Arini melapor ke meja registrasi lalu mendapat nomor urut antrian wawancara. Dia duduk bergabung dengan pelamar lainnya. Perempuan itu mengamati pelamar yang ada di sana. Kebanyakan dari mereka sama dengan dia yang dulu saat baru lulus kuliah.Saat itu juga dia duduk bersama pelamar lainnya sama seperti sekarang. Namun, dulu dia begitu bersemangat. Beda dengan hari ini, dia terlihat tidak semangat dan tidak percaya diri.Perempuan itu memandangi dirinya sendiri yang tengah hamil empat bulan. Dengan perut yang mulai terlihat membuncit dan akan semakin besar seolah memaksakan diri untuk bekerja.Belum lagi saingan lainnya lebih muda dan masih belum menikah. Sebenarnya mungkin dari segi usia tidak jauh berbeda dengan Arini, tetapi kondisi Arini berbeda jauh dengan dirinya. Seandainya saja kejadian itu tidak menimpa dirinya, Arini pasti masih bekerja bersama dengan teman-temannya. Seketika dia merindukan sosok teman-teman kerjanya dulu."Berapa orang yang wawancara hari ini?" sayup Arini
Arini tengah sibuk memilih sepatu. Dia tidak tahu jika kepergiannya tadi tanpa pamit ternyata membuat sebuah masalah kecil. Dia bahkan tidak mendengar jika sedari tadi ponselnya berdering berkali-kali.Baru setelah dia selesai membayar pesanan dan keluar dari toko sepatu, Arini mendengar suara ponselnya. Dia keluarkan ponselnya dari dalam tas. "Halo, Mas Wisnu, ada apa ya?" "Kamu di mana, Rin? Kok baru angkat telepon sih?" Terdengar nada khawatir dari suara pria yang ada di seberang panggilan telepon. "Lagi di luar, Mas. Ada apa?" "Kamu pergi enggak bilang Mama. Mama khawatir banget sama kamu. Ditelepon enggak diangkat, diSMS enggak dibales. Mama takut ada apa-apa sama kamu. Mas juga ditelepon disuruh nyariin kamu. Mas bingung harus nyariin kamu ke mana." Pria itu berkata panjang lebar karena terlalu cemas dengan Arini. Arini baru menyadari jika dia tadi memang pergi tanpa pamit pada Ratih. Dia tidak menyangka jika mamanya akan panik mencarinya. "Duh, maaf ya Mas. Aku tadi lupa
Arini duduk menunggu di kantor PT. Kalingga. Sebentar lagi namanya akan dipanggil masuk. Debaran jantungnya semakin cepat karena semakin dekat dengan waktu dia akan dipanggil masuk ke ruangan wawancara kedua. Pada wawancara kedua kali ini, hanya ada dua puluh orang yang lolos. Dari seleksi terakhir ini hanya lima orang saja yang akan diterima. Arini sudah pasrah, dia sadar kesempatan dia untuk diterima di perusahaan itu sangat kecil karena dia melihat peserta lain lebih kompeten dari pada dia. Arini akan memberikan jawaban terbaik untuk wawancara terakhir ini. Dia sudah tidak berharap pada hasilnya."Arini Puspasari, silakan masuk ruangan."Namanya sudah dipanggil masuk. Arini menarik napas panjang untuk menenangkan debaran jantungnya.Perempuan itu masuk ruangan sendiri. Duduk di kursi yang ada di sana. Dia menatap lurus ke depan. Apa pun pertanyaan yang diberikan akan dia jawab dengan baik.Satu persatu pertanyaan dilontarkan pada Arini. Dia bisa menjawab dengan tenang berkat usahan
Dalam ruang pemeriksaan, Arini tengah berbaring untuk diperiksa kandungannya. Dokter memeriksa dengan alat USG. Wisnu merasa takjub melihat perkembangan janin dalam perut Arini yang terlihat tumbuh dengan baik. Walaupun itu bukan anak kandungnya, dia tetap menyayangi janin dalam kandungan Arini seperti anaknya sendiri."Perkembangan janinnya bagus. Usia kandungan 17 minggu. Kalau dilihat ini jenis kelaminnya laki-laki."Mendengar penuturan dokter membuat Wisnu merasa sangat senang. Begitu juga dengan Arini. Pancaran kebahagiaan terlihat di wajah keduanya."Nanti ke sini satu bulan lagi, ya! Saya resepkan vitamin seperti biasanya."Dokter meletakkan foto hasil USG Arini di meja. Wisnu mengambilnya. Sesaat kemudian wajahnya terlihat sedih karena melihat janin yang tidak bersalah itu hampir saja berakhir oleh ayahnya sendiri. Dia hanya bisa berharap janin dalam kandungan Arini semakin sehat dan lahir dalam keadaan sempurna."Terima kasih ya, Dokter."Wisnu dan Arini pamit pada dokter lal
Arini sudah tiba di lobi kantor PT. Kalingga. Dia menuju kantor itu dengan ojek online. Arini tidak menelepon sang suami karena dia takut suaminya tidak bisa mengantar. Perempuan itu hanya mengirimkan pesan pada suaminya jika dia mendapat panggilan dari PT. Kalingga.Sampai di sana, Arini merasa bingung harus menuju ruangan mana. Kemudian dia ingat kata-kata sekretaris direktur yang tadi menelepon dia, dia harus menelepon pria itu jika sudah tiba di kantor. Arini pun mengeluarkan ponsel lalu menghubungi nomor pria yang menelponnya tadi.Panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua juga sama. Sampai panggilan ketiga belum juga ada jawaban. Arini mulai bingung. Dia merasa sudah ditipu mentah-mentah karena ternyata sekretaris itu tidak menepati janjinya. Arini meremas ponsel sambil berpikir apa yang akan dia lakukan di sana. Tetapi menunggu atau pulang ke rumah. Sebelum memutuskan untuk pulang, Arini melihat ada meja dan seseorang yang berdiri di belakangnya. Arini mendekati meja d
Baru saja Wisnu masuk rumah. Pria itu sudah ditarik lengannya oleh Arini masuk ke kamar, dia hanya bisa pasrah. Wisnu tampak bingung dengan tingkah Arini kali ini. "Rin, ada apa sih?" "Sini deh Mas, duduk di ranjang." Wisnu menuruti keinginan Arini duduk di tepi ranjang. Dia masih belum bisa menebak apa yang akan dilakukan istrinya kemudian. "Mas sudah duduk nih. Sekarang apa?" Arini berjalan mondar-mandir di hadapan suaminya, tetapi tatapannya tidak lepas dari wajah tampan suaminya. Arini masih curiga dengan suaminya yang memang selalu terlihat bersih jika dibandingkan dengan tukang ojek kebanyakan. Bahkan tubuh pria itu selalu wangi setiap pulang ngojek. "Coba ngomong sesuatu, Mas!" "Ngomong apa sih? Kamu tuh kenapa, Rin? Emang ada yang aneh sama Mas? Masa suami baru pulang masih capek terus disuruh duduk terus ngomong. Aneh!" Baru kali ini pria itu terlihat protes pada Arini. "Suaranya mirip banget." Arini mengingat suara CEO yang dia dengar di PT. Kalingga tadi. "Mas punya
Denis menepuk kedua tangan di atas. Tak lama kemudian datang empat orang pria berbadan kekar masuk ke ruangan itu. Letak ruangan kerja Arini di lantai bawah dekat dengan tempat penyimpanan peralatan cleaning service. Arini sendiri masih bingung mengapa dia diberikan ruangan sendiri yang letaknya jauh dari ruangan karyawan lain.Saat keempat pria berbadan kekar itu masuk ke ruangan. Arini keluar dari sana. Ruangan itu tidak terlalu besar tetapi isi ruangannya bukan benda kecil. Ada dua meja dan kursi serta beberapa kardus besar di sana.Perempuan itu hanya bisa mengamati pergerakan para pria itu yang cukup cekatan. Setelah semua barang dikeluarkan, ruangan itu tampak kosong. Arini tidak tahu ke mana semua barang itu dipindahkan dan dia juga tidak penasaran."Setelah ruangan ini dibersihkan, akan ada meja dah kursi baru, seperangkat komputer dan akan dipasang kamera CCTV.""Baik, Pak. Gimana baiknya aja. Saya tetep akan menunggu di sini. Apa perlu saya bantu bersih-bersih ruangan, Pak?"
Ratih muncul dari dalam rumah. Dia mendengar suara Arini dengan seorang pria. Dia lihat Gilang di sana. Melihat Arini baru saja menampar Gilang dan pria itu akan balas menampar Arini, Ratih marah besar pada pria itu."Mau apa kamu datang ke sini? Belum puas menyakiti anak saya?"Gilang menatap Ratih dengan tajam. Dia pun kesal pada Ratih. Sama kesalnya pada Arini. "Tolong ajarkan sopan santun sama anak Ibu! Masa ada tamu ditampar? Tuan rumah macam apa itu?""Dengar kamu laki-laki brengsek. Jangan pernah datang lagi ke rumah ini! Kamu sudah pernah mengusir kamu dengan kasar, kenapa harus datang ke sini untuk bertemu dengan Arini lagi? Mau menjilat ludah sendiri? Apa enggak jijik?"Ratih tambah kesal pada Gilang. Ingin dia usir pria itu dengan kasar, tetapi dia tidak mau dicap sebagai orang tidak beradab. Lalu apa bedanya dia dengan keluarga Gilang. Gilang mendengus kasar. Dia tinggalkan rumah itu tanpa pamit. Membawa perasaan kesal dan marah yang belum sempat terlampiaskan. Setelah k