Share

Falling for you
Falling for you
Penulis: Racie4s

Episode 1

Dear diary,

Akhirnya saat yang kutunggu datang juga. Hari ini hasil audisi The Winter Snow akan diumumkan. Semoga saja aku mendapatkan perannya.

Aku mulai tertarik pada drama musikal sejak menonton pertunjukan teater Broadway pertamaku tahun lalu. Ibuku tahu aku suka semua hal yang berbau musik, jadi untuk merayakan aku diterima di universitas Columbia dia membeli tiket Phantom of the Opera. Kami menonton pertunjukannya di hari yang kedua. Sulit dijelaskan tapi kesanku untuk acara itu cukup mendalam.

Sejak itu aku jadi ketagihan melihat pertunjukannya. Tiketnya sendiri tidak murah, karena itu aku kerja paruh waktu di Red Roaster, sebuah restoran keluarga di daerah Lenox Ave, supaya aku tak perlu sampai meminta uang saku pada ibu bila ingin membeli tiketnya. Hingga datanglah kesempatan emas itu.

Bulan lalu saat sedang mengerjakan tugas kuliah, aku tak sengaja melihat iklan sebuah teater bernama Hemingway’s pada sebuah situs, mereka tengah mencari pemeran wanita untuk pertunjukan musim panas mereka, lalu kupikir “kenapa tidak?

Jadi aku pergi ke kantor Hemingway’s keesokan harinya dan mendaftarkan diri. Aku bertindak spontan, sebelum nyaliku hilang lalu berubah pikiran. 

Pandanganku tertumbuk pada bingkai foto keluarga di sudut meja belajar. Dalam foto berlatar belakang danau itu, ayah dan adik laki-lakiku, Joe, mengenakan atribut memancing, aku dan ibu kompak dengan jaket jumper. Ayah merangkul kami bertiga sambil tersenyum lebar ke arah kamera. Foto itu diambil ketika kami berlibur ke perkemahan di Yellowstone, setahun sebelum ayahku meninggal karena kecelakaan. Aku menyusurkan ujung jari ke wajah tersenyumnya.

 “Go for it, Mia!” aku yakin ayahku pasti akan bilang begitu bila dia ada di sini sekarang. Dia sahabat terbaik sekaligus suporter nomor satuku. Kadang saat aku benar-benar merindukannya aku akan memutar rekaman lama, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh ayah bersama band-nya semasa kuliah dulu—ayahku tergila-gila pada musik dan juga seorang vokalis sama sepertiku—hanya untuk mendengar suaranya.

Ibuku sedikit berbeda. Ia tipikal yang lebih konvensional. Menurutnya bermain musik atau sejenisnya selain buang-buang waktu juga tidak menjamin masa depan. Mengapa melakukan hal yang sia-sia? Ia pernah mengatakannya ketika aku iseng menyinggung soal ikut audisi Hemingway’s. Ibu lantas menyuruhku fokus pada kuliah sebab bukan perkara mudah mendapat beasiswa penuh di Columbia, jadi seharusnya aku lebih menghargainya.

Jadi ya, aku tak mungkin bilang padanya kalau aku ternyata sudah mengikuti audisi itu. Aku tak mau membayangkan reaksinya nanti. Kukemasi buku kuliah lalu menyambar tas yang tergantung di ujung kursi sebelum berjalan ke luar kamar.

"Mom," sapaku saat berjalan memasuki dapur. Ibuku sedang menuangkan sirup ke atas kue dadar di piring Joe, ia melihatku sekilas. Aku mengacak rambut Joe saat melewatinya dan tampangnya langsung memberengut kesal. Aku tertawa padanya.

Joe mirip seperti ibuku, rambutnya ikal berwarna pirang keperakkan dengan bola mata berwarna biru. Sedangkan aku sendiri lebih mirip ayah, rambutku berwarna cokelat begitu juga warna mata kami. Kadang aku selalu bertanya-tanya saat ibu menatapku, apa itu membuatnya teringat pada ayah. Sebab aku pernah memergokinya diam-diam menatapku dengan sendu. Jadi kupikir aku memang mengingatkan dia padanya.

"Kau mau kue dadar?" ibuku bertanya sambil meletakkan sebuah piring kosong lain di depannya. Aku menggeleng kemudian meraih sepotong roti dari keranjang anyaman. "Aku makan sambil jalan saja. Ada kuliah pagi," ujarku sambil mulai menggigiti rotiku sembari berbalik mengitari meja makan.

Cuaca musim semi yang cerah dan hangat langsung menyambut saat aku menginjakkan kaki ke luar rumah. Cahaya matahari pagi ini tampak lebih terang dari biasanya. Sepertinya ini pertanda baik. Aku pernah dengar ada pepatah yang berkata, “Kalau ada hal baik yang akan terjadi padamu, alam biasanya memberikan pertanda.” Sesuatu yang bagus seperti itu jelas layak dipercaya.

Aku sampai di kampus sepuluh menit sebelum kuliah dimulai, dengan setengah berlari langsung bergegas menuju ke fakultasku. Hampir bertabrakan dengan beberapa orang yang sedang berdiri bergerombol di dekat ambang pintu kelas.

Aku mengedarkan pandangan dan melihat teman baikku, Lauren Brown, melambaikan tangan dari deretan kursi nomor tiga dari depan, tempat favorit kami. Aku tersenyum senang sambil berjalan ke arahnya.

"Kukira kau bakal terlambat, karena kau bilang pulang agak malam dari Red Roaster kemarin." Lauren berkata ketika aku telah duduk di sebelahnya lalu mulai menata buku-buku di atas meja. Aku mendengus, "Kau tahu aku tak mungkin membiarkan itu terjadi."

"Benar juga, kau kan seperti jurnal berjalan, kadang aku heran bagaimana kau bisa melakukan begitu banyak hal sekaligus." Aku tertawa mendengarnya. Lauren dan aku berteman sejak kami baru masuk kuliah, berbeda dariku dia gadis yang lebih ekspresif, terkadang agak terlalu dramatis, tapi kurasa karena itulah kami cocok satu sama lain.

"Hei, omong-omong semua orang membicarakan tentang mahasiswa baru yang akan masuk mulai hari ini," ujar Lauren setengah berbisik. "Kabarnya dia selebriti, seorang aktor. Apa kau sudah dengar?" Aku menggeleng tak acuh.

"Untuk apa seorang selebriti pergi kemari?" gumamku sambil membuat coretan angka-angka di salah satu halaman kosong buku tulisku. "Entahlah, ada yang bilang itu untuk pencitraan dan sebagainya, tapi kurasa itu agak menghakimi, aku mencium bau-bau haters di sini." Lauren berbicara sambil terkikik geli. Aku menoleh dan menatapnya dengan heran. Tidak yakin bagian mana yang menurutnya lucu.

Suara langkah yang berderap memasuki ruang kelas mengalihkan perhatianku. Dosen kami Mr.Collins berjalan dengan cepat menghampiri mejanya yang ada di ujung ruangan.

Seorang cowok mengikuti di belakangnya.

Cowok itu jangkung dan berbadan tegap, rambutnya berwarna pirang keemasan dan ditata stylish. Kulit wajahnya seperti orang yang baru saja berjemur di pantai. Aku hanya bisa melihat sekilas dari samping saat dia lewat di depanku. Tapi entah mengapa aku merasa wajahnya tidak asing.

Cowok itu mengenakan jeans biru gelap di atas kaus henley yang membalut sempurna tubuh atletis-nya yang tampak dari balik jaket kulit yang dibiarkan terbuka. Aku memang bukan penggila fashion, tapi aku tahu busana buatan seorang desainer saat aku melihatnya.

Dan aku yakin setelan kasual yang dikenakan oleh cowok itu harganya pasti cukup fantastis. Apakah dia aktor yang dimaksud oleh Lauren tadi?

Aku melirik Lauren dan mendapatinya tersenyum, seolah ia mengenalnya. Aku kembali memandang cowok itu. Kini dia berdiri membelakangi kami sambil mengatakan sesuatu kepada Mr.Collins yang mendengarkannya dengan serius.

Sesaat kemudian Mr.Collins maju ke tengah kelas sembari memberikan isyarat pada cowok itu untuk berdiri di sampingnya. Cowok itu tersenyum sambil mengangguk pada Mr. Collins, kemudian ia mulai mengedarkan pandangan ke seisi ruangan.

Saat itulah aku baru mengenalinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status