Share

Bab 7: Dasar Lelaki Gila

Kim Na Ra POV

Sepulang sekolah aku langsung mandi dan ganti baju. Aku bersiap untuk kerja paruh waktu di sebuah coffeshop terkenal di daerah Namdaemun-ro, Myeong-dong. Untuk sampai ke sana, hanya perlu waktu sekita 15-20 menit saja mengingat lokasi runah atapku yang berada di Insadong.

Aku mengenakan seragam kerja dan memoles wajah dengan make up. Kucepol rambut panjangku dengan jepit hitam. Kuambil tas kecil dan berjalan menuju gang depan rumah atapku. Aku berjalan beberapa meter ke halte bus. Tak berapa lama bus tujuanku tiba dan aku langsung menaikinya.

Sesampainya di tempat kerja, aku langsung membereskan cangkir-cangkir kopi yang sudah tidak dipakai oleh pelanggan, mengambilkan pesanan, dan melayani tamu. Badanku terasa pegal. Jam di lenganku menunjukkan pukul sembilan malam. Aku beristirahat sejenak di tempat kasir menggantikan temanku yang ingin ke toilet.

Seorang pelanggan mengantre di depan meja kasir memesan tiga gelas sexagintuple vanilla bean mocha frappuccino. Daebak! Pelanggan di depanku ini pasti orang kaya. Jarang-jarang ada pelanggan yang memesan menu ini karena harganya yang super fantastis. Harga satu gelas kopi ini setara dengan seperenam gajiku dalam sebulan. Amazing-kan?

“Ada pesanan lainnya, Tuan?” tanyaku. Pelanggan itu menggeleng. “Saya ulang kembali pesanan Anda, tiga gelas large sexagintuple vanilla bean mocha frappuccino, satu rustica chiken cranberry sandwich, dan dua smoked chicken croissant sandwich. Total 1.710.139 won.”

“Saya bayar dengan kartu debit ya?” ucap pelanggan itu. Aku mengangguk.

“Silakan, Tuan,” ucapku. “Terima kasih, silakan duduk nanti saya antarkan pesanannya.”

Aku langsung meminta barista membuatkan pesanan yang diminta pelanggan tadi. Setelah pesanan selesai aku langsung berjalan ke arah pengunjung yang akan menerima makanan dan minuman ini. Entah aku yang kurang fokus atau memang laki-laki di depanku yang tidak hati-hati karena ia sukses menabrakku dan membuat minuman yang kubawa tumpah ruah di kemejanya.

“Maaf, Tuan saya tidak sengaja,” ucapku seraya berlari mengambil tissue di meja kasir. Aku langsung membersihkan baju pelanggan itu.

“Minggir! Pakaianku bisa kotor karenamu!” ucapnya. “Kau?” ucapnya penuh penekanan.

Aku yang awalnya tertunduk sontak menatap laki-laki di depanku. Oh God! Kalian tahu siapa laki-laki itu? Dia adalah si laki-laki aneh yang beberapa kali kutemui di sekolah.

“KAU?” Aku pun memelotot ke arah si cowok aneh. “Kenapa aku harus bertemu denganmu lagi? Bisa tidak sehari saja kau menghilang dari hadapanku?” bentakku.

“Ya~~! Kau yang bersalah, kau yang memarahiku? Ada yang salah dengan kinerja otakmu ya? Lihat seberapa salahnya kau padaku?” bentaknya sarkastik. Demi Tuhan laki-laki ini sangat menyebalkan! Kenapa dia harus menjadi pelangganku hari ini? Ergh!

“Baiklah Tuan, saya mohon maaf.” Kuhentakkan kaki pertanda emosi. Lalu pergi menghampiri meja pelanggan yang sudah menunggu pesanan yang tumpah ini.

Sial! Hari ini benar-benar hari tersial sepanjang hidupku. Kenapa di mana-mana pasti bertemu dengan iblis itu? Semenjak bertemu dengannya hidupku selalu sial! Hari ini dia membuat setengah gajiku hilang. Hilang hanya karena minuman sialan bernama sexagintuple vanilla bean mocha frappuccino! Hiks! bagaimana nasibku sebulan ke depan? Sewa rumah atap belum dibayar, biaya makan, biaya sekolah, Aargh sialan!

“Permisi Tuan, Nyonya, mohon maaf saya tidak sengaja menumpahkan minumannya. Sebentar akan saya ganti. Sekali lagi mohon maaf,” ucapku pada pelanggan yang memesan minuman itu. Aku mendelik tajam ke arah laki-laki itu. Rasanya aku ingin menangis saja! Dasar iblis!

Aku segera masuk pantry dan menjelaskan semua kejadian pada manajerku. Dia sempat marah dan aku berjanji akan membayarnya dengan gajiku. Setelah perdebatan selama lima belas menit, aku kembali keluar dengan tiga minuman baru berlabel sama. Rasanya masih tidak rela harus mengganti minuman yang tumpah itu meskipun aku juga salah. Andai saja dia tidak muncul tiba-tiba seperti tadi pasti aku tidak akan kehilangan gajiku sekarang. Aku menghampiri meja pelanggan tadi dan ternyata laki-laki tadi duduk di sana. Apa mungkin ini pesanan dia?

“Ini pesanannya Tuan, Nyonya, mohon maaf telah menunggu lama,” ucapku berusaha ramah. Meski sebenarnya, aku ingin sekali memaki laki-laki itu. Dia sama sekali tidak memiliki rasa tanggungjawab! Semua ini juga salahnya!

“Terima kasih,” ucap pelanggan itu. Bisa kutebak sepertinya Tuan dan Nyonya ini adalah orang tua dari laki-laki berengsek ini.

“Kau tidak berniat untuk meminta maaf padaku?” tanya si laki-laki seraya menaikan satu alisnya.

“Untuk?”

“Kau sudah menumpahkan minuman itu di pakaianku. Untung saja aku selalu membawa pakaian cadangan di mobilku. Kalau tidak aku pasti sudah dikerubuti semut karena ulahmu!”

“Baiklah saya minta maaf Tuan, mohon maaf atas ketidaknyamanannya.” Demi Tuhan dia sangat-sangat menyebalkan! Dasar siluman! Andai saja tidak ada Ayah dan Ibunya sudah kucakar wajahnya yang arogan!

“Mike, kau tidak boleh bersikap seperti itu! Gadis ini tidak sengaja melakukannya padamu,” ucap Nyonya pelanggan pada laki-laki itu. Sekarang aku tahu namanya Mike.

“Tidak apa-apa Nyonya, saya yang salah. Permisi.”

…,

Jam di lenganku menunjukkan pukul sebelas malam. Aku segera membersihkan sisa make up di wajahku dan membuka cepolan rambutku. Kuganti pakaian kerjaku menjadi kaos, memakai celana jeans, dan menenteng tas slempang kecil. Kukenakan jaket hitamku dengan sepatu boots coklatku. Aku keluar dari Coffe Shop menuju jalan raya. Kusentuh layar ponselku dan menelpon Ji Hyun.

“Ji Hyun ah~~!” rengekku.

“Wae? Neon gwaenchanh-a[1]?” terdengar suara Ji Hyun di ponselku.

“Ji Hyun ah~~ aku benar-benar sangat kesal! Kenapa di tempat kerja aku harus bertemu dengan iblis itu lagi!” rengekku.

“Iblis? Siapa maksudmu? Apa iblis itu laki-laki yang kau anggap aneh?” tanya Ji Hyun.

“Iya! Karena dia aku jadi kehilangan setengah gajiku bulan ini.” Aku kembali merengek. Kali ini aku menangis. Aku tidak peduli jika orang-orang di sekitarku menganggap aku gila karena menangis sambil berjalan. Mereka pun akan seperti ini jika berada di posisiku saat ini. Aku benar-benar bingung membayangkan hidupku sebulan ke depan tanpa uang? Oh GOD! Please help me!

“Jinjja? Kenapa bisa begitu?” Terdengar nada khawatir dari ucapan Ji Hyun.

Aku menceritakan kejadian tadi pada Ji Hyun. Ji Hyun justru menawarkan pinjaman untukku dan memintaku berhenti bekerja. Dia mengatakan lebih baik aku terima tawaran Ayah dan Ibunya untuk tinggal di rumahnya supaya aku tidak perlu bekerja lagi. Kutolak tawaran Ji Hyun, karena keluarga Ji Hyun sudah terlalu banyak menolongku sejak Eomma meninggal. 

Rasanya aku tidak tahu diri kalau terus menerus berpangkutangan pada Ji Hyun dan keluarganya. Aku tidak mau terus menyusahkan Ji Hyun.  Aku tahu kalian pasti berpikir aku bodoh dan tolol karena menolak pertolongan Ji Hyun yang mungkin adalah utusan Tuhan yang mendengar doaku tadi. Namun sayangnya, aku terlalu malu pada Ji Hyun. 

Ji Hyun dan keluarganya terlalu baik, mulai dari membiayai rumah sakit Eomma, membiayai sekolahku ketika aku di junior high school, membayar uang sewa rumah atap. Ah, pokoknya mereka terlalu banyak menolongku. Sekarang aku tidak mau terus menerus menjadi benalu untuk Ji Hyun. Aku yakin aku mampu bertahan dengan caraku sendiri. Aku bertekad setelah lulus sekolah aku harus mendapatkan beasiswa kuliah dan setelah lulus aku tidak perlu lagi khawatir tentang masalah keuanganku. Bahkan mungkin aku bisa membantu Imo mengurus Halmeoni.

Ji Hyun adalah sahabat paling baik. Dia selalu ada untukku. Aku sangat bersyukur bisa mengenal Ji Hyun. Ji Hyun termasuk perempuan popular di sekolah dulu, mungkin juga sekarang. Aku tidak tahu karena kami tidak satu sekolah. Ji Hyun cantik. Wajahnya putih, tinggi, bermata sipit, hidung mancung, tubuhnya jenjang dan mulus, SEMPURNA! Itulah deskripsi yang tepat dalam menggambarkan fisik Ji Hyun.

Aku masih berjalan di sepanjang trotoar. Aku tersentak karena tiba-tiba ada seseorang yang memegang lenganku.

“K A U?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status