Amin sudah duduk di ruang tamu Pak RW. Di depannya sudah ada Jihan yang tersedu karena merasa bersalah menghilangkan motor Amin. Gadis perawan itu terus saja memilin ujung bajunya tanpa berani menatap wajah sang ayah yang terlihat sangar. Amin pun tak berani menatap wajah Pak RW, menurutnya Pak RW adalah sosok yang sangat disegani karena kebijaksanaannya, selain itu lelaki paruh setengah baya di depannya ini adalah orangtua dari wanita yang ia sukai, tentulah ia harus tampak baik dan ikhlas.
"Awal bulan nanti, saya akan mengganti motor Bang Amin yang dihilangkan anak saya. Walaupun tidak baru, tetapi saya berharap Bang Amin mau menerimanya," ujar Pak RW sambil meletakkan gelas kopi yang isinya baru saja ia teguk.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya ikhlas. Semua juga terjadi secara tidak disengaja oleh Jihan. Musibah, kalau kata orang. Tidak perlu diganti motor saya. Lagian motor saya itu, bukan motor bagus apalagi mahal. Insya Allah, nanti ada rezeki lagi saya akan beli yang baru," jawab Amin mantap. Dalam hati ia berharap, sang calon mertua mau sedikit melirik dirinya agar masuk dalam kandidat calon menantu.
"Wah, luar biasa legowo sekali Bang Amin ini, salut saya. Jadi, saya tidak perlu mengganti motor Bang Amin?"
"Gak perlu, Pak. Saya sudah mengikhlaskan." Amin melirik malu-malu pada Jihan yang kini sudah menghapus air matanya. Gadis itu nampak menarik nafas lega, sambil ikut melirik Amin.
"Terimakasih, Bang Amin. Semoga amal ibadah Bang Amin diterima di sisi Allah," ucap Jihan sambil tersenyum tipis yang sangat dipaksakan.
"Tapi saya belum meninggal Dek Jihan, he he he ...."
"Eh, iya. Saya lupa." Jihan ikut menyeringai sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ekspresi penuh rona di wajah Amin saat berbincang dengan Jihan, membuat Pak RW Darwis mengulum senyum, sepertinya ia tahu kenapa Amin mengikhlaskan motornya hilang oleh Jihan.
"Saya pamit, Pak. Harus ke bengkel lagi," ucap Amin sambil berdiri dari duduknya, lalu dengan khidmat ia mencium punggung tangan Pak RW.
"Makasih ya, Bang Amin," ucap Jihan sekali lagi, ia pun berdiri dari duduknya dan berjalan mengantar Amin sampai ke depan pintu.
"Mari Dek, Pak, saya permisi." Amin berjalan dengan langkah ringan penuh senyum bahagia. Sepertinya ini salah satu cara agar Pak RW mau melihatnya sebagai seorang lelaki pemaaf dan ikhlas, yang pantas bersanding dengan puteri semata wayangnya.
Sepanjang siang hingga sore, Amin begitu semangat melaksanakan tugasnya memperbaiki motor pelanggan yang mogok, ganti ban dalam, ganti busi, atau sekedar tambah angin. Pekerjaan yang ia cintai dan ia lakukan dengan penuh suka cita. Ditambah lagi, pujian dari Pak RW, calon ayah mertuanya, tentulah semangatnya membara beribu kali lipat.
"Ban motor gue disenyumin terus, Min? Lagi ngebayangin senyum dengan jande yang mane?" celetuk Imron, teman Amin yang sedang menambal ban motornya.
"Ha ha ha ... mana level gue sama janda. Anak perawan dong," seru Amin sambil tergelak. Dengan lihai ia mencelupkan ban dalam Imron ke dalam air, untuk mencari udara yang bocor.
"Lah, emang ada anak perawan yang mau sama lu?" Imron yang tadinya duduk di kursi tunggu plastik, kini ikut berjongkok di samping Amin, sambil menghisap rokoknya.
"Cerita dong!" rengek Imron penasaran, lelaki itu terus saja memperhatikan Amin yang tengah serius menambal ban motornya.
"Pokoknya gak lama lagi, lu bakalan terima undangan gue dengan anak perawan," ucap Amin dengan penuh semangat.
"Oh, jadi udah ada inceran. Padahal gue mau ngasih tahu lu, ada janda baru, kaya lagi, di komplek sebelah."
"Siapa?" kali ini Amin menoleh.
"Huu ... denger kata janda kaya aja lu, langsung nengok!"
"Aaww!" teriak Amin mengaduh, saat Imron mendorong tubuhnya cukup kuat.
"Lu, tahukan anak SMA yang suka nambal ban sepeda majikannya di sini?"
Amin mengerutkan keningnya, nampak berpikir keras, siapakah gerangan wanita yang dibicarakan Imron.
"Lupa," sahut Amin sambil menggelengkan kepala. Imron mendengkus kesal, ia bangun dari posisi jongkok, lalu kembali duduk di kursi plastik.
"Kata lu janda, kok ngomongin anak SMA?" tanya Amin yang kini sudah mengisi udara motor Imron.
"Laili, anak SMA yang suka dikepang dua. Dia kerja di rumah Pak Arya. Lu inget gak?" Imron kembali menghisap rokoknya dengan dalam.
"Oh, Laili gue tahu. Kenapa dia? Udah lama gak ke sini."
"Nah, majikannya jadi janda, Min. Bu Ririn namanya."
"Oh." Amin menggut-manggut.
"Duh, mau janda kaya atau janda miskin, bukan selera gue, Im. Buat lo aja dah." Amin mengibaskan rambutnya saat merasa abu rokok jatuh di atas rambutnya.
"Awas kemakan omongan!" Imron memperingatkan sambil melempar puntung rokok jauh di depan bengkel.
"Lagian, kalau majikannya Dek Laili anaknya banyak dong, udah tua pula, ditambah lumpuh lagi ya. Kasihan. Dah, gak bakalan lolos seleksi pendaftaran juga," ucap Amin dengan pongahnya. Ia menaruh kotak peralatan di kolong rak, lalu kembali menghampiri Imron yang memandang kesal padanya.
"Sombong! Nih, sepuluh rebu ya?" Imron menyerahkan satu lembar uang sepuluh ribu dari saku celana jeansnya yang sudah lusuh.
"Makasih ya, Im," ucap Amin sambil memasukkan uang pemberian Imron ke dalam saku celananya.
"Lu, mau mangkal lagi?" tanya Amin berbasa-basi saat Imron sudah ada di atas motornya, siap menyalakan mesin.
"Iya, siapa tahu ada janda majikan Laili lewat." Imron tergelak, lalu melesatkan motornya masul ke area komplek, tempat ia biasa mangkal.
Amin menganggkat bahunya tinggi, lalu berjalan ke belakang untuk mencuci tangannya. Belum ada pasien lagi yang datang, Amin memutuskan meluruskan kakinya di kurso bale kecil yang berada di dalam kios bengkel. Tangannya merogoh saku celana montir, mengecek apa ada pesan untuknya.
Jihanku
["Bang Amin, mau makan baso ga?]
Hampir saja bola mata Amin meloncat keluar dari sarangnya, karena rasa gembira yang luar biasa, saat membaca pesan ajakan makan baso dari Jihan. Dengan gemetar, Ami mengetik balasan sambil melebarkan senyuman.
["Habis magrib Abang ke rumah ya. Abang tutup kios dulu,"]
Send
"Yey!" Amin melompat kegirangan di dalam bengkelnya, diangkatnya telapak tangan kanannya untuk merasai di debaran dadanya. Dengan senyuman merekah, ia bergegas merapikan alat-alat perbengkelan. Tabung kompresor angin juga sudah ia dorong masuk, berikut selang. Di ambilnya sapu lidi, lalu menyapu sedikit sampah yang bertebaran di depan kios bengkelnya. Memang sudah kesehariannya seperti itu, menutup kios bengkel dalam keadaan rapi dan bersih.
Tanpa sengaja ia menoleh ke kanan, saat membungkuk menyapu sampah daun, nampak dari kejauhan seorang wanita dengan kepayahan mendorong motor, menuju bengkelnya. Karena melihat bengkelnya akan tutup, wanita berkerudung itu mempercepat langkah terseoknya.
"Bang, udah tutup ya?" tanyanya sambil mengibaskan tangannya di depan wajah. Keringat bermunculan dari kening dan kerudung yang ia pakai nampak lembab.
"Udah, Bu." Amin menaruh kembali sapu lidi di pinggir kios.
"Gak bisa nolongin saya, Bang? Kaki saya sakit, kalau harus dorong lebih jauh cari bengkel, kayaknya ...." wanita yang bernama Ririn mencoba menahan sesak di dadanya, karena kelelahan dan kecewa. Satu-satunya bengkel yang ia harapkan dapat membantunya, malah mau tutup. Rumahnya memang tidak jauh lagi, hanya saja kalau berjalan lagi sambil mendorong matic yang bannya bocor, dengan kaki pincang, tentulah ia tak sanggup.
"Maaf, Bu. Saya mau buru-buru." Amin menurunkan rolling door kiosnya, sekilas ia melihat wanita pincang yang kini matanya berkaca-kaca. Sebenarnya ia ingin membantu, tetapi ia buru-buru karena ada janji makan baso dengan Jihan.
"Ya sudah, gak papa. Bengkel lain yang terdekat dari sini di mana, Bang?" tanya wanita itu dengan lemah, berkali-kali ia mengusap peluh yang bercucuran di keningnya, dengan ujung jilbab abu-abunya.
"Masih satu kilo lagi, Bu. Permisi?" wanita itu hanya mampu memandang sendu punggung montir yang sama sekali tidak mau membantunya.
"Inikah salah satu ujiannya ingin menjadi orang baik? Ya Allah, semangat mendorong satu kilo lagi," gumamnya membesarkan hati, lalu perlahan mendorong kembali motor maticnya dengan kaki pincang.
****
Ramaikan komentarnya ya dan jangan lupa tekan lambang bintang di kanan bawah.
Terimakasih.
Amin sudah rapi dengan baju batik berlengan panjang dan celana panjang bahan berwarna coklat susu. Satu-satunya pakaian bagus yang ia punya, karena ia malas ke pasar untuk membeli pakaian. Alhasil, jika ada acara seperti ini, dia bingung sendiri akan memakai baju yang mana. Rambut ia sisir rapi dengan mengoleskan minyak rambut, agar klimis dan ketombenya tidak kelihatan.Satu dua tetangga yang lewat di depan rumah Pak RW memperhatikan Amin dengan kebingungan. Mau undangan ke rumah siapa? Sudah rapi begini.TukTuk"Assalamualaikum, Dek Jihan," panggilnya di depan pintu dengan jantung yang berdetak cepat. Tak ada tanda-tanda sahutan dari dalam rumah, bahkan Amin sedikit berjinjit untuk melihat ke belakang rumah, namun karena gelap, jadi tidak terlalu kelihatan.TukTuk"Assalamualaikum, Jihan," panggilnya lagi. Kali ini suaranya agak keras. Berharap segera dibukakan pintu, karena orang mulai ramai memperhatikannya.Klek"Wa'alaykumussal
Amin berbaring di kasur single miliknya, sambil menumpahkan satu botol minyak kayu putih di atas perutnya, hingga pusarnya kebanjiran. Sungguh keadaan perutnya sungguh melilit, hingga ia harus bolak-balik ke kamar mandi. Obat diare pun sudah dia minum, tetapi belum ada perubahan. Hingga pukul satu malam ia masih saja terus-terusan ke kamar mandi."Ya Allah, sakitnya," lirih Amin sambil mencoba turun dari ranjang. Dengan tenaga seadanya, Amin keluar rumah dan berjalan terseok-seok, menuju klinik dua puluh empat jam yang letaknya persis di sebrang Gang Mawar."Kenapa lu, Min?" tegur Pak Somad, hansip gang yang berjaga malam ini."Diare, Pak. Sakit banget," jawab Amin sambil meringis menahan perih."Oh, kasian. Ya udah sono cepetan ke klinik depan! Sebelum lu ce****it lagi, he he he ...." Pak Domad tergelak."Makasih, Pak. Saya ke depan dulu." Amin hanya bisa ikut memaksakan senyum pada Pak Somad, kemudian dengan langkah tertatih ia berjalan menuju klinik.
Amin berusaha fokus menambal ban motor customernya yan sudah menunggu dari pagi. Walau di tengah rasa melilit perut yamg sungguh membuatnya tak nyaman. Berkali-kali ia mengusap peluh yang bercucuran, padahal langit pagi masih nampak mendung. Wajahnya pun lama-kelamaan pucat, karena menahan mulas yang luar biasa."Bu, saya ke kamar mandi sebentar ya?" pamit Amin pada Ririn yang tengah duduk di kursi plastik sambil menimang puteri kecilnya yang terlelap."Mau ngapain? Lama gak?" tanya Ririn dengan polosnya. Entahlah, semenjak resmi menjadi janda, otaknya lama sekali mencerna sebuah kalimat."Saya mau liburan ke kamar mandi, Bu," sahut Amin yang diikuti gelak tawa. Kepalanya ia gelengkan, kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang berada di belakang kios.Ririn hanya mengangkat bahu, lalu kembali memainkan ponselnya. Melihat akun sosial media teman-teman dan para artis yang selalu ramai berita. Menunggu lima menit, sang montir belum juga keluar dari kamar mandi. R
"Ceweknya ya, Bang?" tanya Ririn sambil menyerahkan uang lima belas ribu pada Amin. Gadis muda yang mengajak Amin ke toko buku tadi, baru saja pergi."Calon istri, Bu. Doakan ya," sahut Amin dengan mantap. Senyumnya cerah ceria, secerah rezeki pagi hari ini."Wah, selamat Bang. Masih muda, cantik pula. Emang sekarang daun muda lagi laris ya, Bang. Kalau daun kering kayak saya, pasti gak ada yang mau." Ririn tergelak. Ia pun kini sudah naik ke atas motor, siap melanjutkan perjalanan ke rumah sang mama."Daun kering mah, cocoknya sama aki-aki garing, Bu," timpal Amin ikut tergelak. Baru kali ini, masih pagi ia sudah mendapat pelanggan yang lucu, janda pula. Biasanya janda gemesin, tetapi janda yang ini ngeselin."Huh, calon istri juga masih calon, Bang. Udah resmi aja masih bisa lepas, apa lagi baru calon. Awas, jaman sekarang banyak cewek muda tukang plorotin celana," ujar Ririn mengingatkan sambil menyalakan mesin motornya. Amin menelan salivanya saat mendeng
Dengan berat hati, Amin akhirnya berjalan ke kasir untuk menebus enam novel milik Jihan. Bahkan ia sudah menerka, akan berapa tersisa isi dompetnya nanti. Hanya ada KTP, SIM, kartu BPJS yang sudah tiga bulan tidak ia bayarkan iurannya, serta satu keping uang koin lima ratus rupiah. Jihan senyam-senyum dengan mata berbinar, saat Amin datang menghampiri dengan memakai batik.Orang-orang di sekitar Jihan yang ikut mengantre, terpana melihat gaya Amin yang begitu jadul. Gaya yang membuat Amin terlihat lebih tua dari usianya."Eh, Mamang udah datang. Ini, Mang, harus bayar tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah!" Jihan menunjuk angka pada monitor kasir. Amin tersenyum tipis, ia dipanggil Mamang oleh Jihan, mungkinkah Jihan sebenarnya malu dengan dirinya, orang tak punya ini?"Mamang! Ye ... kok bengong? Ini cepetan bayarin, udah pada antre tuh," rengek Jihan dengan suara kesal. Gadis itu mendadak khawatir, kalau saja tiba-tiba Amin mengurungkan niatnya untuk memba
Seperti biasa, pukul setengah enam pagi, Amin sudah berada di kios bengkelnya. Berharap ada kustomer pagi yang biasanya didominasi oleh ibu-ibu yang akan atau baru pulang dari pasar. Amin meneguk tehnya perlahan, sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Masih belum terlalu banyak kendaraan yang lewat, karena memang bengkelnya bukan terletak di jalan utama.Pikirannya melayang pada kejadian semalam, di mana Jihan benar-benar mengerjainya. Kenapa ia berpikir begitu? Karena memang setelah mendapatkan yang wanita itu mau, Jihan dapat tertawa lepas bersama lelaki lain. Meninggalkannya di jalanan, tanpa uang sepeser pun. Bahjan hanya meliriknya sekilas saat semalam mereka bertemu pandang."Bang Amin, udah sarapan belum?" tanya Elin yang tiba-tiba sudah berada di depan kiosnya. Janda beranak dua itu sedang membawa sesuatu di tangannya, sambil tersenyum malu-malu, Elin masuk ke dalam kios."Ada apa, Mbak Elin? Motornya yang mogok mana?" tanya Amin sambil celinga
Amin menutup kios bengkelnya, setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia mau bersiap-siap mandi, lalu melaksanakan sholat magrib berjama'ah di masjid. Untung saja, saat akan tutup memang belum ada kustomer lagi. Paling akhir tadi diisi oleh Mbak Nengsih yang minta dibenarkan rem motornya yang macet.Sebelum menurunkan rolling door, Amin kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada kustomer yang mampir lagi. Benar saja, jalanan ramai lalu lalang kendaraan, tetapi sepertinya memang tak ada pelanggan lagi.GgrreeSuara rolling door diturunkan, tak lupa Amin mengunci pintu kiosnya. Halaman depan kios memang tak terlalu banyak sampah, sehingga Amin tak perlu menyapu halaman, cukup memunguti sampah daun dan bungkus makanan yang berserakan tidak terlalu banyak."Bang Amin," suara merdu seorang wanita yang ia cintai, tiba-tiba saja terdengar begitu dekat di telinganya. Amin menoleh, lalu memberikan senyum terbaiknya p
Dua hari sudah berlalu, sejak insiden Jihan yang lalai saat dititipin pulsa oleh Amin. Gadis itu juga tak nampak batang hidungnya, bahkan pesan WA-nya pun tak aktif. Ami melirik sekilas, ke pintu rumah Pak RW yang masih tertutup rapat, saat ia akan keluar bekerja hari ini. Besok adalah hari di mana, Jihan akan menjawab ajakannnya waktu itu. Apakah Jihan akan menerimanya? Ataukah Jihan akan menolaknya?Sebenarnya, ada sedikit keraguan di hati Amin, setekah beberapa kali harus korban isi dompet saat berdekatan dengan Jihan. Kekhawatiran itu ada, bahkan semakin ke sini, semakin kuat. Hanya saja, ia masih sangat berharap mendapatkan seorang pendamping hidup yang masih gadis. Ia tak ingin seperti Rahmat, Ojan, Panjul, dan Asep, teman-teman STM-nya itu menikah dengan para janda. Ia tak mau sama, ia ingin mendapatkan perawan ting-ting, bukan bekas siapa-siapa.Agar dia bisa lebih percaya diri dan pamer pada teman-temannya, saat ia pulang ke Yogya nanti. Sepertinya memang