“Sayang? Apa sih yang kamu lihat dari tadi?”
Perempuan yang bersama Reino menoleh ke arah yang dilihat lelaki berwajah dingin itu, bertepatan dengan Lydia dkk beranjak. Dia penasaran apa yang membuat fokus Reino teralihkan darinya, tapi sama sekali tidak menemukan apa yang dilihat Reino. “Sudah kubilang berapa kali? Berhenti panggil aku sayang,” geram Reino ketika wanita di depannya sudah kembali melihat dirinya. “Tapi kita kan pacaran, masa .…” “Pacaran? Kata siapa?” tanya Reino meletakkan gelas wine dengan kasar ke atas meja. “Ah,” Reino mengangguk paham maksud wanita itu. “Apa setelah kuajak tidur beberapa kali, lantas kau merasa dirimu spesial?” tanya pria berwajah masam itu pada wanita di depannya. “Bukan begitu … aku .…” “Than behave,” potong Reino dingin. “Aku masih punya banyak cadangan selain kau. Dan ini kali terakhir aku menuruti permintaan makan malam absurd ini sebelum kita check in.” Reino mengelap bibirnya dengan serbet putih, kemudian melempar kain itu ke atas meja dengan kasar. Dia segera berdiri dan memberi kode pada salah satu pengawal untuk pergi membayar makanannya. Melihat kepergian Reino, perempuan yang bersamanya tadi segera mengejar. Walau pria dingin itu sangat tinggi dengan kaki jenjang, wanita dengan profesi model internasional itu masih bisa mengejarnya walau harus berlari. “Sa… Reino, jangan marah dong. Kita jadi ke hotel kan?” panggil model itu manja. Kalau bukan karena Reino Andersen, dia tidak akan sudi mengejarnya lagi. Wajah tampan dengan bodi bak pahatan dewa Yunani itu, sudah lebih dari cukup untuk membuat semua perempuan bertekuk lutut. Apalagi kemampuannya di ranjang, gratis pun para wanita pasti mau melayaninya. Apalagi kalau dibayar, seperti yang mereka lakukan saat ini. Reino menjauhkan diri dari perempuan yang sudah pingsan itu dengan geraman kesal. Dia sama sekali belum selesai, tapi partnernya sudah pingsan duluan. Padahal biasanya Reino masih bisa merasa sedikit puas, tepat sebelum para perempuan itu pingsan. Tapi kali ini? Tanda-tanda menuju ke sana saja tidak ada. Dan itu jelas membuat Reino kesal. Yang biasanya saja tidak cukup, tapi kali ini dia malah tidak dapat apa-apa. “Sialan mantan istriku itu jauh lebih baik, padahal dia sangat kurus,” geram Reino sambil memakai pakaiannya, mengacuhkan ‘barangnya’ yang masih tegang. Yeah. Benda itu belum bisa tidur karena belum terpuaskan sedikit pun. Tapi tidak ada yang Reino bisa lakukan karena partnernya sudah pingsan dan sudah tak ada waktu lagi untuk mencari yang lain. Ini sudah jam dua pagi dan Reino juga butuh tidur. Besok dia masih harus bekerja dalam keadaan segar. Mungkin nanti dia bisa memakai sekretarisnya yang menyebalkan itu. Sekarang dia perlu pulang ke rumah untuk istirahat. *** “Oh, rapat yang sangat menegangkan.” Manajer Lydia masuk ke ruangannya, setelah kembali dari rapat disertai dengan ocehan panjang soal rapat itu. Rapat bulanan yang diadakan untuk membahas kinerja semua bagian. Kata orang-orang, rapat dengan Reino Andersen sudah sangat menyeeramkan, tapi sepertinya rapat hari ini lebih menyeramkan lagi. Setidaknya itu yang bisa disimpulkan dari ocehan manajer keuangan bertubuh tambun itu. “Mood Pak Reino sepertinya sedang terjun bebas dari ketinggian 100.000 kaki,” keluh Bu Nia. “Dia mengerikan. Bahkan Pak Wakil CEO dan sekretarisnya yang genit itu lebih banyak diam,” lanjutnya masih membahas rapat. “Auranya benar-benar seperti di kutub utara, belum lagi tampang gantengnya yang terlihat gelap.” “Gak dapat jatah kali, Bu.” Revan terkekeh saat si supervisor yang membenci Lydia mereka mengatakan itu dan langsung terdiam ketika dipelototi. “Gak mungkin.” Bu Nia mengibaskan tangan di udara. “Soalnya tadi sempat ku dengar, sekretarisnya yang genit itu masuk ke dalam ruangan Pak Reino dan baru keluar sejam kemudian dengan wajah sangat lelah dan berantakan.” “Dia biasa dipakai bos?” tanya Revan dengan kening mengernyit. Berbeda dengan reaksi rekan kerja lelakinya yang lain, Revan terlihat kurang begitu suka dengan kenyataan ada perempuan yang bisa ‘dipakai’ di sekitarnya. “Katanya kalau Big Bos lagi bosan dengan para perempuannya, dia akan cari mangsa di kantor. Si Genit itu salah satunya.” Lydia langsung terbatuk mendengar pernyataan manajernya itu. Entah kenapa dia merasa tersinggung, apalagi karen Lydia juga pernah ‘dipakai’ Reino. Dan karenanya bisa mengerti dengan Si Genit yang terlihat sangat kelelahan. “Salah duanya siapa?” tanya Lydia basa-basi saja. Dia hanya ingin terlihat mengikuti diskusi absurd ini dengan santai. Jangan sampai ada yang curiga padanya. “I don’t know.” Bu Nia menaikkan kedua bahunya. Rupanya Bu Nia tidak tahu banyak informasi. “Lalu kenapa dia tidak menikah saja? Bukankah lebih baik melakukan itu dengan istri sendiri daripada sembarang wanita? Apakah dia tidak takut kena penyakin menular?” Pertanyaan Revan itu membuat Lydia kembali terbatuk-batuk. Kali ini dengan lebih keras, sampai-sampai Lydia harus berdalih tenggorokannya kering. Dan setelah dipikir-pikir lagi. Yang dikatakan Revan itu benar sekali. Bukan karena Lydia merasa cemburu tidak disentuh sama sekali saat masih menjadi istri, tapi ini soal kesehatan. Apalagi seingatnya, kemarin mereka melakukannya tanpa pengaman. Itu artinya kemungkinan besar Polar Bear itu jarang pakai pengaman kan? Tiba-tiba saja Lydia jadi ngeri sendiri. Takut jika dia juga akan terjangkit penyakit menular karena kelakuan Reino beberapa waktu yang lalu. “Oh, my God,” gumam Lydia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Bulu kuduknya langsung meremang membayangkan dirinya terkena penyakit mematikan karena hal itu. “Ada apa denganmu?” tanya Revan dengan kening berkerut. “Nothing,” jawab Lydia dengan cepat. “Aku rasa aku cuma perlu ke toilet.” Lydia segera menyambar ponselnya dan berlari ke toilet. Setelah menemukan bilik toilet kosong, dia mengunci pintu di sana. Menurunkan penutup toilet duduk dan duduk di atasnya, bergegas mencari tahu soal pemeriksaan IMS. Harganya yang mencapai jutaan rupiah untuk tes lengkap, membuatnya membulatkan mata. “Apa yang harus kulakukan?” bisik Lydia panik sendiri. Lydia masih punya sisa utang dan tidak ingin membebani keluarganya dengan pengobatan kalau dia kena penyakit. Tapi rupanya, biaya periksa saja sudah cukup mahal. [Lydia Rata: Apa kau tahu tempat periksa IMS lengkap dan murah?] Lydia pada akhirnya bertanya pada Erika. Seingatnya, sahabatnya itu pernah memeriksakan diri. [Erika Bego: Kenapa kau tiba-tiba bertanya?] [Lydia Rata: Setelah melakukannya dengan Polar Bear, aku takut kena penyakit. Soalnya dia kan aktif di ranjang.] [Erika Bego: Kalian tidak pakai pengaman?] [Lydia Rata: Ehm... Sepertinya tidak.] [Erika Bego: Maka hal pertama yang harus kau takutkan bukan penyakit, Lyd. Tapi hamil di luar nikah.] Lydia terkesiap membaca balasan dari Erika. Dia membiarkan ponselnya tergeletak di atas paha dan menutup mulutnya dengan dua tangan karena syok. “Astaga. Bisa-bisanya aku melupakan itu?” seru Lydia menjambak rambutnya dengan keras. Bagaimana kalau dia hamil? ***To Be Continued***“Makasih, Bang.” Lydia tersenyum sambil mengambil plastik merah yang disodorkan abang ojek online yang dipesannya. Lydia kemudian dengan tergesa kembali masuk ke lobi kantornya. Ini sebenarnya sudah jam pulang kantor dan orang-orang mulai keluar dari gedung kantor. Dan Rasanya hanya Lydia saja yang justru berlari masuk, lebih tepatnya ke arah toilet yang ada di lantai satu. Sialnya karena terlalu terburu-buru, Lydia malah menabrak seseorang. “Aduh maaf, Pak. Saya gak perhatiin jalan.” Lydia segera menunduk untuk minta maaf pada orang yang ditabraknya. Lydia sebenarnnya tidak memperhatikan siapa yang ditabraknya, tapi dari pakaian dia tahu itu adalah lelaki. Dan Lydia tak menyangka kalau bungkusan obat dengan label aplikasi kesehatan online yang dipegangnya terjatuh ke lantai, tuk kemudian dipungut oleh pria itu. “Kamu sakit?” Suara baritone yang terdengar dalam itu menyentak Lydia. Dia segera mendonggak dan menemukan Reino memegang plastik obat miliknya. Padahal Lydia sudah ber
“KELUAR.” Reino menyeret perempuan yang menurutnya terlalu lamban dalam bergerak itu keluar dari kamar hotel yang dipesannya. Sama sekali tidak peduli jika wanita itu masih dalam keadaan setengah telanjang. “Tunggu Reino. Aku belum selesai berpakaian,” teriak wanita itu kesal setengah mati. Tapi tidak ada gunanya, Reino sudah membanting pintu hingga menutup.Lelaki putih nun jangkung yang masih dalam keadaan telanjang itu menggeram kesal di dalam kamar suite yang sudah berantakan. Bukan berantakan habis bercinta, tapi Reino menghancurkan sebagian isi kamar itu. Pecahan lampu hias tergeletak di lantai, demikian pula dengan vas bunga. Belum termasuk dengan telepon dan teko listrik yang teronggok tak berdaya di bawah televis layar datar yang sudah pecah. “Sialan. Apa sih yang perempuan itu lakukan padaku?” geram Reino yang sudah duduk di pinggir ranjang, sedang menyumpahi Lydia. Yes, thats right. Lydia Amarta mantan istri kontraknya Reino Andersen. Pria itu sedang memaki mantan ist
“Eh? Ini apaan?” gumam Lydia ketika merasakan ada sesuatu yang mengganjal di bawah keyboardnya. “Ah, tadi Pak Reino duduk di sana waktu periksa laporan. Mungkin ada paper klip yang gak sengaja tersangkut tadi,” Kiara yang mendengar gumaman Lydia segera menyahut. Mulut Lydia langsung terbuka cukup lebar mendengar kalimat Kiara. Dia baru mendengar kalau Reino duduk di tempatnya saat berkunjung tadi. Untung saja Lydia kembali setelah pria itu telah pergi. Entah kenapa, Lydia punya pikiran kalau yang ada di bawah keyboardnya bukan paper clip yang gak sengaja nyempil. Dan ketika dia mengangkat keyboardnya, ada lipatan kertas kecil berwarna kuning di sana. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Dengan gerakan pelan agar tidak terlihat orang sekitarnya, Lydia mengambil kertas-kertas itu dan membukanya. Dia tidak terkejut lagi menemukan tulisan yang nyaris serupa pada kertas-kertas itu.‘Temui aku di parkiran basement selepas pulang kantor. Awas saja kalau terlambat. Aku akan memecatmu.’
Lydia mengerjapkan matanya beberapa kali, sedang berusaha mencerna kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi entah dia sedang lemot atau apa, Lydia gagal memahami. Atau mungkin juga dia salah dengar. “Sorry, tadi Pak Reino ngomong apa?” tanya Lydia karena dia merasa amat sangat yakin dia salah dengar. Reino menggeram kesal. Padahal dia sudah memutuskan urat malunya untuk mengatakan semua itu, tapi wanita kurus ini bahkan tidak mendengar dengan baik? “Aku ingin membuat kontrak baru denganmu,” kali ini Reino 100 persen menanggalkan kesopanannya. Jika biasanya lelaki itu masih sesekali menggunakan saya kamu, maka kali ini tidak lagi. Mulai detik ini Reino akan menggunakan bahasa yang lebih santai demi kenyamanannya sendiri kedepannya. Dia percaya diri pengajuannya akan disetujui Lydia. “Dan kontrak apa yang anda maksud, Pak?” Reino kembali menggeram marah ketika Ly
“Lydia,” Bu Nia memanggil dengan suara cemas. “Ya, Bu?” Lydia mendekat ke meja manajernya itu sebagai bentuk sopan santun. Bu Nia dan Supervisor punya meja sendiri dan itu membuat Lydia perlu berjalan ke sudut ruangan yang disekat dengan kaca. “Perhitungan pajak untuk bulan lalu sudah selesai?” Tanya Bu Nia dengan hembusan napas lelah. “Udah sih, Bu.” “Kalau gitu bawa ke Pak Reino sekarang juga.” “Eh?” “Bawa ke Pak Reino sekarang juga, Lydia,” ulang Bu Nia masih terdengar lelah. “Oh, baik Bu. Nanti saya kirimkan lewat email,” jawab Lydia masih bingung. “Dibawakan Lydia,” geram Bu Nia mulai kesal harus mengulang sampai 3 kali. “Pak Reino mau hardcopy. Dan bawa saja jangan banyak tanya,” hardik Bu Nia terlihat tidak sabar. Karena tidak bisa melawan lagi, Lydia hanya mengiyakan dengan raut bingung. Bahkan Kiara dan Revan pun menatapnya dengan heran. Jelas ada yang tidak benar di sini. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa sepertinya, malah diminta untuk mengantar laporan pada
“Lyd, kamu dipanggil Pak Reino lagi,” seru Bu Nia dengan nada lelah. “Again?” pekik Lydia tidak percaya. Ini sudah hari keempat sejak Reino mengerjai Lydia. Pria itu akan meminta Lydia datang dengan alasan laporan, kemudian dia hanya akan disuruh berdiri. Kemudian akan diusir setelah Reino bosan. Pernah juga Lydia disuruh merevisi laporan berkali-kali dan pada akhirnya kembali ke format awal. Kemarin bahkan Reino membentaknya dan melemparkan kertas ke wajahnya. Wajah Lydia sampai tergores kertas karenanya. Lydia tidak mengerti kenapa Beruang Kutub itu selalu cari gara-gara dengannya. Masa gara-gara ditolak sih? Tidak mungkin Reino Andersen senorak itu kan? Tapi pada kenyataannya memang seperti itu. Reino bertingkah setelah ditolak. “Sebenarnya kamu ngapain sih sampai dikerjai Pak Reino seperti itu?” tanya Bu Nia, disertai tatapan kepo dari semua orang.
Sahabat Lydia, mengerubunginya dan menatapnya dari dekat. Bahkan Cinta sudah menopang dagu, tepat di hadapan sahabatnya itu, tapi Lydia yang sedang melamun dengan sebelah tangan menopang dagu dan sebelah tangan memainkan sedotan pada gelas minumannya, sama sekali bergeming. Gemas dengan kelakuan Lydia yang sejak tadi melamun saja, Vanessa menoyor kepala sahabatnya itu. Pelan saja, tapi tetap membuatnya terkejut karena dikerubungi. “Astaga, Ta!” Lydia menoyor kening sahabatnya itu dengan jari telunjuk untuk menjauhkannya. “Kamu kenapa sih? Diajak untuk nongkrong bareng, malah melamun berjam-jam,” seru Erika hiperbola. “Siapa yang melamun?” elak Lydia menyeruput minumannya. “Kamu,” seru ketiga sahabat Lydia itu bersamaan, sambil menunjuki sahabatnya. Dikeroyok seperti itu, Lydia hanya bisa memutar matanya. Mau gimana lagi, dia sama sekali tidak punya pembelaan. Lydia memang jadi banyak pikiran gara-gara kelakuan Reino kemarin siang. Untungnya Lydia masih bisa menghindari pertanya
“Excuse me?” Lydia langsung melotot horor pada Reino. Saking paniknya Lydia langsung melirik ke kiri dan kanan, untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar kalimat vulgar pria jangkung di depannya ini. Tapi tentu saja ada yang mendengar karena para sahabat Lydia berada di sekitarnya. Selebihnya aman. “Ini tempat umum, Pak. Tolong kontrol kata-kata anda,” bisik Lydia dengan wajah menunduk karena malu. Bukan hanya malu dengan kalimat Reino, tapi karena kini mereka jadi pusat perhatian. Tinggi dan tampang Reino yang di atas rata-rata, membuat semua orang dengan mudahnya menoleh. Apalagi kini teman-teman pria itu juga mendekat ke arahnya. “Everythings okay, dude?” tanya Viktor sedikit bingung. Bingung karena yang didatangi Reino rupanya wanita bertubuh kurus di depannya. Kaisar menyusul di belakang sahabatnya. “Everthing is fine,” hardik Reino. “Kecuali kau,”