Share

Bab 4: Jung Won Fans Club

Cha Jung Won POV

Waktu bergulir tanpa henti. Waktu cepat sekali membawaku sampai di muka kelas. Ruang kelas yang terlihat lebih rapi dibandingkan ruang kelas sekolahku dulu. Jika dulu aku selalu jadi kaum minoritas dengan mata sipit, di sini wajah kami terasa sama. Untung saja wajahku cukup memikat sehingga teman-temanku di London tidak pernah membuatku merasa menjadi minoritas. Mereka baik padaku, pun sebaliknya. Ah, jadi teringat masa lalu. 

"Neo nugu ni[1]?" Tiba-tiba suara Seonsaengnim perempuan yang terdengar cempreng membingungkanku.

"Siapa? Siapa yang siapa?" Aku menoleh ke arah belakangku. Melarak-lirik sekeliling, barang kali ada si siapa yang di maksud Seonsaengnim itu.

"Kau!" Aku diam sejenak mengartikan tiap huruf yang keluar dari mulut guru itu. Kenapa aku tiba-tiba bodoh begini? Apa semua karena Kim Na Ra, gadis sombong itu? Ah, sudahlah Mike fokus pada sekolahmu saja.

“Oh, saya? Joneun[2] Cha Jung Won, Seonsaengnim." Terdengar beberapa keributan kecil di bagian tempat duduk siswa perempuan.

Wau, jeongmal jal saeng-gyeoss-eo![3]

Wau, anak baru nih!

Keren! cool!

Oh my God! He’s handsome boy!

Ya, Tuhan malaikat di depanku sungguh sangat memesona!

Ayo, duduk di sebelahku! Please!

&%@#%^&*( rrrgg tppyt yyhht #@%*^%$

"Ssstt, sudah tidak perlu berbisik-bisik seperti itu! Jung Won, kau baru pertama kali masuk sekolah, kenapa sudah terlambat?" Guru bersuara cempreng itu menghentikan bisikan-bisikan di bangku perempuan dan langsung memberondongku dengan berbagai pertanyaan seputar keterlambatanku.

Desas-desus itu semakin meyakinkanku bahwa tidak lama lagi akan ada Fans Club season dua.

Perkenalan telah selesai. Waktu interogasi bagai narapidana pun telah terlewati. Karena terlambat masuk kelas aku harus menerima ceramah panjang dari guru itu. Baiklah, waktunya duduk! Kursi keempat dekat jendela barisan pertama dari meja guru adalah tempat yang strategis. Setidaknya aku bisa leluasa bersembunyi dari pandangan Seonsaengnim, kalau aku bosan belajar dan pastinya aku juga bisa memainkan kamera-ku sambil memotret ke arah luar jendela.

"Baik, buka buku halaman 129!" perintah Seonsaengnim itu. 

Aku tidak terlalu memperhatikan pembelajaran karena guru itu sedang menjelaskan mata pelajaran Bahasa Inggris. Bahasa yang sering kugunakan sehari-hari selama lebih dari 8 tahun. Tentu saja aku sudah lebih paham apa yang diajarkan. Bahkan, materi yang dijelaskan itu adalah materi dasar yang sudah kupelajari ketika duduk di Junior High School.

Aku lebih sibuk mengamati suasana di kelas baruku ini. Kelasku cukup luas dengan ukuran bangunan sekitar 15 x 20 meter persegi. Di sebelah kanan terdapat delapan buah jendela yang menghadap ke koridor sekolah dan di masing-masing sisinya terdapat pintu. Pintu bagian depan biasanya digunakan oleh guru, sedangkan pintu belakang biasanya dipakai oleh siswa. Di sebelah kiri juga terdapat sepuluh jendela yang menghadap ke arah luar langsung menuju taman belakang sekolah dan lapangan.

Di tembok belakang kelasku terdapat loker siswa bercat abu-abu. Di pojok belakang dekat pintu kelas terdapat alat-alat kebersihan seperti sapu, pengki, kemoceng, dan alat pel. Di dinding belakang juga terpasang jam dinding bulat berwarna putih. 

Kuperhatikan bagian depan kelasku. Di sana terdapat sebuah papan tulis berukuran sekitar 2 x 4 meter. Di atas papan tulis terdapat layar yang bisa dinaikturunkan saat menggunakan proyektor. Ada juga lemari kelas di sebelah kiri papan tulis. Meja guru sendiri ada di depan papan tulis dan uniknya tidak ada kursi di belakang meja guru. 

Kupindai wajah dan penampilan teman-teman sekelasku, hampir semua siswa menggunakan produk-produk ternama dengan harga yang cukup fantastis. Tak heran sekolah ini dianggap sebagai sekolah kalangan chaebol di negeri ginseng ini. Sayang, gadis-gadis di kelasku tak ada yang semenarik Kim Na Ra. Gadis itu memiliki aura bintang yang entahlah aku juga bingung bagaimana menjelaskannya.

"Sst, ya~ kau benar-benar pernah tinggal di London?" bisik seorang siswa laki-laki berambut ikal dengan potongan rambut berponi. 

"Ya, aku tinggal di sana selama 8 tahun." Aku sedikit tak mengacuhkan anak lelaki berlesung pipi di sebelahku ini. 

"Perkenalkan namaku Heo Joon Jae. Apa rumahmu berada di dekat kampus The Royal College of Music?" Joon Jae mengulurkan tangannya padaku. 

Aku membalas uluran tangannya seraya mengangguk. "Hyung-ku kuliah di sana. Kenapa kau tertarik masuk ke sana?" 

"Tentu saja! Setelah lulus dari sini aku akan mendaftarkan diri ke sana!" sahutnya antusias. Joon Jae tak sadar suaranya cukup kencang sehingga terdengar oleh seonsaengnim yang sedang menjelaskan pelajaran di depan.

"Heo Joon Jae, perhatikan!" teriakan cempreng dari Seonsaengnim menghentikan pembicaraan kami. Akhirnya dengan terpaksa aku pun memperhatikan pembelajaran yang sedang berlangsung.

Suara bel istirahat berbunyi. Baguslah, perutku juga mulai tidak bersahabat mau diisi. Aku langsung menuju kantin. Meski aku belum tahu tepatnya kantin terletak di sebelah mana. Kuikuti saja arah panah berwarna hijau yang menunjukkan arah KANTIN.

Kantin sekolah ini ramai sekali. Aku sampai ternganga melihatnya. Mungkin karena kantin ini adalah kantin bersama antara sekolahku dan SNHS. Aku memakluminya, walau agak risih melihatnya. Kalau tidak karena kelaparan, malas sekali ke kantin.

"Ahjumma[4]! Pesan tteokbokk-i[5] satu." Suaraku memantul? Aku menoleh ke sumber pantulan suaraku.

"Kau?" Aku terkejut ketika sadar bahwa pantulan suaraku itu adalah suara Kim Na Ra.

"Kau?" Ya ampun! Ekspresi terkejutnya dibuat-buat sekali! Aku tahu, pasti dia sengaja mengikutiku. Pakai pura-pura terkejut segala!

"Ahjumma, layani saya dulu. Dia belakangan saja." Aku buru-buru menyerebot agar lebih dulu dilayani.

"Ahjumma aniyo, saya dulu. Dia yang belakangan saja." Gadis ini, jeongmal jjajeungnaneun[6]! Pakai dorong-dorong segala. Bicara saja kalau mau pegang-pegang.

"Ini sudah dibuatkan dua-duanya." Untung Ahjumma penjual tteokbokk-i ini gesit.

"Ahjumma gomawo[7]. " Si cewe amuse itu mengambil tteokbokk-i yang telah terhidang.

"Minggir!" Lagi-lagi dia mendorongku.

"Kau tidak bisa bersabar sedikit saja huh?" Aku benar-benar kesal dengan gadis ini.

"Tidak bisa kalau denganmu!" E-eh, dia pergi begitu saja tanpa permisi. Cegiral[8]!

Kenyang! Aku mengusap perutku yang terasa kenyang oleh semangkuk tteokbokk-i pesananku tadi. Sambil menunggu waktu istirahat selesai, aku mengisi waktu dengan memainkan kameraku. Sepertinya suasana kantin di sini, jarang sekali aku temui. Boleh juga jadi objek perdana di sekolah ini.

#ckk

#ckk #ckk.

Satu dua aku memotret.

#ckk

#ckk

Great! Aku menangkap satu objek terbaik. MUSE!

Aku terpaku dan menarik napas dalam. Aku harus melihat lensa kameraku untuk meyakinkan benar atau tidak di sana terdapat objek terbaik.

"Muse?" Ya, aku sudah menebaknya, tetapi kenapa harus DIA?

***

[1] Siapa kamu

[2] Aku

[3] Wah ganteng banget

[4] Panggilan kepada orang yang lebih tua (perempuan yang sudah menikah)

[5] Makanan khas Korea yang terbuat dari tepung beras

[6] Sangat menyebalkan

[7] Terima kasih

[8] Umpatan kasar bahasa Korea kurang lebih artinya ‘sialan’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status