Share

Kemarahan Arvy

Arvy tampak terdiam dan Izzy menggenggam tangannya dengan erat sembari terus menguatkannya.

“Jangan khawatir. Kau masih akan bisa melihat, Arvy. Percayalah pada Mommy.” Izzy menenangkan suasana hati Arvy yang begitu buruk saat ini.

Arvy tak menjawab apa pun dan Vanilla tak berani bersuara sedikit pun. Glow menyarankan agar untuk sementara mereka tak bicara soal Vanilla pada Arvy sampai suasana hati sang kakak membaik mengingat Arvy cukup emosional.

“Aku ingin sendirian dan segera keluar dari sini.” Arvy terlihat begitu frustasi dan sikapnya sangat dingin.

Glow mulai mendekati Arvy. “Kakak harus dirawat di sini sampai kondisi kepala kakak membaik.”

“Aku ingin pulang dan dokter bisa datang ke mansionku!” bentak Arvy.

“Hei, jangan membentak istriku!” Blaze iku marah ketika sang istri dibentak seperti itu.

Glow mencubit tangan Blaze agar diam dan tak bicara sembarangan pada Arvy.

“Dia tetap saja menyebalkan,” bisik Blaze.

“Honey, diamlah!” Glow berbisik sambil membelalakkan matanya pada Blaze.

“Keluar semuanya! Aku benar-benar tak ingin diganggu saat ini. Aku perlu mencerna semua yang terjadi.” Arvy memberikan perintahnya.

“Baiklah, kami akan keluar, Son. Kami ada di luar jika kau membutuhkan kami.” Aiden merespon dengan bijak.

Lalu Izzy melepaskan tangan putra sulungnya dan keluar berjalan ke arah pintu.

Vanilla merasa bersalah karena hal itu. Ia lah yang menyebabkan perubahan sikap Arvy pada keluarganya.

Ketika semuanya keluar, Vanilla justru mendekatinya.

Glow menarik tangan Vanilla dan Vanilla menggelengkan kepalanya. Ia tak ingin menyembunyikan hal ini dari Arvy.

Lalu Blaze menarik tangan Glow agar membiarkan Vanilla mengambil keputusannya sendiri.

Kemudian Glow akhirnya melepaskan tangan Vanilla dan keluar dari kamar bersama Blaze dan kedua orang tuanya.

Vanilla berjalan maju dan Arvy sadar bahwa ada seseorang di depannya karena ia hisa melihat bayangannya.

“Siapa kau?” tanya Arvy.

“Maafkan, aku.” Suara Vanilla bergetar ketika harus berhadapan dengan Arvy.

“Siapa kau dan untuk apa kau meminta maaf?” Arvy mulai membentak.

“A-aku Vanilla dan aku lah yang tiba-tiba muncul di depan mobilmu hingga akhirnya kecelakaan itu terjadi. Aku minta maaf karena ini semua salahku. Aku sungguh-sunggu minta maaf.” Vanilla menjawab dengan suara bergetar tangannya saling menggenggam serta berkeringat dingin.

Arvy terdiam sejenak. Meskipun kini perasaannya berkecamuk, dia selalu masih bisa menilai apa yang terjadi di hadapannya dan sikap apa yang harus dia ambil.

“Pergilah,” sahut Arvy akhirnya.

“A-aku akan merawatmu sampai kau sembuh.” Vanilla melanjutkan ucapannya.

“Pergilah dan aku tak butuh bantuanmu.” Arvy menanggapinya dengan ketus.

“T-tapi aku ingin bertanggung jawab atas kesalahanku ini. Beri aku kesempatan.” Vanilla bersikeras.

“Kubilang pergi!!” bentak Arvy dengan suara yang masih bisa ditahannya.

“Aku tak akan pergi. Aku akan menjadi pelayanmu dan mata sementara bagimu.” Vanilla tak patah arang, namun itu justru membuat kemarahan Arvy semakin memuncak.

“PERGI!!!” bentak Arvy dengan suara keras dan menggelegar hingga membuat Vanilla memundurkan langkahnya.

Glow tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan menarik tangan Vanilla. Ia membawa Vanilla keluar lalu menutup pintunya lagi.

“Jangan memancing kemarahannya, Vanilla. Mental yang down hanya akan membuat dirinya semakin terpuruk dan pemulihannya melambat.” Glow berusaha memberi pengertian pada Vanilla.

Vanilla mengangguk dan kemudian menghapus air matanya. Lalu Glow memeluk Vanilla dan mereka sama-sama saling menguatkan.

“Aku tetap akan merawatnya meskipun dia mengusirku pergi,” kata Vanilla lirih.

Semuanya masih terdiam karena mereka sedang memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya pada Arvy.

*

*

Lima hari berlalu keadaan Arvy mulai membaik dan Dokter sudah mengizinkannya pulang. Aiden memerintahkan Vanilla untuk pulang dan selama lima hari ini Vanilla tak ke rumah sakit kareja ia mematuhi perintah Aiden.

Aiden berjanji akan memanggil Vanilla jika Arvy sudah pulang dari rumah sakit.

Dan hari ini pun tiba. Izzy menelepon Vanilla dan menyuruhnya datang ke mansion Arvy.

Vanilla langsung membawa kopernya yang sudah siapkan sejak empat hari yang lalu agar ia langsung siap berangkat jika keluarga Arvy meneleponnya.

Vanilla sudah keluar dari pekerjaannya. Herson sudah dipecat dari kantor dan bahkan kini dipenjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya pada Vanilla.

Parusahaan memberi kompensasi yang cukup besar agar masalah ini tak sampai ke publik karena bisa membuat citra buruk bagi perusahaan. Selain itu, Vanilla juga mendapat pesangon dengan jumpah yang lumayan karena sudah bekerja cukup lama di perusahaan itu.

Vanilla mengunci apartemennya dan segera pergi dari sana. Ia menggunakan taksi karena Vanilla sudah menjual mobilnya.

Ia menjualnya karena mobil itu nantinya akan jarang dipakai selama dirinya menjadi perawat Arvy.

Setidaknya ia memiliki tabungan yang cukup banyak saat ini di rekeningnya dan ia bisa tenang dengan hal itu.

*

*

“Masuklah, Vanilla.” Izzy mempersilahkan wanita muda itu masuk.

Izzy sudah sejak tadi berada di mansion Arvy untuk menunggu kedatangan Vanilla.

“Terima kasih, Aunty,” sahut Vanilla tersenyum dan menarik kopernya.

Lalu Izzy mengantar Vanilla ke kamarnya yang berada persis di sebelah kamar Arvy.

Arvy belum tahu tentang kedatangan Vanilla dan nanti Izzy lah yang akan mengatakannya pada putranya yang cukup keras kepala itu.

“Dia sedang istirahat?” Vanilla bertanya dengan suara pelan.

“Dia di kamar.” Izzy dan Vanilla masuk ke sebuah kamar yang akan ditempati oleh Vanilla selama wanita itu tinggal di sana.

“Ini kamarmu. Ada pintu penghubung dengan kamar Arvy di sana.” Izzy menunjuk ke arah pintu yang ada di dalam kamar Vanilla.

“Ya, Aunty.” Vanilla mengangguk sembari mengedarkan pandangannya ke dalam kamar megah itu.

“Aku akan bicara pada Arvy dulu dan kau tunggu di sini,” kata Izzy tersenyum.

Vanilla mengangguk sembari tersenyum.

Izzy beranjak pergi dari hadapan Vanilla dan masuk ke kamar Arvy.

*

“Tidak!! Aku tak mau dia ada di sini, Mom!” Arvy membentak dengan nada dingin.

Izzy lalu memeluk putra sulungnya itu.

“Lakukan ini demi Mommy, Arvy. Mommy sudah menceritakan kejadian yang dialaminya sebelum kecelakaan itu terjadi, bukan? Dan dia wanita yang baik. Dia sampai harus berhenti dari pekerjaannya agar bisa merawatmu.” Izzy mencoba menenangkan sang putra dengan suara lembutnya.

“Aku tak butuh bantuannya dan aku sudah melupakan hal itu. Aku masih bisa melakukan semuaya sendirian. Aku tak suka dianggap lemah dan aku tak suka dikasihani, Mom. Beri saja dia uang jika dia tak mau pergi dari sini. Mungkin dia menginginkan hal itu dari kita.” Arvy tetap keberatan dan tak menerima kehadiran Vanilla.

Vanilla yang berdiri di dekat pintu mendengar semua yang dikatakan oleh Arvy.

Ia ingin masuk dan berbicara pada Arvy, tapi Vanilla tahu bahwa itu justru akan memperkeruh suasana.

“Arvy, please, jangan keras kepala dan terima dia di sini untuk membantumu.” Izzy memohon.

Arvy terdiam lama hingga akhirnya Vanilla masuk dan berdiri di dekat ranjang Arvy.

“Aku tak akan pergi sekalipun kau memberiku uang banyak, Tuan. Aku hanya ingin bertanggung jawab atas semua ini,” ucap Vanilla tegas.

Arvy tertawa sinis mendengar hal itu.

“Entah mengapa aku merasa kau sengaja memaksa untuk tinggal di sini untuk alasan lain. Katakan berapa yang kau mau?”

“Arvy!” bentak Izzy akhirnya.

Dan Arvy masih terlihat kesal, sedangkan Vanilla mencoba bersikap tenang terhadap sikap sinis Arvy padanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status