Share

Membenci Vanilla

Setelah cukup lama membujuk Arvy, Izzy pun akhirnya pulang dan meninggalkan Vanilla di sana.

Arvy masih bersikap buruk pada Vanilla karena dia menganggap Vanilla seakan memiliki tujuan tertentu dengan memaksa tinggal di sana meskipun Arvy tak mempermasalahkan lagi tentang kecelakaan itu.

"Kau ingin makan di sini atau di ruang makan?" Vanilla bertanya dengan suara halusnya yang tenang.

Arvy tak menjawab dan hanya duduk di depan pintu balkon yang terbuka.

"Baiklah, aku akan ambilkan makananmu ke sini saja," kata Vanilla lagi.

Arvy tetap diam dan dia sangat muak mendengar suara Vanilla.

Lalu Vanilla keluar dari kamar dan menuju ruang makan.

"Sialan!!" umpat Arvy kesal.

Tak lama kemudian, Vanilla kembali ke kamar Arvy dengan membawa nampan berisi makanan dan jus buah.

Vanilla meletakkan makanan itu di meja yang ada di depan Arvy.

"Aku akan menyuapimu.” Vanilla mulai menyendokkan sup lalu mengarahkannya ke mulut Arvy.

Arvy yang melihat bayangan itu, langsung menepis tangan Vanilla hingga membuat sendok itu jatuh terpental dan sup nya tumpah mengenai baju Arvy.

Vanilla masih bisa mengerti hal ini dan bersabar menghadapi sikap Arvy. Vanilla mengambil tisu dan membersihkan baju Arvy.

Arvy menepis kembali tangan Vanilla hingga membuat Vanilla hampir terjatuh dari kursinya.

"Don't touch me!!!" Arvy membentak dengan nada suara yang dingin.

"Aku tak bisa. Aku akan tetap melayanimu.” Vanilla tak akan mundur hanya karena sikap dingin Arvy.

"Kau benar-benar keras kepala. Jika kau mau tinggal di sini, terserah!! Tapi jangan menggangguku!!!" Arvy marah dan pria itu kemudian beranjak berdiri.

Karena belum terbiasa dengan keseimbangan, membuat tubuh Arvy hampir jatuh hingga Vanilla memengang lengannya untuk menahan tubuhnya.

Tapi justru Arvy menghempaskan tubuh Vanilla dan membuat wanita itu terjatuh. Vanilla tak berteriak sama sekali dan langsung beranjak bangun.

"DON'T TOUCH ME!!" Arvy berteriak kesal lalu pria itu berjalan hanya mengandalkan insting dan cahaya saja meskipun beberapa kali hampir tersandung.

Vanilla marah? Tidak, Vanilla justru mengikutinya dari belakang hingga pria itu duduk di atas ranjang.

"Aku akan memanggilkan pelayan lain untuk menyuapimu.” Vanilla masih berbicara dengan nada suara yang tenang dan tak terpancing sama sekali.

"Aku tak se-menyedihkan itu, Bodoh!!" marah Avry.

"Keluar kau dari kamarku!!" usir Arvy.

"Baiklah, tapi kau harus makan makananmu. Aku akan kembali satu jam lagi untuk memeriksamu.” Kemudian Vanilla keluar dari kamar Arvy dan menutup pintunya.

"Huufft ..." Vanilla menghela nafasnya dan dia bersandar di balik pintu kamar Arvy.

"Semoga aku selalu bisa bersabar. Ini wajar baginya dan mungkin aku juga akan seperti itu jika berada dalam posisinya," gumam Vanilla pelan.

Lalu Vanilla kembali ke kamarnya dan duduk di sana. Dia mengambil sebuah buku bacaan di meja nakas dan mengisi waktunya membaca buku sebelum ke kamar Arvy lagi.

*

*

Satu jam kemudian, Vanilla kembali ke kamar Arvy dan dia melihat makanan di meja tadi telah habis.

Senyumnya mengembang dan dia melihat ke arah Arvy yang ada di balkon. Pria itu tampak berdiri sembari memegang pagar besi balkon.

Vanilla menyadari seauatu. Arvy tak suka dianggap lemah apalagi cacat. Ya, Vanilla akan mengingat hal ini agar dia tak menyakiti hati Arvy dengan bantuannya.

Lalu Vanilla membereskan piring dan gelas kotor itu dari meja. Dentingan piring dan gelas serta sendok yang bertumbukan, membuat Arvy tahu akan kehadirqn Vanilla di dekatnya.

Lalu tak lama kemudian, Vanilla pun keluar dari kamar Arvy. Setelah beberapa menit, Vanilla masuk lagi ke kamar dengan membawa sebotol air putih.

Vanilla mengeluarkan tiga obat dari bungkusnya yang ada di meja nakas lalu membawanya pada Arvy.

"Ini obatmu.” Vanilla memberikan obat itu pada Arvy.

"Sudah kubilang aku tak butuh bantuanmu," jawab Arvy.

"Setidaknya cepatlah sembuh agar aku bisa cepat pergi dari sini.” Vanilla menaruh obat itu ke tangan Arvy.

Lalu Arvy pun menelan tiga obat itu secara bersamaan. Vanilla memberikan botol minuman pada Arvy dan pria itu pun memegangnya lalu meminum airnya.

"Kau bisa menutupnya seperti ini.” Vanilla mengajari Arvy cara menutup tutup botolnya.

"Aku tidak bodoh!” Arvy kembali menepis tangan Vanilla.

Vanilla hanya diam saja dan seakan sudah kebal dengan sikap kasar Arvy padanya.

"Kau akan lebih mudah meminum air jika memakai botol seperti ini," kata Vanilla lagi.

"Pergi sekarang!!" usir Arvy dengan suara membentak seperti biasanya.

"Perban di kepala dan tanganmu harus diganti. Aku tak bisa pergi dulu.”

"Suruh pelayan lain," perintah Arvy.

"Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka.”

"Ini rumahku, semua yang ada di sini atas kendaliku!!" sahut Arvy membentak.

"Baiklah," jawab Vanilla akhirnya karena tak ingin Arvy semakn marah.

Vanilla keluar dari kamar dan memanggil seorang pelayan pria untuk mengobati luka Arvy.

Setelah itu, Vanilla pun kembali ke kamarnya.

Begitulah seterusnya sampai beberapa hari berlalu dan sikap Arvy masih saja ketus padanya.

Hingga suatu hari Arvy kedatangan seorang tamu yang merupakan teman bisnisnya sekaligus teman dekatnya ketika mereka masih kuliah dulu.

Vanilla hanya melihatnya dari kejauhan ketika Arvy mengobrol di taman belakang dengan temannya yang bernama Marcel itu.

Tampaknya kedatangan Marcel menbuat suasana hari Arvy membaik. Terbukti pria itu mulai tersenyum dan tertawa.

Vanilla tak pernah melihat tawa dan senyum itu sebelumnya.

“Nona, apakah Nona yang akan mengantar minuman ini?” tanya salah seorang Pelayan.

“Bibi saja. Suasana hati Arvy sangat bagus hari ini. Aku tak mau merusaknya.” Vanilla tersenyum pada sang pelayan.

Semua Pelayan tahu bagaimana sikap Arvy pada Vanilla, tapi mereka tak bisa melakukan apa pun karena itu bukan ranah urusan mereka. Mereka hanya bisa memberi semangat pada Vanilla agar selalu sabar menghadapi Arvy.

Dan Vanilla memang memiliki sabar yang tak berbatas. Ditinggalkan oleh ibunya di panyi asuhan pun, tak sekalipun dia marah pada sosok ibunya.

Vanilla berpikir mungkin itu karean sang ibu sangat menyayanginya. Dia beranggapan lebih baik ditaruh di panti asuhan dari pada dibunuh, bukan?

Sampai satu jam berlalu, Vanilla masih di tempatnya duduk sejak tadi. Di tangannya ada sebuah buku yang selalu dibacanya.

Hingga suara langkah kaki yang mendekatinya membuatnya mendongak.

Vanilla melihat Marcel yang tampaknya sudah akan pulang.

“Hai, aku melihatmu sejak tadi. Kau kerabat Arvy?” tanya Marcel tersenyum ramah.

“Bukan, aku perawatnya.” Vanilla pun menjawabnya dengan ramah.

“Aku Marcel, kau?” Marcel mengulurkan tangannya.

“Aku Vanilla,” jawab wanita itu tersenyum dan beranjak berdiri lalu menjabat tangan Marcel.

“Senang berkenalan denganmu. Besok aku akan ke sini lagi. Kau bisa bergabung dengan kami sembari mengobrol.” Marcel yang tampaknya tertarik pada Vanilla.

Vanilla tak menjawab apa pun dan hanya tersenyum saja.

“Baiklah, jaga baik-baik temanku itu. Dia lumayan cerewet jadi bersabarlah. Meskipun menyebalkan tapi dia pria yang sangat baik. Kau tahu? Aku menjadi seperti ini juga karenanya. Dulu aku hanya murid beasiswa dan Arvy lah yang membuatku sukses seperti ini. Ah maaf, aku jadi bercerita kisahku.” Marcel tampaknya memiliki pribadi yang menyenangkan dan itu lah mengapa Arvy senang mengobrol dengan Marcel.

“Tak apa, aku sangat tertarik mendengar ceritamu. Kapan-kapan kau harus menceritakannya.” Vanilla menanggapinya dengan senyuman manisnya.

Marcel mengangguk lalu berpamitan pulang. Kemudian Vanilla mengambilkan makanan untuk Arvy dan juga obatnya. Seperti biasa, Vanilla hanya akan meletakkannya di depan Arvy tanpa berbicara apa pun karena pria itu melarangnya bicara jika ada di dekat Arvy.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anindya Azka
blom up y ka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status