Share

Bab 4: Kenyataan Mengejutkan

Isabella tiba di rumah sakit dan bergegas berlari menuju ruang emergency. Ketika pintu terbuka, ia melihat ibunya terbaring di tempat tidur dengan selang infus yang tersambung di tangannya.

“Ibu!” Panggil Isabella dengan suara cemas, ia melihat Emilia sudah siuman meski masih terlihat sangat lemah. Seorang dokter berada di samping brankar, sedang memantau kondisi Emilia.

Isabella panik dan buru-buru mendekati ibunya, “Ibu, apa yang terjadi? Kenapa kau bisa sampai pingsan?” Belum sempat Emilia menjawab, Isabella lebih dulu menoleh pada dokter laki-laki yang baru saja memeriksa ibunya. “Apa yang terjadi pada ibu saya?”

Dokter itu tersenyum ramah, “Jangan khawatir, ibumu hanya terlalu lelah dan stres. Dia hanya butuh istirahat.”

Isabella merasa lega mendengar jawaban dari dokter, meski hatinya tetap gelisah. Pasti masalah kehilangan rumah sewa membuat ibunya merasa tertekan. Isabella mencoba menenangkan Emilia, “Ibu, apa benar kau memang terlalu stres memikirkan masalah rumah sewa?”

Emilia menggeleng lemah, “Bagaimana bisa ibu tidak stres, jika kita tidak memiliki tempat tinggal lagi, Bella?” gumam Emilia terlihat sangat putus asa. Isabella meraih tangan Emilia, menggenggamnya dengan erat. “Ibu, jangan khawatir. Aku sudah punya uang, dan kita akan menyewa rumah baru yang bahkan lebih bagus dari sebelumnya.”

Emilia tersenyum bahagia, meski masih penasaran. “Benarkah? Tapi dari mana kau dapat uang? Kau tidak bekerja sekarang.”

Isabella terpaksa berbohong, “Aku mendapat uang muka dari novelku yang akan segera terbit. Jadi, kita bisa hidup lebih baik lagi, Ibu.”

Emilia terlihat senang mendengar kabar tersebut. “Kau memang luar biasa, Sayang! Aku tahu pasti sukses, dan kelak kau pasti akan jadi penulis terkenal.”

“Pasti, Ibu. Dengan dukunganmu, aku pasti bisa sukses suatu saat nanti.” Isabella tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kebohongannya demi kebahagiaan ibunya. Meski hatinya penuh dengan rasa bersalah, ia berjanji dalam hati untuk segera mencari solusi yang lebih baik untuk keadaan mereka.

***

Isabella tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Begitu ibunya diperbolehkan pulang dari rumah sakit, dia segera mencari informasi tentang rumah yang dapat mereka sewa dari internet. Setelah beberapa pencarian, ia menemukan rumah yang terlihat cukup nyaman dan harganya sesuai dengan uang yang ada di dompetnya.

Meskipun merasa terhina karena menggunakan uang dari Nathaniel, ia harus mengakui bahwa saat ini sangat membutuhkan uang tersebut. Setelah menyelesaikan administrasi dan membayar uang sewa, Isabella dan Emilia akhirnya menuju rumah baru mereka. Meski tidak terlalu besar, rumah itu terasa hangat dan nyaman bagi keduanya.

Emilia menatap sekeliling ruangan rumah baru mereka dengan wajah penuh syukur. “Bella, meski rumah ini tidak besar, tapi rumah ini sangat nyaman. Ibu menyukainya.”

Isabella tersenyum, mencoba memberikan semangat pada ibunya, “Aku juga menyukainya, Ibu. Sepertinya kita harus menyewa rumah ini lebih lama."

Mereka berdua berusaha melupakan peristiwa buruk yang baru saja terjadi dan fokus untuk memulai kehidupan baru di rumah yang mereka sebut sebagai rumah baru.

Selama sebulan, Isabella bekerja keras dengan segala cara untuk bisa membayar kembali uang yang pernah diterimanya dari Nathaniel. Dia menjalani berbagai pekerjaan sambilan, mulai dari menjadi kasir di toko ritel, menyediakan jasa ghostwriter untuk beberapa klien, hingga menjadi kurir paket. Meskipun sangat lelah, Isabella merasa lega karena berhasil mengumpulkan uang yang dibutuhkan.

Dan pagi ini—dengan hati berbunga-bunga karena keberhasilannya, Isabella memutuskan untuk mengunjungi kantor penerbitan tempat Nathaniel bekerja. Ia berharap bisa langsung membayar utangnya dan merasa lega.

Namun, resepsionis di kantor penerbitan memberitahu Isabella bahwa Nathaniel tidak lagi bekerja di sana. Isabella kaget mendengar berita tersebut. Saat itulah, seorang editor wanita mendekatinya.

“Maaf, apakah kau mencari Nathaniel?” tanya editor wanita itu.

Isabella mengangguk, “Ya, aku ada perlu dengannya.”

Editor wanita tersebut mengulurkan tangannya untuk mengajak Isabella bersalaman. “Aku Anna, teman sekaligus rekan kerja Nathaniel.”

Isabella menyambut uluran tangan itu. “Isabella Rossi.”

“Maaf, Isabella. Tapi Nathaniel sudah tidak bekerja di sini, dia sudah dipecat.”

Isabella kaget, “Dipecat? Kapan itu terjadi?”

“Sudah sebulan yang lalu. Nathaniel dan Kepala Editor bertengkar hebat. Hal itu terjadi karena Nathaniel terus membelamu dan mengatakan jika karyamu bukan plagiat.”

Isabella merasa campur aduk, niatnya membayar utang pada Nathaniel jadi lebih rumit karena lelaki itu telah kehilangan pekerjaannya— dan secara tidak langsung dirinya adalah penyebabnya. Isabella merasa dadanya menyesak akibat rasa bersalah; bukan hanya karena Nathaniel kehilangan pekerjaan, tapi juga karena sikapnya pada pria itu sebelumnya.

“Kenapa dia membelaku sampai seperti itu?” Isabella masih tak habis pikir, mereka bahkan hanya sebatas kenal saat di universitas dulu.

Anna menjelaskan, “Nathaniel mengatakan jika saat kuliah dulu pernah tergabung dengan komunitas literasi yang sama denganmu, saat itu dia sering membaca tulisanmu hingga hapal dengan gaya tulisanmu. Dia merasa kewajibannya untuk membelamu. Meskipun ini mengakibatkan dia kehilangan pekerjaannya, dia tak peduli.”

Isabella merenung sejenak, masih tidak percaya dengan tindakan Nathaniel. Apa karena lelaki itu terlahir dari keluarga kaya? Hingga dipecat dari pekerjaan sebagai editor bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan? Sepertinya memang demikian. Namun tetap saja Isabella merasa bersalah pada pria itu. Sebelumnya— karena beban pikirannya akibat kasus plagiat dan pengkhianatan Henrik dan Elise, Isabella juga melampiaskannya pada Nathaniel. Ia selalu menyalahkan dan marah pada Nathaniel yang sebenarnya tidak bersalah, kini ia sadar jika itu tidak adil. Isabella merasa semakin bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang dia ciptakan.

“Anna, bisakah aku mendapatkan nomor telepon Nathaniel?” tanya Isabella dengan rasa harap.

Anna merenung sejenak sebelum menjawab, “Aku punya nomor Nathaniel, tapi sepertinya dia sudah menggantinya. Aku mencoba menghubunginya beberapa kali, tapi nomornya sudah tidak aktif. Mungkin dia ingin menjaga jarak.”

Isabella kecewa, tapi dia tidak putus asa. “Mungkin kau punya alamatnya?”

Anna menggeleng, “Maaf, Isabella. Aku tidak tahu alamat tempat tinggalnya. Dia sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya.”

Isabella menghela napas berat, mencoba memikirkan opsi lain. Meskipun nomor telepon tidak aktif dan alamat tidak diketahui, dia harus menemukan cara untuk menyampaikan permintaan maafnya kepada Nathaniel.

“Haruskah aku ke rumah orangtuanya?” gumam Isabella, meski sebenarnya ia menyadari bahwa orangtua Nathaniel adalah selebriti senior yang terkenal, dan hal itu bisa menyulitkannya.

“Kurasa akan percuma jika kau nekad mencari Nathaniel melalui orangtuanya. Karena hubungan Nathaniel dengan orangtuanya memang tidak baik. Dari yang aku dengar, Nathaniel bahkan sejak remaja sudah menolak menerima bantuan atau dukungan dari orangtuanya. Dia lebih memilih untuk hidup bersama pamannya yang hidupnya sederhana.”

Isabella terheran-heran. “Mengapa dia melakukan itu? Apa yang terjadi antara Nathaniel dan orangtuanya?”

Anna hanya mengangkat bahu, “Dia sangat tertutup. Aku hanya tahu sedikit informasi itu dari gosip yang terdengar di kantor. Dia seperti ingin menjaga jarak dari keluarganya.”

Isabella terdiam, merenungi kata-kata Anna yang membahas soal hubungan Nathaniel dengan keluarganya. Ucapan tersebut membuka mata Isabella tentang perjalanan hidup Nathaniel yang begitu rumit dan sarat dengan konflik keluarga.

Saat itu, Isabella menyadari bahwa ucapan dan tindakannya sebelumnya telah melukai Nathaniel lebih dalam dari yang dia bayangkan. Ketidakmengertian Isabella terhadap latar belakang dan pertentangan yang dialami oleh Nathaniel membuatnya semakin menyesal.

“Kenapa aku begitu bodoh?” gumam Isabella pada dirinya sendiri.

Isabella melangkah gontai di lobi kantor penerbitan, hatinya berkecamuk dipenuhi penyesalan. Tidak tahu harus berbuat apa, dia berharap masih ada kesempatan untuk bertemu Nathaniel lagi. Jika Tuhan memberinya kesempatan, dia bersumpah akan memperbaiki segalanya dan tidak akan menyakiti pria itu lagi.

Saat berjalan tanpa arah yang pasti, Isabella berhenti sejenak dan menghela napas panjang. Dia memandang langit-langit kantor dengan wajah penuh pertanyaan. Saat Isabella baru mulai melangkah lagi, Isabella tanpa sengaja menabrak seorang karyawan yang membawa banyak barang, membuat barang-barang itu berjatuhan.

Isabella kaget. “Maaf, aku tidak sengaja.” Ia segera membantu karyawan tersebut memungut barang-barang yang tercecer.

Di antara barang-barang itu, Isabella melihat satu benda yang membuat hatinya berdegup kencang—sample novel “The Terrifying Silence by Elise Dubois.” Melihat buku tersebut membuat Isabella merasa kesal dan marah, tapi dia tak bisa melakukan apa-apa.

Ingatan tentang tawaran Nathaniel untuk membuktikan keaslian naskahnya muncul lagi. Isabella menyesali keputusannya yang sombong dan mengabaikan bantuan tulus dari Nathaniel. Isabella berusaha menenangkan diri, dia tahu ini bukan saatnya untuk memendam amarah. Dia perlu menyelesaikan masalah dengan Nathaniel terlebih dahulu. Isabella melangkah pergi dari situ, berusaha menenangkan diri dan memikirkan langkah selanjutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status