Share

3. Gadis Diskon, Janda Normal

Setelah membereskan motor ketiga wanita single parent itu, akhirnya Amin dapat menikmati sarapan bubur ayamnya dengan tenang. Mbak Katini juga sudah keliling kembali menjajakan jamu gendongnya. Masih belum ada pasien lagi, sehingga Amin sedikit santai.

"Bang Amiin," panggil Jihan yang tahu-tahu sudah di depan bengkelnya.

"Eh, Jihan, ada apa, Neng?"

"Boleh pinjam motornya gak? Jihan mau ke tukang fotokopy, banyak tugas sekolah. Motor lagi di pake babe ke kelurahan. Boleh ya, bang?" wajah Jihan berubah melas. 

Amin yang menaruh hati pada Jihan, tentu saja tak masalah motornya dipinjam. Ya, memang bukan motor baru apalagi mahal,  hanya motor seken dan masih sangat layak pakai, yang selalu ia gunakan ke sana-kemari.

"Boleh, Neng. Pakai saja, ini kuncinya." Amin mengulurkan kunci motor pada Jihan sambil tersenyum senang.

"Makasih Bang Amin." Jihan pun melajukan motor Amin dengan kencang. Amin kembali duduk menyantap bubur ayam yang sedikit lagi habis. Dilihatnya jam di dinding kios, masih pukul setengah sembilan pagi, tapi ia sudah memperoleh uang enam puluh lima ribu dari para wanita single tadi.

"Alhamdulillah," ucapnya sambil mengulum senyum.

"Mas, tolong motor saya gak bisa di stater," ucap seorang wanita muda yang membawa empat orang anak.

"Eh, iya Bu. Sebentar." Amin menaruh mangkuk bubur ayam, lalu menghabiskan secara kilat, air putih di dalam gelas. Lekas ia membantu ibu muda tadi untuk menstatee motornya, berulang kali ia coba namun tetap tidak bisa.

"Heek ... Hek ...." si bayi dalam gendongan sudah mulai merengek kepanasan.

"Mbak, duduk di sana saja, kasian di sini panas," kata Amin kemudian. Ia merasa kasihan dengan empat anak yang dengan wajah berpeluh kuhausan.

"Bunda, haus," rengek si kecil yang memakai rannsel sekolah.

"Iya, minum saja air minum yang Bagus bawa." Anak kecil itu pun mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya.

"Sabar ya, Kak," ucapnya pada seorang anak lelaki yang mungkin berusia sepuluh tahun.

"Bunda sih, motor bukannya diservice," omelnya.

"Mbak, maaf. Ini motornya gak bisa distater bukan karena ada yang rusak, tapi kehabisan bensin," terang Amin sambil menyeringai.

"Ya Allah, saya kira kenapa. Aduh, maaf ya, Bang," ucapnya merasa sungkan.

"Mbak tunggu di sini ya, biar saya jalan ke depan cari bensin. Gak jauh, kok."

"Ya Allah, terimakasih banyak Bang," ucapnya penuh haru. Amin hanya menunggingkan senyum, dengan setengah berlari, ia menghampiri kios bensin eceran yang letaknya tak jauh dari kios bengkelnya.

"Dua, Din," pintanya pada Udin, ABG penjual bensin eceran.

"Tumben, bukannya tadi shubuh udah beli dua botol?"

"Buat pasien noh, kasian emak-emak bawa anak banyak, kalau gue suruh jalan ke sini ya gak mungkin," terang Amin pada Udin, sambil menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribuan. Amin pun berjalan kembali ke kios bengkelnya, dua anak sudah menangis sedih, sedangkan yang dua lagi nampak kesal dan lelah.

Amin membuka tutup tangki bensin, lalu menuangkan bensin yang ia bawa ke dalam tangki bensin motor ibu muda itu.

Brrrmm

Brrrmmm

"Alhamdulillah, makasih Bang," ucap wanita itu sambil tersenyum.

"Sama-sama, Bu. Dua puluh ribu."

"Oh iya, ini. Terimakasih," ucapnya lagi sebelum benar-benar meninggalkan lapak bengkel Amin. "Maaf ya, Bu. Diskon hanya untuk pelanggan yang masih gadis, kalau janda harga normal." Amin bermonolog.

Ia sempat berpikir, saat ini dirinya bisa dikatakan sukses dalam usaha, wajahnya juga tidak jelek, masih muda pula. Wajar jika ia menanti wanita single untuk menjadi pasangan hidupnya kelak. Bukan seorang janda yang hidupnya rumit, ditambah ada anak pula. Maka dari itu, Amin selalu memberikan diskon harga bagi para wanita single yang berkunjung ke bengkelnya . Karena siapa tahu, salah satu diantara mereka ada yang kecantol padanya.

****

Waktu bergulir hingga matahari naik tepat di atas kepala, namun Jihan juga belum kembali bersama motornya. Amin mulai resah, berkali-kali ia menoleh ke arah jalan raya besar, berharap Jihan segera kembali, namun sayang, wanita muda yang ia tunggu-tunggu tak kunjung kembali.

Amin baru saja menyelesaikan menambal ban motor Bu Elis, wanita paruh baya yang baru saja ditinggal suaminya tiga bulan yang lalu. Bu Elis adalah tetangga samping rumah Jihan.

"Ngapa lu, Min? Tangak-tengok bae. Nungguin siapa?" tanyanya dengan logat Jakarta.

"Mbak Jihan pinjam motor saya dari jam sembilan belum balik juga, Bu."

"Lha, ini aja udah lewat dzuhur," timpal Bu Elis lagi.

"Makanya, Bu."

"Makanya, Min. Jangan selalu dituruti maunya Jihan, anak itu tahu dia cantik, kembang Gang Mawar yang banyak digilai tetangga, termasuk kamu. Makanya dia jadi suka manfaatin cowok lugu kayak Bang Amin. Harusnya, Bang Amin cari yang lebih dewasa, modelan kayak saya gini, he he he ...  jangan mainan sama bocah. Habis duit diporotin."

"Eh, gitu ya, Bu. He he he ...."

"Benar, pegang omongan saya."

"Lah, itu Jihan. Kok jalan kaki?" tunjuk Bu Elis membuat Amin menoleh. Perasaannya langsung tak enak melihat Jihan menangis sambil berjalan ke kios bengkelnya. Cepat Amin menghampiri Jihan, "loh, motor saya mana, Han?"

"Maaf, Bang, motor Abang dirampas tadi."

"Sama siapa?" wajah Amin memucat.

"Gak tahu, laki-laki dua orang."

"Ya Allah."

****


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status