Share

2. Kawan Lama

Sungguh hari yang sangat panas. Matahari terasa ada dua di Sunny Shore hari ini. Ya, Sunny Shore adalah nama kota kecil tempat kelahiranku. Di sini terdapat banyak pantai-pantai yang indah berhiaskan pasir putih. Sama halnya dengan mall Cityscape, bangunan dengan arsitektur unik berbentuk persegi panjang dengan warna abu-abu yang membentang luas menjadi pemandangan indah karena posisinya hampir bersebelahan dengan pelabuhan kecil tempat banyak kapal yacht bersandar.

Aku berjalan beberapa blok menyusuri Scape Avenue menuju ke perhentian bus. Siang itu jalanan dipenuhi dengan lalu lintas yang padat serta banyak pejalan kaki yang berlalu-lalang karena hari senin termasuk hari yang sangat sibuk walaupun di kota yang tidak terlalu besar seperti Sunny Shore ini. Saat tiba di halte aku berdiri karena tempat duduknya sudah penuh. Sambil menunggu bus yang akan tiba selanjutnya, aku menyalakan sebatang rokok dan menikmatinya agar tidak merasa bosan.

Dari ujung jalan samar-samar terlihat ada satu sosok yang sangat familiar bagiku. Aku melepas kacamataku dan mengusap lensanya agar pemandangannya lebih jelas.

"Virgie! Hey!" teriakku dengan penuh antusias sambil melambaikan tangan ke arah seberang jalan.

Di sana ada seorang wanita dengan rambut sebahu, hitam sedikit kecoklatan, posturnya tak terlalu tinggi serta warna kulit eksotis yang memberi kesan seksi. Dari kejauhan dia sangat mencolok. Gayanya yang cool dan terkesan cuek dengan ciri khas kaos hitam bertuliskan nama band rock terkenal dan sepatu old school. Berbeda dengan gadis umur dua puluh delapan tahun pada umumnya yang memilih high heels dan dress. Tidak lupa resting bitch facenya yang terlihat mengintimidasi.

Virgie Peterson, gadis moody yang akan menganalisa setiap gerak-gerik dan akan menjudgemu habis-habisan. Bisa dibilang kami bersahabat dekat, tapi beberapa tahun terakhir dia pindah ke Crocsie dan menetap di sana. Sudah sekitar 4 tahun lebih kami tidak bertemu. Kami berteman di sosial media tapi tidak sering menyapa karena kesibukan masing-masing. Virgie sangat aktif di beberapa sosial media, sedangkan aku jarang sekali. Aku lebih senang menghabiskan waktuku dengan membaca buku atau menonton film.

“Aku harus bergegas menyeberang ke seberang jalan sebelum Virgie menghilang dari pandanganku,” gumamku sambil memperlaju langkahku.

Virgie belum melihatku, dia terlihat sibuk mengutak-atik ponselnya. Di situ juga terlalu banyak orang lalu-lalang. Hanya sekali dia menatap keheranan mencari tahu sumber suara yang meneriakkan namanya dengan lantang lalu berpaling kembali ke layar ponselnya.

"Hey!" Aku menepuk bahu Virgie sambil menyengir kegirangan.

"Syd? Sydney? Ini beneran kamu?" sambut Virgie dengan mata melotot.

Karena terlampau senang, aku hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba Virgie memelukku dengan erat seakan tak ada ruang untukku bernafas.

"Ya ampun, aku kangen banget! Lama tidak bertemu!" ujar Virgie melepaskan pelukannya sembari meraba-raba pipiku.

"Aku juga, Vi. Aku pikir kamu masih di Crocsie. Kapan kamu datang? Kenapa tidak mengabariku?" tanyaku.

"Panjang ceritanya, Syd. Aku tidak percaya bisa bertemu kamu hari ini. Tapi, sepertinya bukan ide yang bagus bernostalgia di pinggir jalan dengan cuaca yang panas seperti ini. Kita ke Frida's saja, yuk?" usul Virgie sambil menarik tanganku.

Kami berjalan memutar kembali ke arah Scape Avenue. Melewati dua blok ditengah teriknya matahari sebelum akhirnya tiba di tujuan.

Suasana di Frida's saat itu sudah agak sepi karena jam-jam paling hectic sudah berlalu. Jangan berharap bisa menikmati menu sarapan terlezat di kafe sarapan pagi Sunny Shore jika datang lewat dari jam 10 pagi. Sepiring telur orak-arik hingga rebus, daging atau sosis, roti panggang dengan selai, hash brown, panekuk, dan sereal. Jangan lupa secangkir kopi hangat untuk semakin menambah energi sepanjang hari.

Kami memilih duduk di barisan sofa ke dua di luar ruangan. Masih ada beberapa meja kosong di dalam, tapi di sini lebih nyaman karena bisa menikmati angin sepoi-sepoi.

"Kamu mau minum apa, Vi? Biar aku yang pesan di depan, sekalian aku mau ke toilet," kataku sembari beranjak dari tempat duduk.

Sambil memegang rokok yang hendak dia nyalakan, Virgie merebahkan badannya di sofa dengan wajah yang tidak bersemangat, dia menyeletuk, "aku yang biasa saja deh. Aku masih sangat mengantuk. Kau tahu? Aku tidur cuma tiga jam, i need caffeine!"

"Ya sudah kalau begitu, aku pesan dulu," tuturku kemudian berjalan menuju ke arah bar sambil tersenyum karena melihat tingkah Virgie.

Dulu sebelum Virgie pindah ke luar kota, Virgie tinggal di apartemen kecil dekat tempat tinggalku. Karena jaraknya yang dekat, Virgie sering menginap di tempatku bersama Athena dan Damon. Kami bersahabat sudah lama sekali, sudah sekitar tujuh tahun, bahkan sudah terasa seperti saudara. Jika sedang berkumpul, sesekali kami mengadakan 'pesta kecil' sampai pagi, sampai salah satu dari kami sudah mulai mengoceh yang tidak-tidak ataupun Damon yang menangis karena mabuk sambil membahas gebetannya yang tidak pernah memberikan kepastian.

Dari lorong toilet aku singgah di meja bar untuk mengambil pesanan kami. Aku melirik ke luar. Virgie masih seperti yang dulu, tidak pernah lepas dari ponselnya. Seorang Virgie Peterson adalah tipikal orang yang akan gelisah jika lima menit saja tidak memeriksa notifikasi ponselnya. Seperempat harinya dihabiskan dengan menatap layar ponsel yang katanya pintar itu. Sungguh suatu kegiatan yang sangat menyita waktu menurutku.

Aku berjalan sambil membawa nampan yang berisi pesanan kami berdua. "Cappuccino italiano buatmu, hot americano buatku, delicioso!" Sambil menirukan gaya seperti iklan kopi di TV.

"Terimakasih, Sydney Ellis yang baik hati dan tidak sombong,” rayu Virgie dengan genit seraya mengedipkan matanya.

"Eh, tumben si Manusia introvert ini keluar rumah? Biasanya kau hanya berdiam diri di apartemen dengan pacarmu. Jangan bilang kau jomblo, Syd. Aku tidak akan percaya!"

Virgie memang tau cara menyerangku dengan halus. Wajahku memerah. "Ah, kamu bisa saja. Tadi aku dari tempat kerja, tapi aku lupa kalau hari ini aku bertukar off dengan temanku. Pas tadi mau pulang aku lihat kamu di jalan."

"Dasar pelupa akut! Memang tidak pernah berubah ya kamu dari dulu. Makanya bergaul dengan manusia jangan dengan buku terus!" sindir Virgie.

Aku hanya menggaruk-garuk kepala seperti biasanya sambil tertawa kecil. Kebiasaan yang tidak pernah lepas dari dulu. Aku selalu menggaruk-garuk kepala jika sedang merasa canggung atau gugup.

"Pacar kamu mana? Jawab dulu!" desak Virgie dengan ekspresi meneliti.

"Aku jomblo. Puas kau? Sudah dua tahun lebih aku putus dari pacarku yang terakhir. Tolong jangan bahas ini, tidak penting. Tadi katamu kau mau cerita yang panjang itu?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan agar Virgie berhenti menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan yang konyol.

"Kamu memang paling bisa mengalihkan pembicaraan," cetusnya.

Seperti biasa, Virgie tau maksudku.

"Aku pulang sudah sekitar enam bulan yang lalu. Aku sering sekali lewat gang apartemenmu, rasanya ingin sekali mampir, tapi aku pikir pasti ada pacarmu, tidak enak rasanya kalau tiba-tiba aku muncul, jadi aku mengurungkan niatku."

"Ah alasan saja kamu. Kalau hanya mampir kan tidak apa-apa. Lagipula tidak ada yang bisa melarang sahabatku datang, aku single and ready to mingle!” jawabku sambil cekikikan.

"Ya mana aku tau, bodoh! Yang penting sekarang kamu bebas, ya kan?"

Sekarang dia sudah mulai main tangan seperti biasa. Virgie meninju bahuku dengan sangat kuat. Kami tertawa terbahak-bahak.

Sambil menyalakan rokoknya yang padam, Virgie melanjutkan cerita. "Jadi sebenarnya aku tidak ingin pulang, tapi berhubung papaku masuk rumah sakit jadi mau tidak mau bulan Mei yang lalu aku resign dari pekerjaanku yang membosankan itu dan tada ..., i'm here!" jelas Virgie dengan tersenyum paksa.

"Aku tahu ekspresi itu!" candaku.

"Entahlah. Ini di luar dugaanku! Padahal rencananya bulan Juni aku akan langsung kembali ke Crocsie, tapi aku malah keenakan bergaul di sini,” ujar Virgie, sudut mulutnya terangkat dengan wajah yang terlihat masam.

"Jadi sekarang kamu tinggal di mana? Atau pulang ke rumah?" tanyaku, "eh, tapi tidak mungkin kan kamu tinggal di rumahmu?"

Virgie memalingkan wajahnya. Matanya menyipit sembari menjawab, "tentu saja tidak mungkin. Aku tidak mungkin tinggal serumah dengan orang tua dan adikku. Kamu tau sendiri kan aku paling tidak cocok dengan mereka. Aku tinggal di Wins apartemen di Stone Hills. Kapan-kapan kamu harus mampir ke sana. Ajak Athena dan Damon juga. Sudah lama aku tidak bertemu mereka. Kemarin aku sempat kontekan dengan Damon tapi kamu tau kan si workaholic itu?” imbuhnya.

"Ya sudah kalau begitu. Tapi, kalau ada waktu ya? Sepertinya aku akan sibuk sampai akhir tahun." Aku tertawa sambil meraih cangkir americano dan menyeruputnya secara perlahan.

Kami menghabiskan waktu bersama di Frida's sampai kira-kira jam 2 siang. Virgie banyak bercerita tentang bagaimana kehidupannya saat masih di Crocsie, tentang hubungan yang sudah dijalaninya dengan Julian, kekasihnya selama 5 tahun yang kandas di tengah jalan karena orang ketiga. Mungkin saat itu Virgie terlalu berekspektasi lebih dari hal-hal yang di luar kendalinya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Alice
aku suka karakter si Sydney ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status