Riana berjalan menghampiri Rama—suaminya yang masih asyik di ruang tengah membaca koran. Riana mendekat dan langsung duduk di samping Rama. Rama yang menyadari kehadiran Riana lantas melirik ke samping sebentar, lalu kembali pada korannya. “Pa,” panggil Riana antusias. Riana ingin memberi tahu sesuatu kepada suaminya, itulah mengapa ia datang dengan wajah berseri-seri. “Hhmmm...” Hanya itu yang keluar dari mulut Rama membuat Riana kesal. Wajahnya yang tadi berseri bahagia. Kini berubah menjadi murung dan menatap kesal suaminya. “Ish, Pa,” protes Riana seraya menepuk lengan Rama pelan. Rama menghentikan kegiatan baca membacanya seraya melipat koran dan meletakkannya di atas meja. Lantas menatap ke arah Riana yang menatapnya jengkel. “Menyebalkan sekali,” gumam Riana pelan. “Ada apa memangnya, sih? Kaya ada hal penting saja yang ingin kamu katakan,” kata Rama. “Ck, entahlah Pa. Tadinya, memang penting. Tapi sekarang sudahlah, malas aku.” Riana memutar tubuhnya duduk dengan membel
“Saya tidak akan turun sebelum Pak Azham mengatakan alas—““Kau mau aku gendong masuk ke dalam gedung itu, Melisa?” ancam Azham cepat memotong ucapan Melisa. Melisa membulatkan matanya seraya melirik Azham sebal. “Bisa berhenti mengancam, Pak?” dengus Melisa. “Bisa!” sahut Azham spontan. “Baguslah,” kata Melisa lega. “Kalau kau berhenti membantah dan mengikuti apa kataku,” ucap Azham sontak membuat Melisa spontan menolehkan kepalanya menghadap Azham. Melisa menarik nafas seraya menggigit bibir dalamnya menahan kekesalannya pada Azham suaminya. Andai saja ia bisa sedikit saja menonjol wajah datar milik Azham. Melisa akan melakukannya sekarang. Namun itu tidak akan pernah terjadi. Sebab, Melisa bisa pastikan kalau nilainya akan anjlok dan gagal wisuda. Sehingga, akan membuatnya mengulang tahun depan lagi. Sungguh, kekesalan di hati Melisa sangat membuncah. Akan tetapi, tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa.“Isssshh...” desis Melisa seraya membuka pintu mobil dengan agak sed
Zera sudah tidak malu mempertontonkan auratnya di depan teman masa kecilnya itu. Yang ia mau tahu, Azham segera menjadi miliknya. Zera tersenyum manis dan hendak berjalan menghampiri Azham. Akan tetapi, langkah terhenti saat melihat seseorang berdiri di belakang Azham seraya Azham menggenggam tangan orang itu dengan mesra. Orang itu memandang Zera dengan tatapan terkejut dan malu. Sementara, Zera pun merasakan hal yang sama. Untuk sesaat mereka saling terdiam. Dengan Zera yang merasakan sakit di hati hingga ulu hatinya. Manik mata Zera tidak berhenti mengarah kepada Melisa juga Azham secara bergantian. Sementara Azham memandang Zera dengan tatapan begitu tajam karena marah. Ia marah karena merasa Zera sangat tidak sopan memakai pakaian seperti saat ini, dan juga masuk ke dalam ruangan Azham tanpa seizin Azham. “Apa yang kamu lakukan di ruanganku, Zera?” Suara dingin Azham menyapu telinga Zera. Sehingga mampu membuat gadis itu membeku. Untuk sesaat, Zera terdiam tidak tahu harus me
“Mulai sekarang berhenti dan hentikan segala impianmu itu. Sebab, aku dan kamu tidak akan pernah bisa bersatu. Sebab, aku sudah....“Azham menghentikan kalimatnya. Nyatanya, ia juga tidak tega dan mampu menyakiti Zera sejauh itu. Karena ia tahu, bagaimana perasaan Zera kepadanya. Azham melirik Zera yang wajahnya sudah dibanjiri air mata. Lalu, menoleh ke belakang menatap Melisa. Melisa hanya menghela nafas kasar seraya menunduk. Ia tahu, Azham akan mengatakan apa. Ia takut, hal itu akan membuat gadis di depannya semakin terluka. Namun, mau bagaimana lagi. “Maafkan aku, Zera. Tetapi, hentikan harapanmu itu. Lagian, sudah pernah kukatakan bukan!? Aku hanya menganggapmu sebagai sahabat. Tidak lebih!” “Tetapi kenapa, Zham? Kenapa tidak bisa kau mengubah itu menjadi cinta kepada seorang wanita?” tanya Zera lirih. Azham menarik nafasnya panjang, lalu menggeleng. “Tidak bisa, Zer! Karena aku sudah ... Sudah menikah,” kata Azham berputus-putus. Mata Zera membulat, mulutnya terbuka sediki
Azham dan Melisa baru saja sampai di rumah mereka. Azham baru ingin membuka kunci rumahnya, tapi tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia lalu menyerahkan kunci itu pada Melisa dan memberi isyarat untuk Melisa membukanya. Karena dia ingin mengangkat telfon dari seseorang. Melisa pun, melakukan sesuai perintah suaminya. Sementara Azham mengangkat telfon. Melisa masuk setelah membuka kunci rumah dan langsung menuju kamarnya. Melisa berbaring dengan posisi telentang menghadap langit-langit kamar. Pikirannya melayang di kejadian beberapa menit yang lalu. Di mana, Zera dan Azham yang sedang berseteru. Melisa belum mengetahui permasalahan Zera dan Azham detailnya. Karena ia tidak berani bertanya pada Azham saat di mobil tadi. Sebab, sejak tadi Azham hanya diam dengan raut wajah dan suasana hati yang bisa Melisa pastikan sedang kacau-kacaunya. Ternyata, mencintai sendirian itu memang tidak pernah berakhir indah. Melisa mulai membatin. Entah, tengah memikirkan perihal Zera dan Azham atau tentang d
"Kamu yakin hal ini akan berhasil, Riana?" tanya Rama pada Riana.Fitri yang juga ada bersama mereka mengangguk. "Iya, Ri. Apa kamu yakin ini akan berhasil? Aku, kok, ngerasa nggak akan berhasil lagi, ya!?""Ck, kalian ini kenapa, sih? kalau nggak dicoba mana bisa tahu berhasil atau tidak? Makanya, kita coba dulu. Lagian, nggak ada salahnya mencoba, 'kan?" dengus Riana sebal. Fitri dan Rama berhenti berkomentar. Mereka berdua terdiam. Apalagi, melihat dan mendengar Riana yang sudah kesal dan marah. Mereka tak lagi berani mengeluarkan kalimat sedikit saja. "Memang kenapa, sih, kalian nggak yakin gitu sama rencana aku?" tanya Riana kemudian. Fitri dan Rama sontak saling bersitatap. Mereka tidak ingin mengatakan alasannya. Tetapi, bisa dipastikan alasan Fitri dan Rama hampir sama. Sederhana saja, alasan mereka tidak percaya pada Riana. Sebab, rencana pertama saja ia sudah gagal. Padahal, itu rencana yang paling diyakini Riana akan berhasil. Namun, kenyataannya tidak juga. Riana gagal
“Bagaimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Azham pada dokter perempuan yang bernama Fany. Dokter Fany adalah dokter keluarga Azham. Dokter Fany beranjak berdiri dari tepi ranjang setelah memeriksa keadaan Melisa yang masih belum sadar. Dokter Fany berjalan ke arah Azham yang di mana, Fitri, Riana dan Rama berdiri di dekat Azham menunggu hasil pemeriksaan Melisa. “Keadaan istrimu saat ini baik-baik saja. Tak ada yang serius, tapi saya sarankan untuk memeriksakannya di tempat ahlinya saja. Supaya bisa dipastikan,” jelas dokter Fany pada Azham dan semua yang ada di sana. “Pada ahlinya? Maksudnya?” tanya Azham bingung. “Ya, dokter terapis,” sahut Fany membuat semua orang kebingungan. “Dokter terapis? Maksudnya, psikiater?” tanya Fitri yang dijawab anggukan Fany. “Memang ada apa dengan anak saya?” “Dari pemeriksaan Melisa. Saya melihat, Melisa anak Anda pernah mengalami suatu kejadian yang membuatnya trauma dan traumanya itu disebut trauma Kronis. Di mana trauma ini sewaktu-waktu aka
Azham masuk ke dalam kamarnya dan melihat sang istri sudah terbangun dan sedang berbicara dengan Fitri ibu mertua Azham. Dari kejauhan, Azham dapat mendengar kalau Melisa tidak ingin ke Bali. Entah kenapa, Azham merasa kalau trauma yang dialami Melisa ada sangkut pautnya dengan Bali. Azham menyimpulkan itu saat ia mengingat Riana ibunya yang mengatakan kalau dia sudah membeli tike pesawat dan memesan hotel untuk mereka ke Bali. Di saat itu, Melisa mulai diam dan tak sadarkan diri. “Melisa, kamu tidak ingin bulan madu atau nggak mau ke Bali?” tanya Riana membuat Azham tersadar dari lamunannya dan sontak menatap ke arah Melisa yang menunduk terdiam tak mengatakan apa-apa. Azham dapat melihat Melisa sedang kebingungan harus menjawab apa. Azham menaikkan sebelah alisnya melihat Melisa saat ini. Fitri dan yang lain menunggu jawaban dari Melisa. Sementara Melisa masih diam seperti orang kebingungan.“Saya bukannya tidak mau, Ma. Tetapi, saya harus kuliah. Sementara kalau aku ke Bali bers