"Oh, Tuhan ini sangat melelahkan."
Lydia memijat pelipisnya yang berdenyut. Gara-gara Erika, dua sahabatnya yang lain ikut merecokinya sampai malam. Mereka semua bahkan kompak berkunjung ke rumah Lydia, selepas jam pulang kantor. Andaikata Cinta yang sudah menikah tidak dicari suami, mungkin para sahabat Lydia itu akan menginap. Apalagi karena tuan rumah yang lainnya tidak keberatan sama sekali. “Good morning. Kok lesu banget,” salah seorang rekan kerja Lydia menyapa. “Good morning juga. Aku cuma masih ngantuk saja,” jawab Lydia seraya duduk di kursinya. Sesuai rencana, hari ini Lydia kembali bekerja. Dan rasa sakit yang dirasakannya juga sudah jauh berkurang. Yang tersisa hanyalah bekas kemerahan yang kini sudah mulai menghitam. Untung saja semua tanda itu masih bisa ditutupi dengan concealer yang banyak. Erika yang punya alat make up paling lengkap, memberinya concealer mahal yang masih baru, lengkap dengan sponge dan kuas make up. Lydia amat berterima kasih untuk yang satu itu karena dia tidak punya itu semua. Cushion, lipstik, pensil alis dan eyeliner, itu saja yang dipunyai Lydia. “Cih. Baru juga minum sedikit wine mahal sudah sakit. Dasar orang miskin manja,” celetukan berisi hinaan dari supervisornya membuat Lydia mendonggak dari kubikelnya. Pria pertengahan 40 yang masih terlihat lumayan itu, menatap Lydia dengan pandangan kesal. Dirinya tidak tahu kenapa supevisornya sebenci itu pada dirinya, tapi seingat Lydia lelaki itu tidak seperti ini waktu dia awal kerja. Dan Lydia lebih memilih untuk mengacuhkannya saja. “Lyd, kita ngopi saja dulu yuk.” Seorang pria muda yang duduk di seberang kubikel Lydia mengajak. “Yuk. Mau ikut gak, Ki?” Lydia yang malas mendengar hinaan lain dari supervisornya, mengajak Kiara ikut serta. Dia enggan jadi bahan gosip supervisornya karena pergi berdua saja dengan Revan. “Si tua itu benar-benar keterlaluan deh. Aku gak habis pikir kenapa dia sebenci itu denganmu,” gerutu Kiara begitu mereka sudah cukup jauh dari ruangan. “Tau juga tuh. Aku sendiri bingung, padahal rasanya gak ngapa-ngapain,” jawab Lydia seraya mengangkat bahunya. “Dia cuma jealous karena kerjaanmu bagus, Lyd. Belum lagi masalah tahun lalu kamu yang temukan padahal masih anak baru. Ditambah reward dari bos kemarin,” Revan membela. “Kalau aku disentimen sama bos gitu, kira-kira bisa diangkat jadi pegawai tetap gak sih? Atau minimal perpanjang kontrak lah,” keluh Lydia, khawatir dengan masa depan keuangannya. Bertepatan dengan itu, denting lift yang akan membeawa mereka turun diikuti pintunya yang membuka, menghentikan obrolan tiga orang itu. Lydia baru mau melangkahkan kaki ketika melihat Reino dan sekretarisnya beserta wakil CEO ada dalam lift, membuatnya membeku di tempat. “Silakan duluan, Pak,” Revan yang segan satu lift dengan bos, mempersilakan tiga orang itu duluan. Dan itu merupakan sebuah keuntungan bagi Lydia yang segera menunduk menghindari tatapan bosnya itu. “Gak apa-apa masuk aja, kita bareng. Toh tempatnya masih luas,” si wakil CEO yang jauh lebih tua dari Reino Andersen itu mengajak dengan ramah, sambil menahan piintu lift. “Pak Reino gak keberatan kan?” tanya pria tua itu lagi ketika menyadari lirikan takut dari Kiara dan Revan. “Sure,” jawab Reino yang sejak tadi menatap Lydia dengan intens. Dan jawaban dari Reino membuat Lydia menggeram dalam hati. Apalagi begitu mendengar jawaban Reino, Kiara langsung melompat masuk dengan senyum terkulum. Lalu karena Revan juga sudah ikut masuk ke dalam lift, Lydia mau tidak mau juga harus ikut. Akan aneh jika dia tiba-tiba pergi. “Sekali-kali Pak Reino tersenyum dong. Biar anak-anak gak pada takut semua,” canda Pak Wakil CEO. “Saya merasa itu tidak perlu. Dan saya juga tidak begitu peduli pada pendapat orang lain, selain rekan bisnis,” jawab Reino dengan angkuhnya. Tatapan Reino berpindah dari Lydia yang membelakanginya di sisi kiri, berganti menatapi pantulan wanita itu di pintu lift. Reino melakukannya karena dia tidak sengaja melihat titik kebiruan di belakang telinga, ketika wanita itu menyelipkan rambutnya di belakang telinga. Membuat Reino mengingat kejadia dua malam lalu dan itu membuatnya gelisah. Reino yang kala itu lebih sadar dari Lydia ingat betul di mana saja dia meninggalkan tanda. Salah satunya yang ada di belakang telinga Lydia. Tidak terlalu terlihat sebenarnya, tapi karena Reino ingat maka dia memusatkan tatapannya di sana. Reino nyaris saja tersentak ketika tidak sengaja tatapannya bertemu dengan Lydia, dengan pintu lift sebagai media. Untungnya Reino bisa mengendalikan ekspresinya dan segera mengalihkan tatapan. ‘’Berhentilah menatap tubuh ratanya itu, Reino. Apa yang kau cari dari tubuh kurus itu,” gumamnya dalam hati. “Pak Reino?” “Hah, ya?” Reino tersentak dan refleks menoleh ke arah Pak Wakil CEO. “Apa sih yang anda lamunkan?” pria paruh baya itu terkekeh melihat raut wajah sedikit terkejut Reino. “Sepertinya Pak Reino perlu seegera cari istri agar tidak melamun seperti ini,” lanjut pria paruh baya itu, masih dengan senyum menggodanya. Lydia sedikit berjengit mendengar candaan pria tua di belakangnya itu. Sebagai mantan istri Reino Andersen, dia sedikit tersentil. Sikap gila Reino sama sekali tidak ada hubungannya dengan mencari istri. Buktinya dulu pria itu sama sekali tidak berubah. Dan rupanya pria itu sepemikiran dengannya. “Hal seperti itu tidak ada hubungannya sama sekali, Pak. Itu pemikiran yang sangat aneh,” protes Reino tidak mau terbantah. Tepat setelah itu, denting lift terdengar dan pintu terbuka di lantai dua. Lydia yang sudah merasa sesak di dalam lift sempit itu, apalagi berdekatan dengan Reino. Mana tatapan Reino terasa melubangi kepalanya. Lydia tidak tahu kenapa Reino menatapnya sampai seperti itu, tapi dia sudah mengambil keputusan untuk menghindari CEO arogan itu. Karenanya dia langsung bergegas keluar dari lift, kemudian berbalik sebentar untuk pamit dan segera berjalan cepat ke arah kafetaria. Pemandangan itu jelas tak luput dari mata elang Reino. Egonya merasa tersentil karena lagi-lagi wanita itu menghindarinya dan Reino tidak suka itu. Harusnya yang terjadi adalah sebaliknya. “Perempuan sialan itu,” geramnya sangat lirih. “Ada apa, Pak?” tanya sekretaris Reino bingung. “Tidak apa-apa,” sergah Reino masih kesal saja. “Dia itu karyawan kontrak cemerlang dari divisi keuangan kan?” Pak Wakil bertanya dengan penasaran. “Dari mana anda tahu hal seperti itu?” kening Reino berkerut bingung. “Semua orang, terutama bagian atas tentu tahu penyelamat perusahaan dari kerugian besar tahun lalu, Reino.” Pak Wakil menggeleng heran melihat tingkah aneh CEO muda itu. “Bahkan kudengar tim audit mengincarnya untuk pidah ke divisi mereka. Dengan ketelitian tinggi seperti itu wajar sih.” Kali ini pria tua itu mengangguk setuju. “Dan karena dia sebenarnya cantik, kudengar bukan cuma satu dua orang yang tertarik padanya.” “Apa?” ***To Be Continued***“Udah mau pulang, Lyd?” Revan langsung bangkit dari kursinya, ketika Lydia berjalan menuju pintu ruangan sambil melihat ponselnya. “Yupz. Tapi aku mau cari taksi online dulu.” Lydia menunjukkan ponselnya sambil tersenyum. “Aku juga sudah mau pulang, gimana kalau sekalian kuantar pulang?” Revan terlihat buru-buru mengambil tas ranselnya. “Kebetulan aku ada bawa helm lebih hari ini.” Langkah Lydia terhenti untuk menatap rekan kerjanya sebentar. Kalau mau jujur, sebenarnya Lydia kurang nyaman dibonceng oleh lawan jenis yang belum terlalu dekat dengannya. Karena itu dia selalu memilih taksi online dibandingkan ojek. Tapi karena ini masih pertengahan bulan dan keuangannya sedang menurun, Lydia akhirnya mengiyakan. “Tapi aku gak langsung pulang ke rumah nih. Aku ada janji dulu sama teman-temanku dan sepertinya tempatnya agak jauh.” “Memangnya di mana?” Lydia menyebut nama sebuah cafe dan Revan langsung menyanggupi untuk mengantar. Katanya kebetulan dia ada urusan disekitar situ. “Ci
“Sayang? Apa sih yang kamu lihat dari tadi?” Perempuan yang bersama Reino menoleh ke arah yang dilihat lelaki berwajah dingin itu, bertepatan dengan Lydia dkk beranjak. Dia penasaran apa yang membuat fokus Reino teralihkan darinya, tapi sama sekali tidak menemukan apa yang dilihat Reino. “Sudah kubilang berapa kali? Berhenti panggil aku sayang,” geram Reino ketika wanita di depannya sudah kembali melihat dirinya. “Tapi kita kan pacaran, masa .…” “Pacaran? Kata siapa?” tanya Reino meletakkan gelas wine dengan kasar ke atas meja. “Ah,” Reino mengangguk paham maksud wanita itu. “Apa setelah kuajak tidur beberapa kali, lantas kau merasa dirimu spesial?” tanya pria berwajah masam itu pada wanita di depannya. “Bukan begitu … aku .…” “Than behave,” potong Reino dingin. “Aku masih punya banyak cadangan selain kau. Dan ini kali terakhir aku menuruti permintaan makan malam absurd ini sebelum kita check in.” Reino mengelap bibirnya dengan serbet putih, kemudian melempar kain itu ke ata
“Makasih, Bang.” Lydia tersenyum sambil mengambil plastik merah yang disodorkan abang ojek online yang dipesannya. Lydia kemudian dengan tergesa kembali masuk ke lobi kantornya. Ini sebenarnya sudah jam pulang kantor dan orang-orang mulai keluar dari gedung kantor. Dan Rasanya hanya Lydia saja yang justru berlari masuk, lebih tepatnya ke arah toilet yang ada di lantai satu. Sialnya karena terlalu terburu-buru, Lydia malah menabrak seseorang. “Aduh maaf, Pak. Saya gak perhatiin jalan.” Lydia segera menunduk untuk minta maaf pada orang yang ditabraknya. Lydia sebenarnnya tidak memperhatikan siapa yang ditabraknya, tapi dari pakaian dia tahu itu adalah lelaki. Dan Lydia tak menyangka kalau bungkusan obat dengan label aplikasi kesehatan online yang dipegangnya terjatuh ke lantai, tuk kemudian dipungut oleh pria itu. “Kamu sakit?” Suara baritone yang terdengar dalam itu menyentak Lydia. Dia segera mendonggak dan menemukan Reino memegang plastik obat miliknya. Padahal Lydia sudah ber
“KELUAR.” Reino menyeret perempuan yang menurutnya terlalu lamban dalam bergerak itu keluar dari kamar hotel yang dipesannya. Sama sekali tidak peduli jika wanita itu masih dalam keadaan setengah telanjang. “Tunggu Reino. Aku belum selesai berpakaian,” teriak wanita itu kesal setengah mati. Tapi tidak ada gunanya, Reino sudah membanting pintu hingga menutup.Lelaki putih nun jangkung yang masih dalam keadaan telanjang itu menggeram kesal di dalam kamar suite yang sudah berantakan. Bukan berantakan habis bercinta, tapi Reino menghancurkan sebagian isi kamar itu. Pecahan lampu hias tergeletak di lantai, demikian pula dengan vas bunga. Belum termasuk dengan telepon dan teko listrik yang teronggok tak berdaya di bawah televis layar datar yang sudah pecah. “Sialan. Apa sih yang perempuan itu lakukan padaku?” geram Reino yang sudah duduk di pinggir ranjang, sedang menyumpahi Lydia. Yes, thats right. Lydia Amarta mantan istri kontraknya Reino Andersen. Pria itu sedang memaki mantan ist
“Eh? Ini apaan?” gumam Lydia ketika merasakan ada sesuatu yang mengganjal di bawah keyboardnya. “Ah, tadi Pak Reino duduk di sana waktu periksa laporan. Mungkin ada paper klip yang gak sengaja tersangkut tadi,” Kiara yang mendengar gumaman Lydia segera menyahut. Mulut Lydia langsung terbuka cukup lebar mendengar kalimat Kiara. Dia baru mendengar kalau Reino duduk di tempatnya saat berkunjung tadi. Untung saja Lydia kembali setelah pria itu telah pergi. Entah kenapa, Lydia punya pikiran kalau yang ada di bawah keyboardnya bukan paper clip yang gak sengaja nyempil. Dan ketika dia mengangkat keyboardnya, ada lipatan kertas kecil berwarna kuning di sana. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Dengan gerakan pelan agar tidak terlihat orang sekitarnya, Lydia mengambil kertas-kertas itu dan membukanya. Dia tidak terkejut lagi menemukan tulisan yang nyaris serupa pada kertas-kertas itu.‘Temui aku di parkiran basement selepas pulang kantor. Awas saja kalau terlambat. Aku akan memecatmu.’
Lydia mengerjapkan matanya beberapa kali, sedang berusaha mencerna kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi entah dia sedang lemot atau apa, Lydia gagal memahami. Atau mungkin juga dia salah dengar. “Sorry, tadi Pak Reino ngomong apa?” tanya Lydia karena dia merasa amat sangat yakin dia salah dengar. Reino menggeram kesal. Padahal dia sudah memutuskan urat malunya untuk mengatakan semua itu, tapi wanita kurus ini bahkan tidak mendengar dengan baik? “Aku ingin membuat kontrak baru denganmu,” kali ini Reino 100 persen menanggalkan kesopanannya. Jika biasanya lelaki itu masih sesekali menggunakan saya kamu, maka kali ini tidak lagi. Mulai detik ini Reino akan menggunakan bahasa yang lebih santai demi kenyamanannya sendiri kedepannya. Dia percaya diri pengajuannya akan disetujui Lydia. “Dan kontrak apa yang anda maksud, Pak?” Reino kembali menggeram marah ketika Ly
“Lydia,” Bu Nia memanggil dengan suara cemas. “Ya, Bu?” Lydia mendekat ke meja manajernya itu sebagai bentuk sopan santun. Bu Nia dan Supervisor punya meja sendiri dan itu membuat Lydia perlu berjalan ke sudut ruangan yang disekat dengan kaca. “Perhitungan pajak untuk bulan lalu sudah selesai?” Tanya Bu Nia dengan hembusan napas lelah. “Udah sih, Bu.” “Kalau gitu bawa ke Pak Reino sekarang juga.” “Eh?” “Bawa ke Pak Reino sekarang juga, Lydia,” ulang Bu Nia masih terdengar lelah. “Oh, baik Bu. Nanti saya kirimkan lewat email,” jawab Lydia masih bingung. “Dibawakan Lydia,” geram Bu Nia mulai kesal harus mengulang sampai 3 kali. “Pak Reino mau hardcopy. Dan bawa saja jangan banyak tanya,” hardik Bu Nia terlihat tidak sabar. Karena tidak bisa melawan lagi, Lydia hanya mengiyakan dengan raut bingung. Bahkan Kiara dan Revan pun menatapnya dengan heran. Jelas ada yang tidak benar di sini. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa sepertinya, malah diminta untuk mengantar laporan pada
“Lyd, kamu dipanggil Pak Reino lagi,” seru Bu Nia dengan nada lelah. “Again?” pekik Lydia tidak percaya. Ini sudah hari keempat sejak Reino mengerjai Lydia. Pria itu akan meminta Lydia datang dengan alasan laporan, kemudian dia hanya akan disuruh berdiri. Kemudian akan diusir setelah Reino bosan. Pernah juga Lydia disuruh merevisi laporan berkali-kali dan pada akhirnya kembali ke format awal. Kemarin bahkan Reino membentaknya dan melemparkan kertas ke wajahnya. Wajah Lydia sampai tergores kertas karenanya. Lydia tidak mengerti kenapa Beruang Kutub itu selalu cari gara-gara dengannya. Masa gara-gara ditolak sih? Tidak mungkin Reino Andersen senorak itu kan? Tapi pada kenyataannya memang seperti itu. Reino bertingkah setelah ditolak. “Sebenarnya kamu ngapain sih sampai dikerjai Pak Reino seperti itu?” tanya Bu Nia, disertai tatapan kepo dari semua orang.