Plak!!“Mama!” Anya menjerit saat seseorang tiba-tiba saja menampar Sasmita. Mereka tengah memperhatikan sebuah kursi pijat hingga tak menyadari keberadaan Soraya yang mendekat.Suara lantang Anya menarik perhatian dua laki-laki yang juga berkeliling. Kamarudin dan Tanu langsung menghampiri keduanya. Setelah drama penarikan rambut Kamarudin, Tanu memboyong istri serta anaknya berkeliling pusat perbelanjaan. Kedua sahabat Anya pun memutuskan tak mengikuti agenda keluarga yang baru saja kembali utuh itu. Mereka memberikan waktu agar mereka dapat mengakrabkan diri.“Apa-Apaan lo?!” bentak Anya lalu membalas tamparan dipipi kanan Soraya.“Jalang! Beraninya kamu menggoda suami saya sampai menikahi kamu!”“Soraya!” geram Tanu, menarik lengan Soraya saat wanita itu terlihat ingin menyerang Sasmita lagi.Mendengar hinaan istri papanya, Anya meradang. Ia melemparkan sebutan yang sama, dengan apa yang wanita itu layangkan. Mengutuk mulut Soraya habis-habisan. Karena perilaku Soraya, semua orang
“Lon*te!”“What?” Desis Anya, mencengkram telapak tangannya. Ia mengenal dua diantara lima gadis yang sedang melakukan perundungan terhadapnya. Dua gadis itu merupakan teman satu angkatannya sedangkan yang lain, adalah adik juniornya yang tergabung ke dalam aliansi pemuja Dosen Kampret-nya.“Lemparin lagi aja! Biar parfum wanginya berubah busuk kayak kelakuan dia!” Kompor salah satu gadis membuat rahang Anya sekeras batu. Tidak hanya berada di tahun ajaran yang sama, gadis yang membuka mulut terkutuknya itu juga merupakan teman sekolahnya dulu. Dia memang tak menyukai Anya karena kedekatannya dengan Josephin.‘Si Anjing gagal move on ini,’ batin Anya, menggeram.Hidupnya semakin sial sejak berhubungan dengan Kamarudin. Dosennya itu membawa petaka masuk ke dalam kehidupannya yang sudah rusak.Disisi lain, Kamarudin yang melihat itu menuruni mobilnya. Ia tidak langsung membantu Anya, melainkan membuka pintu belakang mobilnya untuk mengambil sesuatu.“LEMPAR!”“Bang..”Buagh!Mata Anya m
Kamarudin mengenyahkan handuk yang tersangkut di wajahnya. Pria itu menarik napasnya dalam-dalam. Mencoba mengendalikan diri ditengah perilaku Anya yang mempermalukannya di depan banyak pasang mata. “Apa?” Bukannya takut atas intimidasi mata Kamarudin, Anya menyalak galak. Ia terlanjur emosi berat. Merasa dipermainkan oleh dosennya. Tidak tahukah pria itu jika dirinya sudah bersusah payah. Hanya karena beberapa detik saja, dirinya tidak diizinkan masuk. Benar-Benar dosen kampret yang menyebalkan! Anya benci Udin yang satu itu.“Sayang!”“Nggak usah sayang-sayangan deh lo! Nggak guna!” Pagi harinya terlalu berat. Kalau saja harga dirinya memperbolehkan untuk menangis, Anya akan merendah seluruh penghuni kampusnya ke dalam air bah tangisnya. Sayang air matanya sangat mahal. Dia tidak mau keluar karena kekesalannya pada Kamarudin.“Maaf ya, aku nggak bisa kasih toleransi walau pun kamu calon istri.”‘Ngomong apa sih, ini babik!’ geram Anya, membatin. Akting apa lagi manusia satu ini.
Usai meminta diturunkan di depan fakultasnya, Anya bergerak masuk. Perempuan itu menolak kebaikan Angel yang ingin menemaninya. Anya berkata jika sebentar lagi mereka (Ia dan Kamarudin) pun akan langsung pulang. Tidak ketinggalan, senyum palsu turut ia hadirkan, demi menyamarkan tujuannya kembali ke kampus.Langkah kakinya menghentak. Paper bag dalam genggamannya ikut bergoyang, seiring kuatnya hentakan yang dirinya pijakan. Anya emosi. Ia diprank habis-habisan. Karena aksi tak terpuji Kamarudin itu, dirinya harus merogoh kocek yang sangat dalam. Papanya pasti mengamuk habis-habisan setelah membayar tagihannya nanti. Sebelum itu terjadi, dirinya akan meminta ganti rugi dulu pada si biang masalah.“Lo liat Udin, nggak?” tanya Anya kepada salah satu mahasiswa yang sedang berkumpul di selasar gedung. Ia memilih secara random, karena tidak mengetahui dimana dosen kampretnya itu berada.“Udin siapa? Kelas sama angkatan berapa?” Sumbu dikepala Anya semakin memendek. Baru mencari orangnya
“Why?” Kamarudin membuka kancing teratas kemejanya. Ia menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi. Menatap Anya yang sepertinya begitu menantikan jawaban darinya. “Menurut kamu, kenapa?” tanyanya dengan sebuah seringaian.Pria itu bangkit meninggalkan kursi kerjanya. Berjalan mendekati Anya dengan tatap dan seringainya yang tetap bertahan.“Ya mana saya tahu!” balas Anya, berusaha sebisa mungkin untuk bersikap tenang. Ia tidak ingin terlihat gugup di depan Kamarudin. Tidak ketika dirinya tahu benar jika pria itu sedang ingin mempermainkannya.“Really, kamu tidak mengetahuinya?”Mengapa rasanya menjengkelkan ya? Sungguh Anya merasakan hal itu. Pria dihadapannya terlalu berbelit-belit hanya karena sebuah pertanyaan. Apa sulitnya memberikan jawaban, tanpa mengajak lawan bicaranya berputar-putar.“Udahlah!” Hela Anya. Kalau Kamarudin tak mau membuka mulutnya, dirinya juga tak ingin memaksa.Wasting time! Anya benci itu.“Karena kamu!”Awalnya Anya hendak menyerah, tapi mendengar dirinya di
Kamarudin menatap jam tangan yang melingkar pada lengannya. Sudah waktunya ia menjemput Anya. Menghentikan perdebatan yang nyatanya dapat Anya selesaikan sendiri.“Pak Putut, saya permisi. Terima kasih karena sudah memberikan tumpangan untuk menguping,” pamitnya tak lupa berterima kasih atas kebaikan rekan kerjanya.Pria itu menyambar peralatan yang dirinya gunakan mengajar. Berjalan tenang lalu masuk ke ruangannya tanpa sebuah ketukan.“Yang!”Alisnya kontan menukik. Jika tidak salah dengar, Anya baru saja memanggilnya dengan panggilan yang berbeda.“Hem.. Ada apa ini?” tanya-nya, pura-pura tidak tahu. Padahal sejak tadi dirinya mendengar perdebatan alot kedua wanita di depannya.‘Wah! Si Anjing! Nggak ada mesra-mesranya! Gue kan lagi mau manas-manasin fansnya,’ decak Anya, kesal dengan respon yang Kamarudin tunjukan.“Ah, Kamaru. Nggak ada apa-apa. Saya cuman lagi ngobrol aja sama Anya.”Munafuck!— ingin rasanya Anya menjeritkan makian itu. Benar-Benar wanita berwajah seribu topeng.
“Saya mau yang itu?”Kamarudin menangkap jari telunjuk Anya, “no! Acara lamaran, Anya. Itu jelas terlalu terbuka!” Ucapnya tidak suka. Pakaian yang Anya inginkan terbalut pada sebuah manekin. Potongan dadanya yang rendah mungkin akan terlihat bagus— tentunya jika mereka hanya berdua di dalam kamar tanpa mata-mata lain yang menyaksikannya.“Kolot banget Bapak Dosen yang satu ini,” cibir Anya tak dipedulikan Kamarudin.“Pilih yang normal-normal saja, nanti Ibu saya kena serangan jantung!”“Malah bagus dong. Lamarannya bisa ditunda..”Tak!Anya meringis. Selain menyebalkan, dosen kampretnya ternyata suka main tangan. Kepalanya yang suci, baru saja dijitak.“Saya mau lihat gaun yang pantas untuk dikenakan pada acara keluarga, yang simpel saja, dan tentunya sopan.” Pinta Kamarudin kepada shopkeeper. Selera wanita yang bekerja pada bidang busana itu tak perlu lagi Kamarudin ragukan. Ibunya bahkan mantan kekasihnya pernah dia tangani ketika berkunjung.“Akan saya pilihkan beberapa, Pak. Moho
“Din, Din! Lo nggak bisa milih cewek yang bagusan dikit apa? Masa modelan nenek sihir begitu, lo bucinin sih!”“Saya tidak menjadi budak cinta, Anya!”“Halah,” dengus Anya mengibas telapak di depan wajahnya sendiri, “nggak percaya gue, Din! Dia aja sejijik itu kelakuannya ke lo, pasti karena lo bucin bet dah, ke dia!” Kamarudin menanggapinya dengan memaparkan sebuah fakta, dimana dirinya memutuskan mengakhiri hubungan mereka kala Michelin berselingkuh. “Kalau saya bucin seperti kata kamu, saya akan tetap menjalin cinta bersama Michelin, menutup mata atas perselingkuhannya.”“Makesense sih!”Lagipula dulu Michelin tidak seperti sekarang ini. Perempuan itu hampir dijuluki sebagai anak rumahan. Lingkungan dari pekerjaannya, mengubah diri Michelin. Menjadikannya tampak berbeda, tak seperti Michelin yang dirinya sukai. Pergaulan sungguhlah kejam ketika seseorang tak dapat menjaga dirinya. “Saya bisa menerima apa saja, tapi tidak dengan perselingkuhan, Anya. Pastikan kamu tidak mengkhiana