. Wanita yang dicintai Yudha, dulu," jawab Bu Zaenab."Benar itu, Yud?" tanya Pak Abdullah pada Yudha.Yudha sekilas melirik Amira sampai akhirnya ia menjawab, "Iya Pak, benar. Wanita itu, Amira."Amira merasa canggung, karena perkataan Yudha membuat posisinya semakin sulit. Amira semakin merasa tak nyaman berada di posisi seperti ini.Amira menyayangkan perkataan Yudha yang menceritakan masa lalu dengannya. Hal itu akan membuat masalah semakin runyam karena akan menimbulkan salah paham ser
"Mbak Amira, kenapa nangis?" tanya Yuni saat masuk ke dalam kamar Amira.Amira yang sedang mengemas pakaian seketika menoleh, Yuni berdiri dengan menggendong Gemilang yang tengah tertidur. Amira tak menjawab pertanyaan Yuni, ia lalu beranjak dan mengambil alih Gemilang dari gendongan Yuni. "Mbak, pasti karena gosip di luar yang beredar ya? Emm ... di grup warga, sedang ramai bahas Mbak Amira dan Mas Yudha. Tapi, aku tak percaya dengan semua itu Mbak, aku yakin Mbak Amira wanita baik-baik," ujar Yuni, ia memegang lengan Amira."Terima kasih, Yun. Tapi semua rasanya percuma. Aku merasa tak enak dengan keluargamu, Yun," kata Amira, raut wajahnya terlihat memancarkan kesedihan. "Mbak yang sabar, ya. Aku yakin semua akan baik-baik saja," ucap Yuni terjeda, "Mbak mau pergi ke mana?" lanjutnya bertanya saat melihat pakaian Amira sudah dikemas. Amira menggeleng sedih, ia pun tak tahu akan pergi ke mana. Tak punya saudara, teman pun pasti sudah punya kesibukan masing-masing, Amira tak mau m