"Dek, jangan bersikap begini. Adek ingin Zana tetap hidup bukan? Ingat apa yang sudah kita diskusikan berulang kali tadi." Pak Azwar menenangkan istrinya.
"Iya, Bang. Iya. Aku cuma takut kehilangan Zana." Bu Nuraini mengangguk berulang kali. Ia harus bisa mengontrol emosinya.
"Di mana... Zana?" Gayatri mengubah kalimat anak saya menjadi menyebut nama putrinya secara langsung. Ia tidak boleh sembarangan berbicara, mengingat kondisi psikologis Bu Nuraini.
"Anak kami ada di dalam."
Anak kami. Pak Azwar langsung menunjukkan kepemilikannya. Sesungguhnya Pak Azwar juga sama takutnya dengan Bu Nuraini. Gayatri memejamkan mata--menenangkan diri, terlebih kala mendengar penjelasan selanjutnya.
"Anak kami mengalami kecelakaan tadi siang saat pulang dari sekolah. Mobil yang membawanya ditabrak mobil pick up yang remnya blong."
"Nama anak itu Zana bukan? Sekarang keadaan Zana bagaimana?" Gayatri memberi singnal kalau ia tidak menyukai kalimat kepemilikan Pak Azwar.
Melalui sudut mata, Gayatri memindai Bu Nuraini memeluk erat sebelah tangan Pak Azwar. Bu Nuraini menangkap maksud ucapannya."Ehm, Zana kehilangan banyak darah dan memerlukan transfusi darah secepatnya. Masalahnya golongan darah Zana itu adalah AB-. Sementara saya dan istri memiliki golongan darah A+ dan B+."
Gayatri tidak mendengarkan secara jelas lagi apa sisa kalimat Pak Azwar. Karena golongan darahnya sendiri adalah O+. Itu artinya ia juga tidak bisa memberikan darahnya untuk Zana. Golongan darah AB- itu hanya bisa menerima pendonor dari golongan darah O-, B- dan AB- itu sendiri. Itu artinya ia harus bisa menghadirkan Iwas di sini.
"Kebetulan stok darah golongan AB-, O- dan B- sedang kosong di rumah sakit ini maupun PMI. Kantong terakhir yang digunakan Zana sudah habis setengah jam tadi. Makanya kami meminta Bu Fauziah menghubungimu."
"Golongan darah saya O+, Pak. Jadi saya juga tidak bisa menjadi pendonor. Saya akan menghadirkan ayah kandungnya saja." Gayatri membuka tas tangannya. Ia akan menghubungi Citra. Di antara teman-teman sekelasnya dulu ia hanya masih saling berkirim kabar dengan Citra.
"Jangan!" Pak Azwar dan Bu Nuraini kompak menolak.
"Pak Sanwani dulu berpesan kalau orang tua kandung Zana tidak boleh mengetahui tentang keberadaan Zana. Itulah syarat dari Pak Sanwani saat memberikan Zana pada kami dulu."
"Jadi Bapak dan Ibu lebih memilih Zana mati? Kalau saya sih tidak. Anak saya harus tetap hidup. Ingat, sayalah ibu kandungnya. Kedua orang tua saya dan kalian berdua telah merampasnya begitu saja tanpa sepengetahuan saya!"
*****
"Cit, lo tahu nomor telepon Bang Iwas nggak?" Gayatri menelepon Citra di taman rumah sakit. Setelah berdebat seru dengan Pak Azwar dan Bu Nuraini akhirnya suami istri itu setuju juga memanggil Iwas. Keadaan Zana melemah. Ia membutuhkan transfusi darah secepatnya."Tunggu... tunggu... tunggu... Setelah sepuluh tahun berlalu kenapa lo menyinggung nama Bang Iwas lagi? Lo jangan macem-macem ya, Tri? Gue udah kapok meminta Bang Iwas datang ke ulang tahun gue dulu."
Dugaan Gayatri tepat. Citra langsung mengambil ancang-ancang menentang setelah ia menyebut nama Iwas.
"Gue sebenernya nggak mau ngomong. Tapi kayaknya lo harus tahu satu hal sebelum lo nyari masalah sama Iwas lagi.
"Apa satu hal itu, Cit?"
"Setelah Bang Iwas dikeluarkan dari kampus dan Pak Ilham dipecat, Bang Iwas nemuin gue di kantin. Katanya, ayah lo udah menghancurkan keluarganya. Ayahnya tidak punya muka lagi menghadapi dunia. Makanya mereka sekeluarga pindah dari Jakarta. Ingin menata hidup baru katanya. Dia juga bilang kalau ia dendam sekali pada kalian sekeluarga. Makanya gue mohon, jangan mengusiknya lagi, Tri. Jangan membangunkan macan tidur."
"Gue sama sekali nggak punya maksud jahat pada Bang Iwas, Cit. Gue mencarinya karena ada hal yang benar-benar penting. Singkatnya masalah hidup dan mati."
"Kayaknya masalah ini serius. Ada apa sebenarnya, Tri?"
"Nanti. Setelah semua musibah ini berhasil kami lalui, gue akan menceritakan semuanya pada lo. Sekarang lo bantu gue dulu mencari nomor telepon Bang Iwas."
"Oke. Lo tunggu bentar. Gue akan menghubungi si Ussy dulu. Minggu lalu katanya dia ketemu dengan Bang Iwas. Gue akan mengorek keterangan dari dia dulu."
"Oke. Gue tunggu kabar baiknya dari lo secepatnya ya, Cit?"
Gayatri menutup ponselnya. Harap-harap cemas ia menunggu berita dari Citra. Semoga saja Citra bisa membantunya. Beberapa menit kemudian ponsel Gayatri bergetar. Gayatri pun langsung mengangkatnya.
Semoga dapat... semoga dapat...
"Bagaimana, Cit?"
"Gue udah dapet nomor teleponnya, Tri. Just for your information, doi sekarang adalah notaris beken dan juga dosen part time di Surabaya sana. Gue harap informasi sepotong dari gue ini bisa membuat lo berpikir bijak. Gue WA sekarang nomor ponselnya ya, Tri?"
"Oke. Terima kasih banget atas infonya ya, Cit? Gue janji, setelah semuanya selesai, gue akan cerita sama lo." Gayatri mematikan ponsel. Ia kemudian membuka WA dari Citra dan menyalin nomor ponsel Iwas ke kontak. Gayatri menarik napas panjang dua kali sebelum menelepon Iwas. Seiring nada pemanggil ponsel, seperti itu jualah debaran jantung Gayatri. Bukan hal mudah baginya kembali bersinggungan dengan Iwas.
"Hallo,"
"Ha--hallo, Bang Iwas." Gayatri terbata. Lihatlah hanya mendengar sepotong kata hallo saja, benaknya langsung terlempar ke masa lalu.
"Mau apa lagi kamu mencari saya?"
Deg!
Gayatri terhenyak. Ia tidak menyangka Iwas langsung mengenalinya hanya dengan mendengar satu kalimat saja."Abang mengenali suara saya ya?"
"Jangan ge-er kamu. Saya mengenalimu, karena tidak ada orang yang memanggil saya Iwas di sini. Orang-orang sekarang memanggil saya Nara. Nama panggilan Iwas sudah saya kubur dalam-dalam.""Saya minta maaf, Bang. Saya--"Tut... tut... tut...Gayatri berdecak. Iwas menutup teleponnya. Tidak bisa, ia harus mencari cara agar Iwas bersedia datang ke Medan. Gayatri kembali menelepon Iwas. Gayatri bertekad akan menebalkan telinga mendengar apapun sindiran Iwas. Yang penting putrinya selamat."Kalau kamu terus mengganggu saya, saya akan memblokir nomor ponselmu.""Bang, dengar dulu. Saya tidak mungkin menelepon kalau saya tidak benar-benar membutuhkan bantuan Abang. Ada seseorang membutuhkan bantuan--""Siapa yang kali ini berulang tahun hingga kamu ingin meminta bantuan? Saya muak dengan segala tipu dayamu! Saya akan memblokir--""Anak kita, Bang. Anak kita yang membutuhkan bantuan Abang!" Gayatri langsung mengeluarkan kartu As-nya. Tidak ada waktu untuk memperhalus ucapannya. Ia takut nyawa
Gayatri hendak menggenggam tangan sang putri.Hanya saja, ponsel Gayatri bergetar. Sepertinya Iwas sudah tiba. Gayatri keluar ruangan dengan dada berdebar kencang. Setelah sepuluh tahun, ini adalah kali pertamanya bertemu dengan Iwas. Dalam situasi tidak biasa pula. Semoga saja Iwas dan dirinya bisa menekan ego masing-masing demi keselamatan buah hati mereka. Yah, semoga.Gayatri duduk dengan punggung sekaku papan di ruang tunggu rumah sakit. Iwas menelepon dan mengatakan bahwa posisinya sudah dekat. Iwas juga memintanya menunggu di depan. Ia tidak mau menghabiskan waktu dengan mencari-carinya di seluruh penjuru rumah sakit katanya. Ponsel Gayatri kembali berbunyi. Refleks, Gayatri berdiri. Pasti Iwas yang meneleponnya. Tatkala memindai ponsel dan nama ayahnya yang muncul, Gayatri mengerutkan kening. Tumben ayahnya meneleponnya? Biasanya, ayahnya lebih suka meminjam lidah ibunya jikalau ingin berbicara dengannya. Semenjak ayahnya gemar bermain saham sekitar tiga tahun lalu, merek
"Saya memang menunggu di depan, Bang. Abang yang kelewatan jalannya. Coba Abang berbalik." Iwas terdiam sejenak. Ia mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan penyebab utama kehancuran keluarganya. Bukan hal mudah baginya bertemu kembali dengan Gayatri. Tatkala Iwas berbalik, ia tertegun. Bayangannya akan sosok Gayatri yang glamour sangat jauh dari ekspektasinya. Sebelum bertemu dengan Gayatri, ia sempat mengintip Medsosnya. Sedikit banyak ia ingin tahu kehidupan Gayatri sekarang. Di media sosial Gayatri, ia hanya menemukan dua photo Gayatri pada moment gathering dengan client-clientnya. Yang lainnya adalah postingan promosi-promosi hotel. Gayatri terlihat bagai sosialita papan atas di sana. Glamour dengan barang-barang branded dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara Gayatri saat ini bernampilan ala karyawati magang dengan kemeja putih kusut dan celana bahan hitam. Rambutnya diikat buntut kuda dengan anak-anak rambut yang mencuat di sana sini. Gayatri mirip dengan ka
"Ceritakan semuanya dari awal." Iwas mendatangi Gayatri yang masih duduk bengong di ruang tunggu. "Maaf, Abang bilang apa?" Gayatri tergagap. Ia tidak menyadari kehadiran Iwas di sampingnya. Ia sedang bingung karena Harsa, anak Pak Bakri mendesaknya untuk segera kembali ke Jakarta. Harsa ingin secepatnya menyelesaikan urusan jual beli hotel Grand Mediterania. "Kamu ini aneh ya? Anak sedang sakit, tapi kamu tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. Saya amati sikapmu lebih mirip dengan orang bingung daripada seorang ibu yang sedang khawatir. RIP kasih ibu sepanjang masa." Iwas meletakkan blazernya sembarang di kursi ruang tunggu. Ia kemudian mengancingkan kemeja putihnya sebelum menghempaskan pinggul di samping Gayatri. Kepalanya sedikit pusing karena baru saja mendonorkan darahnya cukup banyak untuk Zana. "Oh iya. Saya lupa. Kamu tidak pernah mau tahu tentang keberadaan anak ini sebelumnya. Kamu memberikannya pada orang lain dan masalah pun berakhir di hari itu juga. Hebat kam
Gayatri meluapkan semua perasaannya. Selama berbicara keduanya tangannya terkepal menahan emosi. Selama ini semua orang menyalahkannya. Kedua orang tuanya, Citra bahkan guru-guru di sekolah. Mereka memang tidak berani mengatakannya secara langsung. Tapi melalui tatapan mata dan sindir-sindiran halus antar sesama guru, saat ia mengambil ijazah. Mereka semua menyalahkannya padahal dirinya juga korban. Namun, mereka tidak menyadarinya.Lama keduanya bertatapan.Gayatri bahkan sempat sedikit merasakan penyesaalan dari mata Iwas. Sayangnya, itu tak berlangsung lama. "Oke. Kalau kamu memang mempertahankan anak kita, mengapa sekarang Zana ada di tangan keluarga Parinduri? Setelah Zana lahir baru kamu menyesal karena tanggung jawab untuk merawat seorang anak itu tidak mudah bukan?" tuduh Iwas lagi."Sampai sejauh ini ternyata prasangka buruk masih mendominasi pikiran Abang ya?" Gayatri tertawa sengau. "Kalau begitu ceritakan hingga tuntas, agar dugaan saya tidak meliar." "Baik, saya lanju
Gayatri tidak bisa membantah karena lambungnya terasa makin perih.Iwas benar. Ia memang sudah memerlukan pertolongan medis."Saya malu, Bang," desis Gayatri rikuh. Saat kembali ke kantin saja, beberapa pengunjung yang sedang makan memandanginya. Sebagian ada yang berbisik-bisik dan menyenggol orang yang duduk di sampingnya."Ini uang makan teman saya ya, Bu? Kembaliannya untuk Ibu saja." Dengan sebelah tangan, Iwas menarik selembar uang seratus ribuan dari saku dan memberikannya pada ibu pemilik kantin. Setelahnya ia melenggang dengan Gayatri di atas bahunya. Malu Gayatri memejamkan mata dan menulikan telinga dari bisikan para pengunjung rumah sakit. Selain itu rasa asam di mulut dan perih di lambungnya membuat Gayatri tidak bisa berpikir terlalu banyak. Ia sekarang sudah berkeringat dingin.Karena rasa mualnya kembali naik ke tenggorokan, tubuh Gayatri menegang menahan mual. Ia takut memuntahi Iwas."Jangan berani-berani memuntahi saya. Saya tidak membawa baju ganti. Tahan, sebentar
Itu bukan urusanmu, Was! Iwas berkutat dengan suara hatinya sendiri. Di tengah keheningan, ponsel Iwas berbunyi. Iwas bergegas bangkit dari kursi dan menjauh setelah melihat nama pemanggilnya."Ya, Vira? Ada apa? Masih. Lusa mungkin aku baru aku bisa pulang ke Surabaya."Dalam diam Gayatri mempertajam pendengarannya. Kata ganti aku yang Iwas ucapkan serta santainya nada bicara Iwas membuat Gayatri menarik satu kesimpulan. Bahwa orang yang menelepon Iwas pasti seseorang yang istimewa. Karena topeng dingin Iwas luruh kala berbicara dengan orang yang meneleponnya. "Heh, kok kamu tahu aku ada di rumah sakit? Sudah di depan mata? Mana?" Iwas terperanjat saat Vira mengatakan bahwa dirinya sudah berada di rumah sakit. Bahkan di depan matanya. Akan halnya Gayatri ia segera duduk lebih jauh saat menguping percakapan Iwas. Alam bawah sadarnya mengatakan bahwa Vira ini entah istri atau pacar Iwas. Ia harus bisa menjaga sikap. Sejurus kemudian tampak dua orang gadis masuk melalui koridor depan
"Tunggu... tunggu... aku masih bingung. Ini maksudnya bagaimana ya?" Vira mengangkat kedua tangannya ke udara. Kebingungan bercampur ketidakpercayaan tergambar jelas di wajahnya."Aku ke kantin dulu ya, Vir." Nia beringsut dari kursi. Ia mengerti bahwa Vira, Nara dan seorang wanita cantik berwajah sendu yang duduk tidak jauh dari mereka membutuhkan privasi."Duduk sini, Ratri. Dengan begitu saya tidak perlu ulang-ulang cerita." Iwas menunjuk bangku di samping Vira dengan kedikan kepala. Isyarat agar Gayatri duduk di sana. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya Gayatri pun mengikuti perintah Iwas. Ia pindah duduk di samping Vira dengan punggung sekaku papan. Setelah melihat Gayatri duduk, Iwas mulai berbicara."Kamu ingat ceritaku tentang mengapa kami sekeluarga pindah ke Surabaya bukan, Vir?" Iwas kembali melirik Gayatri saat mulai bercerita. Iwas ingin mengamati reaksi Gayatri. Apakah ia keberatan ditelanjangi di depan Vira, atau bagaimana? Menilik bahasa tubuh Gayatri yang hanya diam