Share

Don't Be Silly. It's Precious
Don't Be Silly. It's Precious
Author: hella is stronger

Karena aku menginginkannya

Pagi sudah datang. Tidak aku sangka aku sudah semalaman menatap layar ponsel ku. Yah, aku tau ini tidak sehat. Tapi sebenarnya ini jauh lebih baik daripada harus mendengarkan orang tua ku saling menyakiti di lantai bawah. Tidak ada hari tanpa ayahku yang tukang selingkuh dan ibuku yang suka sekali mabuk saling menyakiti baik secara fisik maupun psikis. Aku tidak mengerti kenapa mereka bisa menikah.

Hey, aku belum memperkenalkan diri, aku Ava. Agatha Vavreu. Aku lebih suka dipanggil Ava karena itu terkesan singkat, padat, dan jelas daripada Agatha. Jadi, aku tidak akan menoleh jika dipanggil Agatha maupun Vavreu. Aku siswi kelas 3 SMA dengan tinggi 163 cm dan berat 58 kg. Lumayan ideal untuk orang yang dapur rumahnya kosong. Orang tua ku senang bermain lempar tangkap menggunakan perabotan dapur. Aku hanya menggunakan dapur untuk memasak air karena hanya panci untuk memasak air lah yang tidak pecah. Aku selalu membeli makanan di luar atau memakai layanan delivery. Hey, walaupun mereka orang tua yang bodoh, tapi mereka tetap mengisi rekening ku. Keluarga ku memang orang yang berkecukupan. Ibu ku adalah seorang perancang busana yang sangat terkenal dan ayah ku adalah seorang pebisnis Real Estate dan pemilik perusahaan minyak yang sangat besar.

Hari ini hari Sabtu. Orang tua ku pergi sejak 15 menit yang lalu. Hanya saja aku tidak mengetahui kemana mereka pergi, karena mereka mengendarai mobil masing-masing. Aku rasa aku akan pergi keluar pagi ini, karena aku lapar. Aku lalu memakai sweater hitam ku dan mengambil dompet serta ponsel ku lalu mengendarai mobil ku menuju salah satu restoran cepat saji dan memesan makanan untuk persediaan sampai nanti malam.

Aku sudah berada di mobil 15 menit kemudian dan mulai mengendarai nya pulang. Aku merasa mengantuk. Mungkin karena aku belum tidur dan itu sudah sewajarnya aku merasa mengantuk sekarang. Aku pun mengendarai mobilku dengan menahan rasa kantuk.

Berbahaya, tapi bukan aku yang sedang dalam bahaya, melainkan pria yang sedang berdiri di tepi jembatan itu. Memandangi lautan yang terletak sangat jauh di bawahnya dengan tatapan kosong.

Sial, apa yang sedang dia lakukan. Aku menginjak pedal rem dan menghampirinya dengan setengah berlari.

“Hey, apa yang kau lakukan, bodoh!” teriakku.

Dia hanya menoleh lalu kembali menatap laut di bawahnya. Kaki kanannya sudah melangkah ke depan. Dia ingin mengakhiri hidupnya. Tak bisa di pungkiri, jembatan itu sangat tinggi. Kau tidak akan selamat jika kau terjatuh dari situ.

“Hey! Hentikan.” Aku sampai di belakangnya dan menarik kerah bajunya. Matanya yang menyorotkan kekosongan memandangi ku sambil berusaha melepaskan tangan ku dari kerah bajunya. Beberapa orang yang berhenti juga berteriak meminta agar pria itu berubah pikiran.

“Lepaskan,” katanya pelan

“Apa kau gila? Kau akan mati!” teriakku. Aku mencoba menariknya kembali dengan sekuat tenaga.

“Aku menginginkannya.” ucapnya.

“Kenapa kau bisa menginginkan kematian?.” Pertanyaan yang bodoh ku rasa

“Kau tidak akan pernah mengerti.” Jawabnya sambil masih berusaha melepaskan kerah bajunya yang aku cengkram dengan sangat kuat.

Sial, apa yang aku katakan. Dari belakang aku bisa melihat bekas luka sayatan di pergelangan tangannya yang mencoba untuk melepasakn cengkraman tanganku dari kerahnya. Aku tak pernah melihat pria ini sebelumnya. Dia terlihat sebaya dengan ku.

“Lepaskan,” katanya lagi.

“Tidak akan.” 

“Kenapa?” Sial, mengapa bisa terpikir olehnya untuk menanyakan hal  seperti itu? Aku merasa kesal

“Karena kau akan mati, bodoh,” ucap ku kepadanya. “Apa yang kau pikirkan sehingga mencoba melakukan hal seperti ini? Jangan konyol, Hidup mu berharga.” Mungkin setelah aku berkata seperti itu, dia akan berubah pikiran. Semoga saja.

“Apa peduli mu?.” Katanya dengan pelan. Kalimat barusan membuatku membeku. Apa peduli ku? Kau akan mati, bodoh. Mana mungkin aku membiarkanmu.

Dia menoleh kebelakang dan memandangi ku. Wajahnya pucat sekali. Dan matanya, matanya sangat menyakiti. Entah kenapa sorot matanya membuatku tidak bisa berkata-kata dan membuatku menebak-nebak apa yang sudah terjadi dengannya. Perlahan aku melepaskan tangan ku dari kerah bajunya. Entah kenapa aku melakukannya, tanganku seperti bergerak sendiri. Dia tersenyum. Air mata keluar dari kedua mataku. Dia melihat kebawah lagi dan melompat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status