Share

4. Dalam Pengaruh Gaib

“Ni … lo kenapa?” Juju bertanya dari tempatnya yang masih terpaku.

Mata Nilam menatap kosong, tanpa kedip.

Supri dan Mardin mendekat perlahan, pandangan mereka tak lepas dari Nilam. Takut kalau tiba-tiba gadis itu mengamuk mereka bersiap menangkapnya. Ini hutan, kalau sampai Nilam kabur ke dalam hutan bisa jadi ia akan hilang tanpa jejak.

Namun, perkiraan mereka berdua salah. detik berikutnya tubuh Nilam melemas layu, lalu jatuh berbaring di tanah. Segera tiga pemuda itu mendekat. Setelah memeriksa kondisi Nilam yang seperti orang tidur, mereka berniat membawa gadis itu kembali ke rumah.

“Coba nyalakan lagi motornya,” kata Juju pada Mardin. Segera pemuda itu lakukan, diikuti Supri. Ajaib sekali tekan starter langsung menyala.

Juju segera mengangkat tubuh Nilam ke motor Mardin. Mereka akan bonceng bertiga karena ia harus menjaga tubuh Nilam. Supri mengambil ransel Nilam dan membawa ke motornya.

“Apa kita bawa keluar kampung saja, biar Nilam ke rumah sakit?” usul Juju sambil menyentuh dahi gadis itu. Dingin seperti es.

Selesai ucapan Juju, belum juga dijawab dua pemuda itu motor seketika mati. Sekejap mulut tiga orang itu tertutup rapat. Menahan takut yang menyergap.

“Sudah balik aja lagi ke rumah Mak Lumpit,” seru Supri seakan sengaja perbesar suaranya. Seolah-olah paham Juju dan Mardin diam.

Motor kembali dinyalakan dengan mudah, membawa mereka kembali berbalik ke dukuh.

Juju yang terbiasa di kota, jadi percaya kalau mistis itu memang ada dan sekarang sedang dirasakannya. Dalam hati ia panjatkan doa-doa, semoga ia dan Nilam mendapat jalan bisa keluar dari kampung ini.

***

Di bilik sederhana berdinding papan coklat tua, gadis itu masih tertidur dalam balutan tiga lapis selimut. Erangan halus sesekali keluar dari bibirnya.

Tak jauh di depannya wanita tua duduk di bangku kayu. Matanya masih terbuka awas, seakan tak ingin anaknya itu lepas dari pandangan.

Pikirannya mencoba menerka, ‘apa Nilam sudah jadi sasaran Ki Arya atau … ia hanya sakit karena kelelahan?’

Sejak Supri dan temannya menggotong gadis itu turun dari motor tadi, tubuh Nilam makin lemah. Kekhawatiran Mak Lumpit menjadi-jadi, melihat gadis itu terus tertidur. Namun, ia juga bingung harus apa. Nilam sepertinya ditahan kekuatan lain sampai tak bisa keluar dari kampung.

Sekarang hanya menunggu, sampai gadis itu terbangun sendiri.

Juju di luar pun berpikir keras akan kejadian yang menimpa mereka tadi. Saat Mak berniat akan kembali membawa Nilam keluar kampung, hujan deras dan petir kembali menghalangi. Pemuda berwajah bersih itu masih bertafakur di atas sajadah, selepas salat Isya tadi.

Menurutnya, kampung Nilam ini memang terasa gelap, sepi dan terkesan angker. Warganya masih amat tradisional, dan penganut kepercayaan pada tradisi leluhur yang amat kuat. Meski agama mereka tercatat di kartu tanda penduduk, tapi tak pernah mengerjakan kewajiban agama. Sama seperti Nilam yang ia kenal.

Selama mereka di Jakarta, Nilam memang tak pernah ia lihat ibadah. Juju merasa itu membuat jiwa Nilam lemah dan mudah dirasuki makhluk lain. Ia merasa khawatir pada teman dekatnya itu.

Di kamar ….

Mak masih memandangi Nilam, berharap anaknya cepat bangun dan tak terjadi sesuatu pada Nilam. Risiko akan hilang, seperti yang lain bisa saja dialami Nilam jika lelaki tua itu sudah pengaruhi pikirannya. Sedikit saja Nilam memikirkan nama itu, mungkin saja pengaruh kuat Ki Arya merasuk tubuhnya.

Momok menakutkan akan semua ini awalnya terkuak saat Mala dan Sinta menghilang. Gadis ketujuh dan kedelapan, yang lenyap tanpa jejak--setelah enam orang hilang di bulan-bulan sebelumnya.

Mak teringat, dua gadis itu baru pulang setelah kelulusan SMA mereka di kota, terjadinya tiga bulan lalu. Sebelum menghilang, seorang warga melihat lelaki berpakaian serba hitam berbicara dengan mereka di jalan. Kedua gadis itu lenyap saat malam. Barang bawaan, tas dan sepatu—yang memungkinkan mereka pergi sendiri, ternyata masih tetap ada di tempatnya.

Kecurigaan warga, kalau Ki Arya lah lelaki berpakaian hitam itu. Tak ada yang lain. Beberapa saudara korban berusaha mengintai pondok lelaki itu, untuk mencari keberadaan mereka, tapi tak pernah berhasil. Gadis-gadis itu tak pernah lagi terlihat. Karena sangat ingin menemukan putrinya, bapak Maya nekad hingga dini hari menunggu di semak tak jauh dari rumah tepi telaga--tempat tinggal Ki Arya.

Namun, lelaki bertubuh kecil itu harus lari tunggang-langgang kembali ke rumah. Katanya, ia melihat suatu kejadian aneh pada Ki Arya. Si lelaki tua yang selalu berpakaian serba hitam itu tengah mengamalkan ilmu penghilang raga.

Ia melihat sendiri, Ki Arya berdiri di tepi telaga dalam terpaan cahaya bulan, tubuh itu seketika membayang, tembus pandang, kemudian melayang. Dari mulutnya terucap kalimat menggema ….

‘Menanti perawan kesembilan, kekuatan ini sempurnaaaa ….’ Kemudian tawanya berderai.

Siapa pun akan takut menyaksikannya.

Berita itu ia sebar ke penduduk. Keluarga korban dan beberapa warga sempat melakukan perlawanan, berkerumun ke rumah lelaki yang hidup sendiri itu, hendak menanyakan keberadaan para gadis.

Namun, hujan petir dan guntur menyambut mereka, sebelum Ki Arya keluar dari rumahnya.

Semua percaya kalau itu sebab kekuatan Ki Arya. Setelah itu, banyak warga memilih aman dan keluar dari kampung ini. Terutama yang memiliki anak gadis di rumahnya. Seorang warga yang pernah kembali, memberi peringatan untuk tak menyebut-nyebut nama atau apa pun tentang lelaki itu. Menurut penerawangan ‘guru’ yang ia temui di kampung lain, hal itu akan mengundang bahaya untuk gadis perawan yang ada di rumah.

Kalimat itu yang selalu menggema di kepala Mak. Ia pernah menitipkan surat untuk dikirim pada Nilam supaya tak pulang. Namun, sepertinya tak sampai, buktinya gadis yang kini terbaring di ranjang itu malah datang.

Semua telah terjadi, ia hanya bisa berharap anaknya ini dilindungi. Doa itu selalu menggema di hati Mak.

Memang, agama nenek moyang yang dianut keluarga Mak turun-temurun, tetapi hatinya sangat percaya akan ada Tuhan, yang disebutnya Gusti—bisa menolongnya, lebih dari kekuatan manusia.

Lamunan Mak terputus saat di pintu depan rumah riuh suara orang dan pintu yang digedor.

Ia tergopoh-gopoh sambil perbaiki ikatan jariknya yang longgar.

“Mak, Mak Lumpit!” panggil dari beberapa orang lelaki dan perempuan, seakan tak sabar dibukakan. Juju terbangun, lalu keluar dari bilik sebelah. Ia sebenarnya baru tertidur karena kelelahan.

Begitu Mak membuka pintu tampak puluhan orang dewasa berkerumun, dua obor menyala dipegang sebagai penerang.

“Gimana keadaan Nilam, Mak,” tanya salah seorang bapak begitu melihat Mak.

“Masih tidur. Ini ada apa, Pak Guruh?” tanya Mak yang masih tampak keheranan.

“Biarkan kami masuk dulu, Mak,” jawab lelaki tua berbadan gemuk yang dipanggil Pak Guruh.

“Iya, ayo silakan masuk.”

Rumah tak begitu luas itu kini ramai. Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, enam wanita yang ikut tadi langsung menemani Mak menjaga Nilam di kamar. Sepuluh laki-laki berjaga di dalam rumah. Supri dengan tiga orang lelaki yang datang belakangan dengan sepeda motor, memilih berjaga di luar, berpenerang obor yang terpasang di sisi pintu. Juju keluar ikut bergabung dengan mereka.

“Kalau Supri ndak bilang, bisa-bisa kami cuma dengar kabar Nilam sudah hilang, Mak. Ini bahaya!” kata Pak Guruh berapi-api, diiyakan warga lain.

Seorang wanita memakai daster motif bulat keluar dari kamar. “Ini cirinya sama kayak Rini sebelum hilang. Tidur, tapi badannya dingin!” katanya bergidik menyampaikan pada para lelaki di luar.

Mendengar itu napas Mak serasa sesak. Dulu Rini yang pertama hilang, dan yang bicara tadi kakak perempuannya.

“Lalu kita harus gimana?”

“Jaga! Jangan sampai Nilam sendiri.”

“Iya, besok pagi kita antar Nilam keluar kampung, biar dirawat di rumah saudaraku.” Pak Guruh memberi saran dan semua pun segera menyetujui.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status