Share

6. First Love From New York

Siang ini jam dinding berwarna perak yang dipajang di atas pintu dapur terasa begitu lambat berdetak. Ku rasa ini adalah hari terpanjang dalam hidupku. Aku mencoba memikirkan kalimat lain selain 'cepatlah jam empat'. Entah kenapa aku merasa sangat tidak bersemangat untuk beraktivitas. Aku menghabiskan tiga jam berikutnya dengan membuat pesanan seperti biasa. Sebenarnya tidak ada yang berbeda, hanya saja aku mungkin merasa agak jenuh dengan keseharianku, atau mungkin aku hanya sedang merasa kesepian saja.

"Sydney, tolong kau gantikan aku sebentar. Aku ada urusan mendadak jadi aku harus pergi. Tolong kau awasi mereka, ya!"

Dengan terburu-buru Pak Daniel mengambil jaketnya dan berlalu ke arah pintu depan kafe. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya itu.

"Wah, ada apa ya pak Daniel tiba-tiba pergi begitu saja? Tidak biasanya dia seperti itu," kata Andrew yang sedang menginput pesanan di komputer kasir.

"Entahlah, mungkin ada urusan penting. Sudahlah, kau jangan kepo dengan urusan orang lain. Ayo lanjutkan kerjamu, anak buah! Masih banyak orderan yang menumpuk!" seruku dengan gaya sok cool.

"Siap, bapak buah!" ujar Andrew.

Di sela-sela kesibukan kami di siang hari yang ramai, kami tidak pernah lupa membubuhkan gurauan agar kerja kami tidak terlalu terasa datar dan membosankan. Setidaknya cara itu selalu berhasil membuat kami lupa mengecek jam. Tapi kali ini cara itu tidak berhasil padaku.

"Psst! Hey, Syd. Mana bagianku?" bisik Janice dari dalam ruang penyimpanan sambil merapihkan beberapa bungkusan bumbu makanan.

"Oh iya, hampir saja aku lupa. Coba kau buka box putih besar yang ada di sudut bawah rak itu. Aku menyisipkannya disitu. Cepat simpan di loker sebelum yang lain melihatmu!"

Dengan cekatan Janice meraih box putih besar tempat kami menyimpan stok kopi. Tangannya merogoh jauh ke dalam box sambil mengamati bungkusan kopi yang lain. Biasanya aku selalu menyisihkan beberapa gram biji kopi yang digiling untuk ku kumpulkan sampai penuh di kantong plastik sedang untuk ku bawa pulang atau ku tukar dengan roti isi buatan ibu Janice. Aku sangat tergila-gila dengan rasa roti isi itu. Isian daging ham, sosis, steak dan keju yang meleleh, lalu dibalut dengan roti panggang segar. Yang membuatnya istimewa adalah, di dalamnya juga ada irisan kentang goreng mirip seperti yang selalu dibuat nenekku dulu.

"Terimakasih, Syd. Eh, ini rotimu. Kali ini ku berikan kau tiga potong, berterimakasihlah pada ibuku, dia memberikan lebih karena kemarin aku cerita kalau kau sangat menyukainya."

"Wah, benarkah? Bisa kurasakan air liurku mulai mengalir di lidahku, aku tidak sabar untuk mencicipinya. Thank's ya, kamu pengertian sekali. Bilang pada ibumu kalau dia dapat salam sayang dariku," celotehku dengan mata berbinar.

"Jika kau bisa memberikanku kopi Italia yang bungkusannya warna merah itu, aku akan memberikanmu empat potong, bagaimana?" Janice mengangkat alisnya mencoba memberi penawaran padaku.

"Woah! It's not that easy. Aku rasa bisa, tapi mungkin minggu depan baru bisa ku kumpulkan. Kamu tahu sendiri kan kopi itu hanya dinikmati beberapa pelanggan yang seleranya americano import."

"Tak masalah, yang penting aku dan ibuku bisa menikmatinya minggu depan," ujar Janice dengan penuh ekspresi kegembiraan.

"Oke kalau begitu, deal!"

Kami bersalaman layaknya dua orang yang baru selesai menandatangani kontrak besar.

Saat jam makan siang, suasana kafe Genuine berubah menjadi sangat ramai. Banyak rombongan pelanggan yang menghabiskan waktu istirahatnya di sini. Satu persatu pesanan masuk silih berganti. Aku kelimpungan melayani orderan sembari harus mengontrol pergerakan para karyawan.

"Hey, mana kopiku? Sudah hampir lima belas menit aku menunggu!" ujar seorang lelaki yang duduk di meja nomor enam. Raut wajahnya terlihat kesal.

"Maaf pak, tadi pesanannya apa ya kalau boleh tahu?" tanyaku.

"Tadi aku memesan iced americano tanpa gula. Tapi kenapa lama sekali? Padahal pelanggan yang datang setelah aku sudah dari tadi menikmati kopinya."

"Sebentar ya saya cek terlebih dahulu."

Kuhampiri meja bar dengan tergesa-gesa. Aku mengecek semua kertas orderan yang sebelumnya masuk. Kubaca satu persatu agar tidak ada yang ku lewati.

"Wah, ternyata ada yang salah mengantarkan orderan. Harusnya meja enam yang menerima pesanannya duluan baru meja delapan. Siapa yang mengantarkan pesanan meja lima ke meja delapan?" seruku bertanya kepada beberapa pelayan yang standby di depan meja bar.

"Maaf, Syd. Tadi aku yang mengantarkannya. Aku bingung karena ibu-ibu yang ada di meja delapan itu langsung memintaku untuk memberikan iced americano yang tadinya hendak ku bawa ke meja lima. Dia memaksa, katanya dia sudah sangat kehausan, aku takut nanti dia mengataiku tidak sopan, jadi kuberikan saja," jawab Tony dengan terbata dari balik meja karena merasa bersalah.

"Oh, Tony. Kenapa tidak langsung memberitahu kami?"

"Maaf, aku lupa karena aku harus mengantarkan beberapa pesanan ke meja lainnya. Maafkan aku, Syd."

"Ya sudah. Tidak apa-apa. Lain kali kalau terjadi lagi hal seperti ini, kamu harus langsung memberitahukannya pada barista lain agar pesanannya bisa langsung diganti, okay?" kataku, "kembalilah bekerja, wajahmu jelek sekali seperti itu. Ayolah, smile! Para tamu bisa lari satu-persatu jika kau terus memasang wajah seperti itu," tuturku kepada Tony mencoba menghilangkan rasa bersalahnya dengan meniru raut wajahnya.

"Ini bawalah, tamunya sudah menunggu," tutur Andrew.

Tony tersenyum sambil memegang nampan dan meraih gelas iced americano untuk dibawa ke meja lima.

Waktu menunjukkan sudah pukul 1.15 siang. Pak Daniel belum juga kembali, sementara perutku sudah keroncongan menahan lapar.

"Bro, apakah kamu bisa menggantikanku sebentar? Aku sudah sangat kelaparan dan ini menyiksaku," ujarku kepada Andrew yang sedang berceloteh di dapur dengan staf lainnya.

"Tenang saja, kau bisa mengandalkanku. Lagipula sebagian orderan sudah selesai. Biar aku yang tangani ini. Pergilah! Jangan sampai kau mati kelaparan di sini. Aku tidak mau menjadi saksi mata!"

"Oh, thank God! Kau memang paling mengerti, dude," ujarku kemudian bergaya selebrasi seperti pemain bola yang melemparkan ciuman kepada penggemarnya.

Kupijakkan kakiku menuju ruang loker di samping dapur dan mengambil ransel kecilku kemudian berlalu ke pintu belakang kafe. Aku berjalan menuju ke arah balkon kecil tempat biasa aku beristirahat siang. Jaraknya kurang lebih sekitar dua puluh meter dari pintu belakang kafe. Tempat ini memang sangat cocok untuk bersantai dari penatnya aktivitas kerja yang kadang sangat memusingkan kepala.

Kurebahkan tubuhku bersandar di bangku panjang kayu yang sengaja ditempatkan di situ. Dari atas sini aku bisa melihat pemandangan kota yang sangat indah ditemani angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah kusam yang sedari pagi berhadapan dengan uap mesin steamer susu. Kuraih botol air mineral dan roti isi yang diberikan Janice.

"Sungguh ini enak sekali!" celotehku sambil melahap roti isi tadi dengan cepat seperti orang yang tidak makan selama berhari-hari.

Kunikmati setiap gigitan sampai tidak ada yang tersisa. Setelah menghabiskan makan siangku, kunyalakan sebatang rokok sebagai hidangan penutup. Di sana aku hanya duduk sendiri sambil menikmati pemandangan langit Sunny Shore yang sangat cerah. Tiba-tiba saja aku teringat kejadian beberapa hari yang lalu yang masih di luar nalarku itu, aku masih berpikir keras bagaimana bisa aku tidur dengan sahabatku sendiri.

"Sydney?"

Seketika aku tersadar dari lamunanku karena ada suara seseorang memanggil namaku. Entah mengapa aku seperti mengenali suara itu. Itu terdengar sudah sangat familiar di telinga. Dia berdiri menghalangi cahaya matahari sehingga wajahnya tampak samar-samar. Aku masih mencari tahu siapa orang ini karena pandangan mataku memang sedikit tidak bagus jika tidak memakai kacamata. Kuraih kacamata dari dalam tas dan langsung mengenakannya.

"A-Abby? Abigail?" ucapku terbata. "Ini benar kau?" Seperti melihat hantu di siang bolong, aku tercengang setengah mati melihat sosok gadis menawan dengan rambut hitam panjang terurai di sudut bahunya.

"Ya, Tuhan! Apa aku bermimpi?" seruku sembari melepaskan kacamataku dan menggosok-gosok mataku berulang-ulang memastikan apa yang baru saja ku lihat sekarang.

"Kau tidak bermimpi, Syd," ujar Abby sembari duduk di sampingku. "Ini aku, Abigail."

Dengan cepat kuraih tubuh mungil gadis itu dan kupeluk dengan erat. Dia pun menyambut pelukanku sambil mengusap-ngusap lembut kepalaku seperti yang biasa dia lakukan. Sudah sangat lama aku tidak merasakan sentuhan dengan rasa seperti ini. Rasa yang dulu sangat menenangkan yang membuatku candu.

"Sedang apa kau di sini? Ku pikir kau di New York?" tanyaku sambil melepaskan pelukanku.

"Buat apa aku berlama-lama di sana? Aku lebih nyaman di sini, di tempat kelahiranku sendiri," jawab Abby dengan senyuman manis di bibirnya. Matanya selalu menyipit saat dia tersenyum lebar seperti ini, membuat orang yang melihatnya merasa tenang dan damai seakan bisa merasakan kebahagian yang dia rasakan.

Senyuman itulah yang pernah membuatku jatuh cinta tiga belas tahun silam. Dia adalah Abigail Godfrey, mantan pacarku semasa di SMA, cinta pertamaku, ciuman pertamaku. Dia masih seperti dulu, tidak ada yang berubah, senyumnya yang khas selalu menghiasi paras cantik campuran asia-amerika yang bisa dibilang hampir sempurna untuk ukuran seorang wanita.

"Aku sudah mengamatimu dari jauh, tapi aku masih ragu kalau itu benar kau. Jadi aku memberanikan diri untuk menyapamu lebih dekat," cakapnya sembari duduk dekat di sampingku. Sangat dekat sampai aku bisa mencium wangi parfum kesukaannya yang beraroma khas sandalwood dan bergamot bercampur dengan aroma tubuhnya. Wangi ini terasa menusuk sampai ke jaringan otakku dan membuatku terbawa ke ingatan-ingatan masa lalu. 

"Tidak pernah sekalipun terlintas di benakku akan bertemu lagi denganmu di sini. Kupikir kau sudah menikah dan bahagia di New York," kataku.

Abby memikirkan pernyataanku sejenak, terdiam dan kembali tersenyum. Dirinya berkata, "kebetulan aku sedang bersama suami dan anakku. Mereka sedang menungguku di bawah.

"Wah, selamat ya! Tidak ku sangka sekarang kau sudah menjadi seorang ibu. Aku penasaran dengan wajah anakmu, pasti dia memiliki senyum yang akan memikat hati setiap orang."

Abby menyusurkan tangan kirinya di rambutnya yang tergerai. Jari-jemarinya yang lentik terlihat begitu menawan saat bersentuhan dengan rambut hitamnya yang panjang. Seketika tawanya pecah. Aku yang merasa heran hanya bisa megeryitkan dahi karena menyaksikan tingkah anehnya.

"Jadi menurutmu aku sudah cocok menjadi seorang ibu?" katanya sambil menatap tajam kedua bola mataku yang ditutupi kacamata.

"Ya, tentu saja. Bahkan untuk ukuran seorang ibu, kau masih terlihat lajang." ucapku.

Tawanya berlanjut. Kali ini makin menjadi.

"Kau ini kenapa? Apa ada yang salah?" tanyaku.

Abby berusaha menghentikan tawanya. Dia berusaha untuk tenang seraya membasahi bibirnya.

"Dasar kau ini! Begitu mudahnya kau percaya dengan semua omonganku. Aku sama sekali belum berpikir untuk menikah, apalagi punya anak." Dia meralat ucapannya.

"Jadi maksudmu?"

Dengan wajah yang memerah karena tertawa, Abby meraih pipiku dengan kedua tangannya. Ia berkata, "aku hanya bercanda, Sydney," ujarnya, "sudah bertahun-tahun tapi keluguanmu tidak pernah berubah," kata Abby.

"Dasar kau. Bisa-bisanya juga aku langsung percaya."

Abby memalingkan wajahnya dan tersenyum. Dia menghisap dalam-dalam rokok yang ada di tengah dua jarinya yang lentik itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status