Share

Bab 3. Tak Butuh Belas Kasihan

Isabella masih dikuasai oleh amarah, tanpa ampun menampar wajah Elise lagi. Tamparan itu begitu keras, membuat Elise tersungkur di lantai. Henrik makin bingung dengan situasi ini, ia segera menghampiri Elise dan berdiri di depannya. Ia menatap Isabella dengan tegas, menghadangnya yang hendak memukul Elise lagi. “Isabella, sudah cukup. Ini tidak akan menyelesaikan apa pun.”

“Kau juga brengsek, Henrik. Berani sekali kalian berdua mempermainkanku,” umpat Isabella.

Henrik mencoba menenangkan Isabella dengan memegangi lengannya. “Isabella, aku tahu aku bersalah. Aku juga terlibat dalam semua ini.”

Isabella melepaskan diri dari cengkraman Henrik, “Jika kau memang suka pada Elise sejak dulu, harusnya kau berpacaran dengannya. Jangan melibatkan diriku dalam kebohongan kalian.”

Henrik mengerti bahwa situasinya semakin rumit, mencoba menarik Isabella ke tempat yang lebih tenang. “Kita perlu bicara berdua.”

Isabella meskipun masih penuh amarah, akhirnya mengikuti Henrik ke tempat lain. Meninggalkan Elise yang terkulai di lantai dengan wajah merah bekas tamparan, namun tersenyum penuh kemenangan. 

Henrik menuntun Isabella menuju ruang makan yang agak jauh dari kamar. Isabella masih penuh dengan kemarahan, memandang tajam ke arah Henrik. Tanpa ragu, ia menampar wajah Henrik dengan keras. Henrik menerima tamparan itu dengan ikhlas, ekspresinya mencerminkan penyesalan. “Aku tahu aku salah, Isabella. Aku minta maaf.”

Isabella memandangnya dengan mata penuh kemarahan. “Maaf? Apakah masalah ini akan selesai dengan maafmu?”

Henrik bisa mengerti kekecewaan yang dirasakan Isabella. “Aku tahu maaf tidak akan mengubah apa pun. Tapi, tolong, jangan perpanjang masalah ini lagi.”

Isabella menyahut, “Jangan perpanjang masalah, kau bilang? Kalian berdua menyembunyikan hubungan ini selama berapa lama? Jika saja kalian terbuka lebih awal, kita tidak akan sampai ke titik ini.”

Henrik mencoba menjelaskan, “Aku tidak tega mengatakannya padamu, Isabella. Aku takut kehilanganmu.”

Isabella tertawa pahit, “Kau pikir dengan menyembunyikan hal ini, kau tidak akan kehilangan aku? Henrik, kau sudah menghancurkan segalanya.”

Henrik mencoba mendekati Isabella, “Isabella, aku tahu tak ada kata maaf yang bisa memperbaiki segalanya. Tapi aku benar-benar menyesal. Aku tak ingin kehilanganmu sebagai teman.”

Isabella menatapnya dengan intens, “Jadi, kau ingin tetap menjadi temanku setelah semua ini?”

Henrik mengangguk, “Aku tahu itu sulit, tapi aku berharap kita bisa melewati ini. Kita bisa belajar dari kesalahan dan memulai ulang.”

Isabella menghela napas panjang. Hatinya masih terasa hancur, tapi dia tahu memperpanjang dendam tidak akan membawa kebaikan. “Baiklah, kita bisa selesai di sini. Tapi jangan pernah harap aku bisa memaafkan pengkhianatan ini.”

Henrik mengangguk, “Aku mengerti. Terima kasih, Isabella, meskipun aku tahu terima kasih tidak akan mengubah apa pun.”

Isabella tanpa berkata-kata, meraih gelas minuman yang berada di meja makan yang ada di dekatnya. Dengan gerakan tegas, dia mengguyurkan isinya ke wajah Henrik. Air dingin meluncur dari gelas dan menciptakan jejak basah di wajah pria itu. Henrik kaget, tetapi dia hanya bisa menerima tindakan itu tanpa perlawanan.

Isabella melihatnya dengan ekspresi dingin. “Aku tidak kehilangan teman dan kekasih, Henrik. Tuhan hanya membersihkan sampah dalam hidupku.”

Henrik mencoba menghapus air dari wajahnya, tetapi tatapannya tetap terpaku pada Isabella. “Isabella, aku tahu aku melakukan kesalahan besar. Aku menyesal.”

Isabella hanya tertawa pahit. “Maafmu tidak akan mengubah apa pun. Aku tahu sekarang siapa kalian sebenarnya.”

Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dari Henrik, Isabella pergi dari ruangan itu dengan langkah yang mantap. Airmata mengalir di wajahnya.

Isabella meninggalkan rumah Henrik dengan langkah yang berat. Hatinya hancur setelah semua yang telah terjadi. Ketika dia keluar dari gerbang, dia melihat barang-barang mereka sudah diturunkan dari mobil pengangkut. Pemandangan itu semakin menambah rasa sakit di dalam hatinya.

Dengan langkah-langkah gemetar, Isabella mendekati Emilia yang sedang memeriksa beberapa kotak barang di trotoar. Ia berusaha menahan emosinya, tidak ingin membuat ibunya khawatir.

“Ibu, sepertinya kita tidak bisa menitipkan barang-barang di sini,” ucap Isabella dengan suara yang bergetar.

Emilia, yang sebelumnya sibuk mengatur barang, mengangkat wajahnya yang penuh kekhawatiran. “Tidak bisa? Lalu kita harus kemana, Bella?”

Isabella mencoba tersenyum, meskipun hatinya hancur. “Aku akan mencari rumah sewa yang murah, Ibu.”

Emilia merasa ada yang tidak beres. “Bella, apa yang terjadi? Matamu terlihat sembab. Ada apa?”

Isabella mengusap pelan pipinya yang basah. “Tidak apa-apa, Ibu. Hanya sedikit lelah.”

Petugas pengangkut barang yang telah selesai menurunkan barang-barang mereka akhirnya mendekat pada Isabella. “Maaf, Nona. Tugas kami untuk mengantarkan barang sudah selesai. Bisakah anda membayar saya sekarang?”

Isabella membuka tasnya, mencari dompetnya untuk membayar, namun ia terkejut karena tidak menemukan dompet di dalam tasnya. “Kemana dompetku?” desisnya kebingungan. Di tengah kepanikannya saat mengaduk isi tasnya, tiba-tiba ponsel Isabella berdering. Ada panggilan masuk dari nomor kantor penerbitan. Awalnya Isabella berniat mengabaikan panggilan tersebut karena masih fokus mencari dompetnya, namun dering ponselnya terus berbunyi.

Isabella akhirnya menjawab telepon, dan suara resepsionis dari seberang memberikan kabar yang tak terduga. “Maaf, Isabella, dompetmu terjatuh di kantor. Kami menemukannya di ruang tunggu.”

Isabella merasa lega mengetahui keberadaan dompetnya, namun dia juga merasa malu pada petugas yang menunggu pembayaran.

“Maaf, saya harus ke kantor sebentar untuk mengambil dompet. Saya akan segera kembali,” ucap Isabella sambil memberikan penjelasan pada petugas yang mulai tampak agak kesal.

“Saya minta maaf sekali, ini karena kelalaian saya, tapi bisakah kau menaikkan barang-barang saya ke dalam mobil?” tanya Isabella.

“Barangnya harus dibawa kemana lagi, Nona?” tanya petugas pengangkut meski dengan wajah kesal. Isabella bingung, jelas dia tidak memiliki tujuan. Namun Isabella berusaha menjaga ketenangan di tengah kekacauan ini, “Bawa saja ke taman kota dulu. Nanti saya menyusul setelah mengambil dompet saya yang tertinggal di kantor penerbitan.”

Emilia dan petugas pengangkut barang tampak agak bingung, tetapi mereka mengikuti instruksi Isabella. Sementara barang-barang mereka kembali dimuat ke dalam mobil, Isabella bergegas pergi menuju kantor penerbitan setelah menyetop mobil taksi yang melintas.

Beberapa saat kemudian, taksi yang ditumpangi Isabella tiba di depan kantor. Ia meminta sopir untuk menunggu sebentar, kemudian dengan langkah tergesa-gesa, Isabella masuk ke dalam kantor penerbitan. Perasaannya masih campur aduk, terguncang dengan peristiwa di rumah Henrik.

Nathaniel sudah menunggu di dalam kantor. Begitu melihat Isabella, ia mendekat dan segera mengembalikan dompet yang terjatuh tadi. “Ini dompetmu, Isabella. Aku menemukannya di lantai ruang tunggu.”

Isabella menerima dompetnya dengan pandangan yang masih kabur. Ketika membukanya untuk memastikan isinya, ia terkejut melihat sejumlah uang yang seharusnya tidak ada di dalamnya. Matanya membulat, “Ini bukan uangku. Ada apa ini, Nate?”

Nathaniel tersenyum dan menjawab, “Aku mendengar percakapanmu di telepon tadi. Aku tahu situasimu, Isabella. Gunakan uang ini untuk membayar sewa rumah.”

Isabella merasa terhina, padahal sebenarnya ia hanya ingin menjaga privasinya. “Bagaimana kau bisa tahu masalah pribadiku, Nate? Ini tidak pantas!”

Nathaniel mencoba menjelaskan, “Maaf, Isabella. Aku tidak bermaksud ikut campur, tapi aku mendengar secara tidak sengaja. Aku hanya ingin membantu.”

Isabella yang masih terguncang dan stres oleh kejadian sebelumnya, merasa semakin terpuruk. “Aku tidak butuh bantuanmu, Nate. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri.”

Nathaniel mencoba meyakinkan, “Isabella, aku hanya ingin membantu. Aku tahu situasimu sulit sekarang.”

Isabella menatap Nathaniel dengan tatapan tajam, “Kau lahir dengan segalanya, keluargamu terkenal dan kaya raya. Tapi itu bukan berarti kau berhak ikut campur masalahku. Aku tidak butuh belas kasihan dari seseorang sepertimu, yang hidupnya selalu terjaga oleh kemewahan.”

Nathaniel tersinggung oleh komentar Isabella. “Kau tahu apa? Aku mencoba membantu, tapi niat baikku selalu kau salahartikan. Aku tidak pernah berpikir bahwa kehidupanku akan jadi alasan bagimu untuk merendahkan diriku.”

Isabella memotongnya dengan nada tegas, “Sudah kubilang, aku tidak butuh bantuanmu!”

Nathaniel terlihat sangat marah hingga wajahnya memerah. Isabella tidak peduli, dia hanya tidak ingin diremehkan oleh siapa pun.

Ponsel Isabella berdering dengan keras, menyadarkannya dari pergulatan emosinya dengan Nathaniel. Ia menjawab dengan cepat, dan suara petugas pengangkut barang terdengar di seberang sana.

“Nona!” ucap petugas dengan nada khawatir. “Ibu Anda pingsan, sekarang kami dalam perjalanan ke rumah sakit.”

Isabella kaget dan seketika perasaannya makin kacau. “Apa? Bagaimana bisa?”

Petugas memberikan penjelasan singkat bahwa Emilia tiba-tiba pingsan ketika mereka sedang menunggu di taman kota. Mereka segera membawanya ke rumah sakit terdekat.

Isabella merasa dunianya kembali runtuh. Di tengah kebingungan, dia menatap Nathaniel dan menahan gengsinya. “Aku akan memakai uangmu, tapi aku ingin kau tahu, ini hanya pinjaman. Aku akan mengembalikannya secepatnya.”

Nathaniel yang sudah marah sebelumnya, menjawab dengan sinis, “Aku tidak peduli. Aku hanya berharap kita tidak pernah bertemu lagi. Jika kita sampai bertemu lagi, kau akan menyesal telah menyusahkan hidupku.”

Nathaniel pergi setelah mengatakan itu, menyisakan tanda tanya di kepala Isabella. “Menyusahkan? Apa maksudnya? Bukankah dia sendiri yang menawarkan pinjaman?”

Isabella tak punya waktu untuk memikirkan ucapan Nathaniel lebih lanjut, dia harus buru-buru ke rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status