Share

Bab 4. Meremehkan

Pandangan Milly terlihat kosong saat dia menjalankan tugas yang seakan menjadi tugas utamanya, foto copy semua berkas yang dibutuhkan oleh Zayn dan timnya. Well, bukan hanya itu saja sebenarnya. Sekali waktu, Milly juga harus mengurus tentang legalisasi dan perijinan lainnya.

Tidak menjadi masalah sebenarnya. Hanya saja, Milly seakan-akan tidak diperbolehkan untuk berhubungan dengan klien ataupun kasus secara langsung. Dalam waktu satu atau dua minggu dia masih maklum, tapi dia sudah hampir dua bulan di sini, dan masih belum ada tanda-tanda dia naik pangkat pada pekerjaannya.

Helaan napas terdengar lagi darinya. Berkas foto copy-an yang nanti akan dibagikan saat meeting kasus terbaru yang sedang ditangani oleh Zayn dan tim terlihat menumpuk di sudut meja, dekat Milly berdiri.

“Kau belum selesai juga?” tanya Jeremiah, rekan pengacara lain yang bertugas untuk urusan perceraian dan kasus rumah tangga lainnya. Beberapa tumpuk kertas telah berada di dekapannya.

“Masih ada beberapa lagi yang harus dicopy. Kau sudah selesai?” tanya Milly balik.

Jeremiah mengangguk sambil menunjukkan lembaran kertasnya. “Aku harus pergi dulu. Ada sidang siang ini. Semangat, Milly!” ucapnya sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan ruangan.

Milly mendesah panjang. Bayangannya tentang persidangan semakin membuatnya kesal. Alih-alih sibuk untuk menyiapkan sidang dan membela kasus, saat ini dia justru masih bergulat dengan bahan untuk meeting.

Bip bip bip, alarm dari mesin foto copy berbunyi, disertai dengan kedip merah di lampu indikator. Ah sial, kertas pun ikut habis saat dia harus buru-buru mengerjakannya.

Milly membuka gudang penyimpanan yang masih berada pada satu ruangan tempat dia melakukan tugas negaranya. Tumpukan kertas baru dan peralatan ATK lainnya tampak tersusun rapi di rak yang hampir memenuhi ruangan. Tangan Milly meraih satu kotak kertas berukuran A4 yang berada di rak atas. Kakinya berjinjit karena posisi rak tempat penyimpanan kertas itu lebih tinggi dari kepalanya.

“Siapa yang menaruh kertas di rak paling atas? Menyusahkan saja!” gerutunya.

Tangannya berhasil menggapai kotak kertas itu. Namun sial, kakinya yang bertumpu di atas high heels tidak menapak sempurna saat Milly harus menahan beban dari kota kertas itu. Akhirnya, dia terjatuh dengan kotak kertas yang menimpa kepalanya.

“Aduh!” pekiknya.

Matanya melirik kotak yang telah terbuka. Dua pack kertas yang masih tersegel terlihat menyembul dari dalam. Belum lagi beberapa barang lain yang ikut terjatuh dari rak saat tubuhnya tidak sengaja menyenggol saat terjatuh “Siapa pun yang menaruh kotak kertas di rak itu, dia pasti berniat untuk membunuh seseorang!” erangnya, sambil membereskan kerusuhan yang baru saja dia lakukan.

Kepala Milly masih terasa pening saat dia kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. Saat dia meraba kepalanya, seperti ada benjolan kecil di bagian yang terhantam kotak. “Aku akan meminta kompensasi kalau sampai gegar otak,” sungutnya lagi.

Lagi-lagi Milly mendesah kesal. Sudut matanya melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Lima belas menit lagi sebelum meeting berlangsung. Dia harus segera menyelesaikan ini dan menatanya di ruang meeting sebelum Zayn dan tim masuk ke ruangan.

“Hei, kau butuh bantuan?” Rey tiba-tiba melongok di pintu, kemudian berjalan menghampiri Milly.

“Sudah selesai. Tinggal merapikan dan menatanya di ruang meeting.”

Rey mengambil lembaran berkas yang telah selesai dirapikan oleh Milly. “Aku bantu bawa yang ini, ya. Sampai bertemu di ruang meeting,” ucapnya sebelum berlalu.

Milly menghela napas. “Sampai kapan aku melakukan pekerjaan ini?”

***

Seusai meeting, Milly berpikir keras di ruangannya. Dia merasa pembagian tugas ini tidak adil. Bahkan, tadi saat meeting dia tidak diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya. Tatapan Zayn juga masih dingin padanya.

Padahal dia sudah berusaha untuk menerapkan saran dari Rey untuk tidak peduli, tapi tetap saja rasanya ada yang mengganjal. Dia tidak bisa terus-terusan berada dalam hubungan pekerjaan yang seperti ini.

Pada akhirnya, Milly memantapkan hatinya untuk menemui Zayn guna membicarakan masalah ini. Ah tidak, urusan perasaannya bisa dibicarakan lain hari. Hal terpenting yang harus dia tanyakan adalah tentang job desk pekerjaannya. Milly benar-benar tidak rela jika dia tidak diperbolehkan berhubungan langsung dengan kasus dari klien.

Langkah Milly terhenti di sebelah ruangan Zayn. Mendadak, kemantapan hatinya yang tadi sudah bulat menjadi memudar. Berkali-kali dia menelan ludahnya dan menghela napas panjang. Bayangan raut wajah Zayn yang terlalu menyeramkan baginya menjadi penyebab utama menyusutnya keberaniannya.

Ayo, Milly! Ini demi masa depanmu!

“Ada perlu apa?” Zayn mengawali percakapan mereka dengan sinis saat Milly masuk ke ruangan seusai mengetuk pintu.

Nyali Milly sedikit menciut, tapi dia berhasil menguasainya. Matanya yang berwarna amber terarah pasti pada Zayn, dengan kedua telapak tangannya yang saling bertaut. Langkahnya cepat menuju ke depan meja kerja Zayn.

“Ada hal yang ingin aku diskusikan denganmu,” ucap Milly tegas.

Zayn menoleh, sambil memicingkan kedua matanya. “Hal apa? Cepat katakan, aku sibuk!”

Dada Milly bergemuruh, tapi dia berusaha menahan semua egonya demi kemajuan karirnya. “Mengenai job desk yang kuterima—”

“Sudah jelas, bukan? Kau membantu semua hal yang berkaitan dengan jalannya kerja tim. Apa lagi yang mau kau diskusikan?” ucapan tajam Zayn berhasil mengiris sedikit demi sedikit kesabarannya.

“Tentang itu … memang sudah jelas. Tapi, sampai kapan aku hanya bertanggung jawab atas semua hal yang berkaitan dengan berkas?”

Zayn menatap tidak suka pada Milly. Sejak pertama kali mereka bertemu, perasaannya tetap tidak berubah. Semua hal yang dilakukan gadis itu tetap terlihat salah di matanya.

“Jangan banyak protes, dan lakukan tugasmu dengan benar. Sekarang, keluarlah dari ruanganku.”

Milly menggigit bibir bawahnya, dia tidak rela kalau harus pergi begitu saja. Keinginannya belum tersampaikan dengan benar. Zayn terus memotong kalimatnya dengan dingin.

“Kau tidak dengar?” Zayn menjentikkan jarinya di depan wajah Milly.

Milly mengerjap, kemudian menghela napas sekali. Tangannya yag tersembunyi di balik meja mengepal kencang. “Aku dengar, tapi masih ada satu hal yang ingin kutanyakan lagi.”

Zayn mendengkus sebelum meletakkan berkas perkara yang dari tadi dia pegang ke atas meja. Pandangannya kembali terarah tajam pada Milly.

“Kapan aku bisa berurusan langsung dengan klien? Maksudku, kau adalah mentorku. Tapi selama ini aku belum mendapat pelatihan secara pribadi. Aku hanya menerima perintah untuk foto copy, legalisasi, dan urusan perijinan lainnya,” ucap Milly sebelum Zayn memotong perkataannya lagi.

“Itu semua juga bentuk pelatihan dariku. Kau harus mulai dari hal terkecil dulu. Jika hal terkecil saja tidak bisa kau lakukan, bagaimana bisa untuk menjalankan hal yang lebih besar?”

Jawaban Zayn tidak membuat Milly puas. “Tentu saja, kau benar soal hal kecil dan besar itu. Hanya saja, aku bertanya-tanya, kapan aku bisa menjalankan peranku sebagai pengacara di sini?”

Zayn tersenyum sinis sambil memandang remeh pada Milly. “Kurasa, kau tidak cocok menjadi pengacara.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status