Itu bukan urusanmu, Was! Iwas berkutat dengan suara hatinya sendiri. Di tengah keheningan, ponsel Iwas berbunyi. Iwas bergegas bangkit dari kursi dan menjauh setelah melihat nama pemanggilnya."Ya, Vira? Ada apa? Masih. Lusa mungkin aku baru aku bisa pulang ke Surabaya."Dalam diam Gayatri mempertajam pendengarannya. Kata ganti aku yang Iwas ucapkan serta santainya nada bicara Iwas membuat Gayatri menarik satu kesimpulan. Bahwa orang yang menelepon Iwas pasti seseorang yang istimewa. Karena topeng dingin Iwas luruh kala berbicara dengan orang yang meneleponnya. "Heh, kok kamu tahu aku ada di rumah sakit? Sudah di depan mata? Mana?" Iwas terperanjat saat Vira mengatakan bahwa dirinya sudah berada di rumah sakit. Bahkan di depan matanya. Akan halnya Gayatri ia segera duduk lebih jauh saat menguping percakapan Iwas. Alam bawah sadarnya mengatakan bahwa Vira ini entah istri atau pacar Iwas. Ia harus bisa menjaga sikap. Sejurus kemudian tampak dua orang gadis masuk melalui koridor depan
"Tunggu... tunggu... aku masih bingung. Ini maksudnya bagaimana ya?" Vira mengangkat kedua tangannya ke udara. Kebingungan bercampur ketidakpercayaan tergambar jelas di wajahnya."Aku ke kantin dulu ya, Vir." Nia beringsut dari kursi. Ia mengerti bahwa Vira, Nara dan seorang wanita cantik berwajah sendu yang duduk tidak jauh dari mereka membutuhkan privasi."Duduk sini, Ratri. Dengan begitu saya tidak perlu ulang-ulang cerita." Iwas menunjuk bangku di samping Vira dengan kedikan kepala. Isyarat agar Gayatri duduk di sana. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya Gayatri pun mengikuti perintah Iwas. Ia pindah duduk di samping Vira dengan punggung sekaku papan. Setelah melihat Gayatri duduk, Iwas mulai berbicara."Kamu ingat ceritaku tentang mengapa kami sekeluarga pindah ke Surabaya bukan, Vir?" Iwas kembali melirik Gayatri saat mulai bercerita. Iwas ingin mengamati reaksi Gayatri. Apakah ia keberatan ditelanjangi di depan Vira, atau bagaimana? Menilik bahasa tubuh Gayatri yang hanya diam
"Saya paham, Ratri. Saya sangat mengerti posisimu. Dalam hidup ada beberapa hal yang kejadiannya di luar kontrol kita." Vira balas menggenggam tangan Gayatri dengan senyum getir. Dia juga mempunyai masalah yang jalan keluarnya belum ia temukan sampai saat ini. Karena masalah yang ia hadapi, kuasanya di luar kontrolnya. Makanya ia sangat memahami posisi Gayatri."Saya janji, untuk ke depannya jikalau ada hal yang berhubungan dengan putri saya, Zana, maka saya akan mengubungi Mbak Vira saja. Boleh tidak, Mbak?" Gayatri lega luar biasa atas kehangatan dan kebijaksanaan Vira. Kelak Zana akan mudah diterima oleh ibu sambung sedewasa Vira. "Tentu saja boleh, Tri. Ini simpan nomor ponsel saya." Vira membacakan nomor ponselnya yang segera disimpan oleh Gayatri. "Saya permisi pulang dulu ke Jakarta. Ada hal penting yang harus saya urus. Jikalau ada masalah yang berkaitan dengan Zana ke depannya, saya akan membahasnya dengan Mbak Vira saja. Saya jalan dulu ya, Mbak?" Gayatri berpamitan pada V
"Tenang saja, Sa. Nanti akan Bapak atur. Percayakan saja semuanya pada Bapak ya?" Dari balik pintu ruang tengah, Gayatri menggeram marah. Ayahnya berani menjanjikan sesuatu tanpa menanyakan persetujuannya. Padahal tadi ia sudah jelas-jelas menolak lamaran Harsa dan langsung masuk ke dalam. Ia tidak ingin mendengar penawaran apapun lagi. Bayangkan, Harsa baru saja mengajukan gugatan perceraian terhadap Novi. Namun Harsa sudah berani melamarnya. Luar biasa!"Asal kamu berjanji akan mencintai dan menjaga Ratri dengan baik, Bapak akan mencoba meluluhkan hatinya." Gayatri mengepalkan tangannya.Saat ini ayahnya tengah mengantar Harsa dan Pak Bakri ke teras. Ayah dan anak itu akan segera pulang. "Ayah ini bagaimana sih? Masa Ayah mau membarter Ratri dengan hotel?" Setelah mobil Harsa dan Pak Bakri berlalu, Gayatri menyusul ayahnya ke teras. "Membarter bagaimana maksudmu, Tri? Ayah mencarikan jodoh yang pas buatmu. Bukan membarter. Masalah hotel yang akan tetap menjadi milik kita, anggap
"Sudah... sudah... kalian berdua jangan bertengkar lagi. Ratri, kembali ke kamarmu. Mas juga sebaiknya istirahat dulu. Nanti kalau kalian berdua sudah bisa mengontrol emosi masing-masing, baru kalian berdua bicara baik-baik." Bu Fauziah kewalahan menghadapi suami dan putrinya yang sama-sama tidak mau mengalah."Ya, sudah. Ayo kita ke kamar saja, Ziah. Anak satu ini tidak bisa sekali saja membanggakan orang tua. Anak si Dahlan saja, Windy, bersedia menuruti keinginan ayahnya dengan menerima perjodohan yang diatur ayahnya. Sementara anak ini tidak sekali pun bersedia menerima usul Mas. Mas benar-benar kecewa mempunyai anak seperti dia."Langkah Gayatri yang sudah setengah jalan menuju kamarnya terhenti. Kalimat yang dilontarkan ayahnya sungguh menyakiti hatinya."Maaf jika Ayah kecewa mempunyai anak seperti Ratri. Masalahnya Ratri tidak bisa memilih akan lahir menjadi anak siapa. Oleh karena itulah Ratri tidak mau sembarangan memilih suami. Ratri takut kalau suami Ratri nanti akan melon
Gayatri berkali-kali memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Itu artinya setengah jam lagi ia akan bertemu dengan Iwas.Gayatri menaikkan resleting bomber jaketnya. Ia sedikit kedinginan karena kafe yang ia pilih untuk bertemu dengan Iwas konsepnya adalah ruang terbuka. Ia memang sengaja memilih kafe ini karena selain suasananya nyaman,tempat duduknya juga mempunyai jarak yang cukup renggang. Dengan demikian privacy masing-masing pengunjung lebih terjaga.Sekonyong-konyong Gayatri merasa bulu kuduknya meremang. Indra keenamnya merasa kalau dirinya tengah diamati seseorang. Refleks Gayatri menoleh ke belakang. Iwas tampak berjalan dengan langkah panjang menghampiri mejanya. Rupanya Iwas masuk ke dalam kafe melalui pintu belakang. Kafe ini memang memiliki tiga pintu masuk. Depan, samping dan belakang."Saya tidak terlambat bukan? Masih tersisa waktu sekitar sepuluh menit lagi dari janji kita bertemu." Iwas memindai jam di pergelangan t
"Abang laki-laki. Tidak ada bekas didiri Abang. Abang bisa moved on dan menata hidup dengan Mbak Vira. Tapi saya? Seumur hidup saya membawa beban. Apa Abang tahu, setiap kali saya didekati seseorang, saya selalu gamang. Saya takut kalau nantinya saya akan ditinggalkan karena masa lalu saya. Maklum saja. Saya ini dibilang perawan bukan. Janda juga bukan?" Gayatri tersenyum tanpa merasa lucu. "Abang sadar tidak, sesungguhnya yang menjadi korban itu saya. Bukan Abang. Abang itu korban kemarahan ayah saya. Ayah saya marah karena Abang sudah merusak anak gadisnya. Namun saya tetap tidak membenarkan tindakan ayah saya pada abang sekeluarga. Tidak adil kalau Pak Ilham sebagai ikut disalahkan. Karena Pak Ilham memang tidak tahu apa-apa." Gayatri mengenadah. Menatap langit kelam yang dihiasi taburan bintang-bintang. "Sampai di sini, Abang sudah bisa menangkap poinnya belum? Sebenarnya kita semua bersalah. Tapi yang menerima akibatnya itu saya. Karena saya perempuan. Saya yang bisa hamil." Pa
"Gue sama sekali nggak menyangka kalo anak lo masih hidup, Tri."Bola mata Citra nyaris keluar dari rongganya kala mendengar cerita Gayatri. Saat ini Gayatri sedang berada di rumah Citra. Ia memang berhutang penjelasan soal mengapa dirinya tiba-tiba mencari Iwas setelah sepuluh tahun berlalu. Selain itu ia ingin mengajak Citra berbelanja. Ia membutuhkan saran Citra untuk membeli kado ulang tahun Zana yang ke sebelas. Kedua anak Citra sedang menginap di rumah mertua Citra. Makanya hari ini mereka berdua bisa shopping seharian."Jangankan lo, Cit. Gue aja shock sewaktu diberitahu ibu. Tapi ya, gue seneng sih. Karena ada bagian dari diri gue di dunia ini. Gue jadi nggak ngerasa sendirian." Membayangkan putrinya membuat Gayatri tersenyum bahagia."Muka anak lo mirip siapa, Tri? Mirip lo apa Bang Iwas?" Citra penasaran."Perpaduan, Cit. Anak gue lucu banget. Hidung dan bibirnya mirip gue. Tapi rambut ikal, dagu dan bentuk wajahnya plek ketiplek dengan Bang Iwas. Pokoknya cakep deh."Terken