Sudah seminggu lamanya Amira tinggal di rumah keluarga Yudha. Sehari-hari Amira membantu Bu Zaenab membuat adonan kue untuk dijual sesuai pesanan. Ada beberapa kue yang dijual Bu Zaenab, diantaranya ada bolu, brownies dan beberapa kue basah lainnya. Amira sangat antusias sekali belajar membuat kue pada Bu Zaenab, untung saja Gemilang tak begitu rewel saat Amira membantu Bu Zaenab.
Saat sore hari tiba, Bu Zaenab akan mengantarkan pesanan kue itu pada pelanggannya. Sementara Amira sendirian di rumah bersama Gemilang. Pak Abdullah masih ada tambahan jam mengajar, begitupun Yuni dan Yudha yang sama belum pulang.
"Mir, Ibu mau antar kue ke Bu Haji Saidah dulu ya, sudah ditunggu. Kamu gak papa kan, Ibu tinggal sendiri? kalo nunggu Yuni pulang, kelamaan," pamit Bu Zaenab.
"Iya Bu. Amira jaga rumah, Ibu hati-hati ya," jawab Amira sembari mencuci peralatan dapur yang telah selesai digunakan.
Setelah Bu Zaenab pergi, Amira kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai. Amira pun masuk ke kamar, diliihatnya Gemilang yang masih tertidur. Amira mengelus lembut pucuk kepala Gemilang, rasa sedih kembali menyelusup dalam hatinya.
Amira masih berharap Radit akan menjemputnya, karena bagaimanapun ia masih mencintai Radit dan juga Gemilang sangat membutuhkan sosok ayah. Namun, sudah seminggu ia berada di rumah Yudha, Radit sama sekali tak menjemputnya. Amira sudah pasrah pada hubungannya dengan Radit, ia semakin kecewa dengan sikap suaminya yang seperti sudah tak peduli lagi padanya. Amira masih berharap Radit akan membuka pintu hatinya agar mencari kebenarannya dulu sebelum memutuskan hal yang lebih jauh untuk hubungannya.
Yudha baru saja sampai, ia kemudian langsung masuk ke rumah. Setelah meletakkan tas kerja di kamarnya, Yudha bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat hendak menuju kamar mandi, dilihatnya kamar Amira yang sedikit terbuka.
Yudha berhenti sejenak, ingin rasanya ia mengobrol dengan Amira untuk sebentar saja. Selama seminggu di sini, Amira terkesan menghindarinya. Hal itu membuat Yudha merasa canggung untuk memulai obrolan dengan Amira lagi. Apalagi Yudha sadar, ada rasa yang masih bercokol di hatinya pada Amira.
Dengan ragu, ia akan membuka kamar Amira. Namun, belum sempat Yudha memegang tuas pintu, Amira sudah keluar dari kamarnya. Amira sedikit terkejut dengan keberadaan Yudha yang berdiri tepat di depan pintu kamarnya.
"Kak Yudha?" tanya Amira secara spontan.
"Mir." Yudha terlihat gugup, debaran jantungnya bertalu-talu saat melihat wajah ayu milik Amira.
"Ada apa, Kak?"
"Aku ingin bicara," ucap Yudha.
"Aku, mau beres-beres Kak." Amira mencoba menghindari Yudha, ia hendak ke dapur.
Namun, saat akan berjalan, tangan Amira ditarik oleh Yudha membuat Amira tak sengaja malah jatuh di pelukan Yudha. Yudha tak sengaja menarik dengan kencang tangan Amira, ia melakukan dengan spontan karena merasa Amira terus menghindarinya.
'Maaf Mir," ucap Yudha seketika lalu melepas tangan Amira.
Amira mengusap pergelangan tangannya, ia menatap canggung Yudha.
"Kita bicara di teras saja. Yang lain belum pada pulang," ucap Amira, ia bergegas melangkah menuju teras depan diikuti oleh Yudha.
"Mau bicara apa, Kak?" tanya Amira setelah ia menjatuhkan bobot tubuhnya pada kursi teras. Amira mengajak Yudha ke teras karena takut terjadi fitnah pada keduanya. Amira harus bisa menjaga sikap, karena bagaimanapun ia masih istri Radit dan menumpang di rumah Yudha yang dulu pernah mencintainya.
"Kamu kenapa menghindar terus dari aku, Mir?"
"A-aku tak mengindari Kak Yudha, tetapi aku hanya menjaga sikap sebagaimana mestinya," jawab Amira.
"Kau masih mengharapkan Radit? ia sudah mentalakmu, apa rencanamu selanjutnya?" Yudha terlihat iba dengan nasib Amira.
Amira terdiam, ia juga tak tahu rencana apa yang akan ia lakukan ke depannya. Meskipun dalam hati ia masih mengharapkan Radit, tetapi kenyataannya ia harus punya pilihan lain jika Radit sudah tak mau bersama lagi.
Prok prok prok
Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan yang membuat Amira dan Yudha menoleh seketika. Terlihat Radit yang telah melakukan tepukan itu sembari mendekat pada mereka. Amira dan Yudha sama sekali tak menyangka kedatangan Radit yang tiba-tiba.
"Bang Radit?" wajah Amira berbinar seketika saat melihat suaminya itu.
"Radit?" lirih Yudha.
"Jadi begini, kelakuan kalian di belakangku?" tanya Radit, ia menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menatap Yudha dan Amira bergantian.
"Dit, ini gak seperti yang elo kira." Yudha berusaha menjelaskan, tetapi sepertinya Radit tak menghiraukan Yudha.
"Maksud, Abang?" tanya Amira bingung.
"Kamu bener-bener udah buat Abang kecewa, Mir. Abang kira, kamu hanya berhubungan dengan tiga lelaki yang di foto itu. Ternyata, dengan Yudha juga," sinis Radit.
"Abang ngomong apa sih? Amira gak ada hubungan apa-apa dengan Kak Yudha." Amira membela diri.
"Abang ke sini mau jemput Amira dan Gemilang, iya kan, Bang?" tanya Amira penuh harap.
"Abang ke sini hanya ingin mengantarkan ini," jawab Radit, ia kemudian menyerahkan sebuah amplop pada Amira.
"I-ini apa, Bang?" Amira menerima amplop itu, tangannya bergetar saat hendak membukanya.
Bersambung....
"Kamu bener-bener udah buat Abang kecewa, Mir. Abang kira, kamu hanya berhubungan dengan tiga lelaki yang di foto itu. Ternyata, dengan Yudha juga," sinis Radit. "Abang ngomong apa sih? Amira gak ada hubungan apa-apa dengan Kak Yudha." Amira membela diri. "Abang ke sini mau jemput Amira dan Gemilang, iya kan, Bang?" tanya Amira penuh harap. "Abang ke sini hanya ingin mengantarkan ini," jawab Radit, ia kemudian menyerahkan sebuah amplop pada Amira. "I-ini apa, Bang?" Amira menerima amplop itu, tangannya bergetar saat hendak membukanya. Amira membuka isi amplop itu, ia membaca secarik kertas yang berada di dalam amplop tersebut. Air matanya luruh seketika setelah membacanya. Surat itu berisi panggilan ke pengadilan agama untuk sidang pertama perceraian mereka. Amira sangat tak menyangka secepat ini Radit bertindak, tanpa bertabayun mencari kebenarannya dahulu. "Abang benar-benar akan menceraikanku?" tanya Amira, ia meremas kertas yang dipegangnya. "Kamu sudah baca sendiri isi sur
Bu Zaenab baru saja pulang dari mengantar kue. Saat ia berjalan menuju rumahnya, ia dicegat oleh beberapa tetangganya. "Bu Zaenab ,Bu," panggil seorang wanita paruh baya seusia Bu Zaenab. "Eh, Iya Bu Las. Ada apa, Bu?" Bu Zaenab tersenyum ramah. "Ini lho, Bu. Saya mau tanya, itu wanita yang tinggal di rumah Ibu, beneran saudaranya yang dari Jawa?" tanya wanita bernama Bu Las tersebut. "Iya, Bu," jawab Bu Zaenab tenang. "Bu Zaenab yakin? Gak bohong kan?" Bu Las mencoba menyelidik membuat Bu Zaenab heran. "Jangan bohong Bu Zaenab, kami di sini sudah tahu kalau wanita itu kekasihnya Yudha. Gak sangka ya, Bu, ternyata Yudha jadi selingkuhan wanita bersuami," timpal Bu Yati, salah satu tetangganya yang anaknya pernah dijodohkan dengan Yudha. Namun, Yudha menolak anak perempuan Bu Yati. "Maaf, maksud Ibu-ibu semua, ini apa ya?" tanya Bu Zaenab bingung. "Tadi Yudha sempat berkelahi dengan laki-laki yang bertamu ke rumahnya. Kami diberitahu oleh seorang perempuan muda. Ia mengatakan ji
"Ran, kamu bisa tolongin, Abang?" Radit bertanya pada Rania, saat ia selesai minum."Minta tolong apa?" "Tolong beritahu Amira, Abang ada di rumah sakit," pinta Radit.Seketika wajah Selly dan Rania berubah masam, mereka sangat kesal karena Radit malah menanyakan Amira."Abang ini gimana sih, kenapa masih nanyain Amira? Dia kan udah khianatin Abang," ujar Rania, ia enggan menerima permintaan Radit."Abang ingin dirawat olehnya, Ran. Hanya Amira yang tahu kebutuhan Abang," ucap Radit."Abang apa udah lupa apa yang Amira lakuin?" tanya Rania."Abang ingat, Ran. Tetapi, Abang jadi tidak yakin setelah melihat Amira yang justru kekeh tak mengakui perbuatannya. Abang merasa, Amira tak berbohong," ungkap Radit, hal yang mengganjal di hatinya sudah diucapkannya.Seketika wajah Rania dan Selly sedikit tegang, mereka takut jika Radit akan menyelidiki kebenarannya."Ngomong-ngomong kamu dapat foto-foto itu, dari mana Ran?" selidik Radit."Itu ... itu ... Emm ... Ya, dari Amira, Bang. Aku Nemu f
"Jadi, wanita itu, Amira?" tanya Bu Zaenab terkejut. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya."Wanita yang mana, Bu?" Pak Abdullah terlihat bingung.Yudha merasa menyesal telah mengucapkan itu, sekarang semuanya akan terungkap jika penyebab dirinya enggan menikah adalah karena perasaannya pada Amira. Yudha sempat menceritakan kisahnya dengan Amira dahulu pada kedua orangtuanya. Meskipun saat menceritakan itu, Yudha tak pernah menyebut nama Amira."Wanita yang membuat anak kita enggan menikah, Pak. Wanita yang dicintai Yudha, dulu," jawab Bu Zaenab."Benar itu, Yud?" tanya Pak Abdullah pada Yudha.Yudha sekilas melirik Amira sampai akhirnya ia menjawab, "Iya Pak, benar. Wanita itu, Amira."Amira merasa canggung, karena perkataan Yudha membuat posisinya semakin sulit. Amira semakin merasa tak nyaman berada di posisi seperti ini.Amira menyayangkan perkataan Yudha yang menceritakan masa lalu dengannya. Hal itu akan membuat masalah semakin runyam karena akan menimbulkan salah paham ser
"Mbak Amira, kenapa nangis?" tanya Yuni saat masuk ke dalam kamar Amira.Amira yang sedang mengemas pakaian seketika menoleh, Yuni berdiri dengan menggendong Gemilang yang tengah tertidur. Amira tak menjawab pertanyaan Yuni, ia lalu beranjak dan mengambil alih Gemilang dari gendongan Yuni. "Mbak, pasti karena gosip di luar yang beredar ya? Emm ... di grup warga, sedang ramai bahas Mbak Amira dan Mas Yudha. Tapi, aku tak percaya dengan semua itu Mbak, aku yakin Mbak Amira wanita baik-baik," ujar Yuni, ia memegang lengan Amira."Terima kasih, Yun. Tapi semua rasanya percuma. Aku merasa tak enak dengan keluargamu, Yun," kata Amira, raut wajahnya terlihat memancarkan kesedihan. "Mbak yang sabar, ya. Aku yakin semua akan baik-baik saja," ucap Yuni terjeda, "Mbak mau pergi ke mana?" lanjutnya bertanya saat melihat pakaian Amira sudah dikemas. Amira menggeleng sedih, ia pun tak tahu akan pergi ke mana. Tak punya saudara, teman pun pasti sudah punya kesibukan masing-masing, Amira tak mau m
Delia menyuguhkan segela air putih untuk Amira, ia kemudian gegas membereskan botol minuman dan sampah kacang yang berserakan di lantai kontrakannya.Selesai melakukan itu semua, ia lalu duduk di depan Amira. Diperhatikannya Amira yang tengah menyusui Gemilang."Lo ada masalah apa sih, Mir?" tanya Delia, ketika dilihatnya Amira yang telah selesai menyusui Gemilang. Didudukkannya Gemilang dalam pangkuannya Amira.Amira diam sejenak sebelum ia menjawab pertanyaan Delia. Ingin meminta tolong Delia, tetapi ia ragu karena melihat penampilan dan pola hidup Delia yang mulai berubah. Namun, Amira pun tak punya pilih"Del, kamu kenapa sekarang berubah?" Amira malah balik tan"Maksud, Lo?""Ya, kenapa kamu kayak gini. Gue-elo gue-elo, Aku gak biasa, Del. Penampilan kamu juga, berubah," ujar Amira jujur."Yaelah Mir. Tenang aja, gue masih Delia sahabat lo yang dulu. Penampilan dan gaya hidup gue sekarang, gak akan ngaruh sama persahabatan kita." Delia tersenyum menatap Amira. Namun, Amira terlih
"Bu, Kenapa gak jawab?" Radit kembali bertanya.Retno berpikir sejenak, ia mencari alasan yang tepat untuk Radit agar tak curiga padanya. Bertepatan dengan itu, seorang perawat dan dokter masuk ke ruang rawat Radit. Mereka hendak memeriksa kondisi Radit."Maaf Pak, saya periksa dulu," ujar Dokter tersebut, kemudian mulai memeriksa Radit.Retno merasa lega, untuk sementara ia bisa menghindar dari pertanyaan Radit. Ia punya waktu banyak untuk berpikir tentang alasan apa yang tepat agar Radit tak curiga lagi."Kondisi Pak Radit sudah membaik, tak ada luka serius di bagian tubuhnya. Hanya luka di kepalanya yang masih belum benar-benar sembuh," jelas Dokter itu."Kira-kira, kapan saya boleh pulang, Dok?" tanya Radit."Sebenarnya kalau Pak Radit merasa sudah baikan, sore ini bisa pulang. Tinggal ganti perban di kepala yang luka saja, nanti Pak Radit bisa rawat sendiri di rumah," ucap sang Dokter. Hal itu membuat Radit merasa lega, ia sudah merasa tak nyaman berada di rumah sakit.Selesai m
"Maaf, cari siapa?" tanya Amira."Apakah Anda yang bernama, Amira Lestari?" Lelaki yang memegang foto itu, malah balik bertanya."Ya, benar. Itu saya, ada apa ya?" Amira penasaran.Kedua lelaki itu menoleh, menatap satu sama lain lalu mengangguk."Mbak Amira, dulu berasal dari panti asuhan kasih bunda, di Surabaya kan?" Lelaki pemegang foto menanyakan asal usul Amira. Amira lalu mengangguk, mengiyakan jika dirinya berasal dari panti asuhan tersebut."Mbak Amira, pasti kenal dengan Bu Salma. Pengurus panti asuhan tersebut?" Lelaki pemegang foto bertanya lagi. Ia lalu menyerahkan sebuah amplop coklat besar pada Amira. "Iya, saya sangat mengenalnya. Beliau Ibu saya, sebenarnya ini ada apa?" Amira sangat penasaran, ia lalu membuka amplop coklat besar yang diberikan lelaki asing tersebut.Amira terkejut, saat membuka amplop itu. Amplop itu berisi tentang data-data dirinya dan foto-foto dirinya saat masih kecil di panti. Amira semakin penasaran, siapa dua lelaki asing tersebut. Ia sedikit